Sabtu, 19 November 2022

BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER #11/27


Percakapan pendek itu terasa memakan waktu berjam-jam penuh ketegangan. Kemudian kuketahui, hanya sepuluh menit berlangsung. Beruntung Annelies memanggil dari luar kamar, dan aku minta diri.
Tak kusangka sambil masih tetap duduk Robert berkata sangat tenang: "Pergilah, nyaimu sedang mencarimu."
Aku terhenti di pintu dan memandanginya dengan heran. Ia cuma tersenyum. "Dia adikmu, Rob. Tak patut itu diucapkan. Aku pun punya kehormatan.,..." Annelies buru-buru menarik aku ke ruangbelakang seakan suatu kejadian penting telah terjadi dalam kamar itu. Kami duduk di atas sofa berkasur tinggi dan bertilam bunga-bunga war-na-warni di atas dasar warna creme. Ia begitu melengket padaku, berbisik hati-hati:
"Jangan suka bergaul dengan Robert. Apa lagi masuk ke kamarnya. Aku kuatir. Makin hari ia makin berubah. Telah dua kali ini Mama menolak membayar hutanghutangnya, Mas. "Perlukah kau bermusuhan dengan abangmu sendiri V Bukan begitu. Dia harus bekerja untuk mendapatkan nafkahnya sendiri. Dia bisa kalau mau. Tapi dia tidak mau." "Baik, tapi mengapa kalian berdua mesti bermusuhan ?" "Tidak datang dari pihakku. Itu kalau kau mau percaya. EValam segala hal Mama lebih benar dari dia. Dia tak mau mengakui kebenaran Mama, hanya karena Mama Pribumi. Lantas harus apa aku ini ?"
Aku tahu, tak boleh mencampuri urusan keluarga. Maka tak kuteruskan. Sementara itu terpikir olehku, Apa yang didapat pemuda ganteng ini dari kehidupan keluarganya", dari bapaknya tidak, dari ibunyapun tidak. Dari saudarinya apalagi. Kasih tiak sayangpun tidak. Aku datang kerumah ini dan ia cemburui aku. Memang sudah sepantasnya.
"Mengapa kau tak bertindak sebagai pendamai Ann ", Buat apa" Perbuatannya yang keterlaluan sudah bikin aku mengutuk dia."
"Mengutuk " Kau mengutuk "..
"Melihat mukanya pun aku tidak sudi. Dulu memang aku masih sanggup bertik dengannya. Sekarang, untuk seumur hidup tidak. Tidak, Mas."
Aku menyesal telah mencoba mencampuri urusannya. Dan wajahnya yang mendadak kemerahan menterjemahkan amarahnya'. Nvai datang menyertai kami. Selembar koran S.N.v/d D ada di tangannya. Ia tunjukkan padaku sebuah cerpen Een Buitengewoon Gewoone Nyai. die Ik ken .
"Kau sudah baca cerita ini, Nyo " "Sudah, Ma, di sekolah."
Rasanya aku pernah mengenal orang yang ditulis dalam cerita ini." Barangkali aku pucat mendengar omongannya. Walau judulnya telah diubah, itulah tulisanku sendiri, ceipenku yang pertama kali dimuat bukan oleh koranlelang. Beberapa patah kata dan kalimat memang telah diperbaiki, tapi itu tetap tulisanku. Bahan cerita bukan berasal dari Anneiies, tapi khayal sendiri yang mendekati kenyataan sehari-hari Mama. "Tulisan siapa, Ma tanyaku pura-pura. "Max Tollenaar. Benar kau hanya menulis teks iklan " Sebelum pembicaraan jadi berlarut segera kuakui: "Memang tulisanku sendiri itu, Ma." "Sudah kuduga. Kau memang pandai, Nyo. Tidak seorang dalam seratus bisa menulis begini. Cuma kalau yang kau maksudkan dalam cerita ini aku. ..
"Mama yang kukhayalkan," jawabku cepat menyambar. "Ya. Patut banyak tidak benarnya; Sebagai cerita memang bagus, Nyo. Semoga jadi pujangga, seperti Victor Hugo." Masyaallah, dia tahu Victor Hugo. Dan aku malu bertanya siapa dia. Dan dia bisa memuji kebagusan cerita. Kapan dia belajar ilmu cerita " Atau hanya sok saja " "Sudah pernah baca Francis " G.Francis ?"
Sungguh aku merasa kewalahan. Itu pun aku tak tahu.
"Rupanya Sinyo tak pernah membaca Melayu." "Buku Melayu, Ma " Ada ?" tanyaku mengembik.
"Sayang kalau tak tahu, Nyo. Banyak buku Melayu sudah dia tulis. Aku kira dia orang Totok atau Peranakan, bukan Pribumi. Sungguh sayang, Nyo, kalau tidak ada perhatian."
Ia masih banyak bicara lagi tentang dunia cerita. Dan semakin lama semakin meragukan. Boleh jadi ia hanya membuatkan segala apa yang pernah didengarnya dari Herman Mellema. Guruku cukup banyak mengajar tentang bahasa dan sastra Belanda. Tak pernah disinggung tentang segala yarig diomongkannya. Dan guru kesayanganku, Juffrouw Magda Peters, pasti jauh lebih banyak tahu daripada hanya seorang nyai. Nyai yang seorang ini malah mencoba bicara tentang bahasa tulisan pula!
"Francis, Nyo, dia telah menulis Nyai Dasima, benar-benar dengan cara Eropa. Hanya berbahasa Melayu. Ada padaku buku itu. Barangkali kau suka mempelajarinya."
Aku hanya mengiakan. Tahu apa dia tentang dunia cerita. Lagi pula mengapa dia suka membaca cerita, dan mencoba mencampuri urusan para tokoh khayali para pengarang, bahkan juga bahasa yang mereka pergunakan, sedang di bawah matanya sendiri anaknya, Robert, kapiran " Meragukan.
Seperti 'dapat membaca pikiranku ia bertanya: "Bolehjadi kau hendak mepulis tentang Robert juga." "Mengapa, Ma ?" .
"Karena kemudaanmu. Tentu kau akan menulis tentang orang-orang yang kau kenal di dekat-dekatmu. Yang menarikmu. Yang menimbulkan sympati atau antipatimu. Aku kira Rob pasti menarik perhatianmu.
Untung saja percakapan yang tak menyenangkan itu segera tersusul oleh makanmalam. Robert tidak serta. Baik Mama mau pun Anneiies tidak heran, juga tidak menanyakan. Pelayan juga tak menanyakan sesuatu.
Tengah makan ternlat olehku untuk menyampaikan keinginan Robert jadi pelaut, pulang ke Eropa. Pada waktu itu juga justru Nyai berkata:
"Cerita, Nyo, selamanya tentang manusia, kehidupannya, bukan kematiannya. Ya, biar pun yang ditampilkannya itu hewan, raksasa atau dewa atau hantu. Dan tak ada#yang lebih sulit dapat difahami daripada sang manusia. Itu sebabnya tak habishabisnya cerita dibuat di bumi ini. Setiap han bertambah saja. Aku sendiri tak banyak tahu tentang im Suatu kali pernah terbaca olehku tulisan yang kira-kira katanya begini: jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar pengelihatanmu setajam mata elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa pendengaranmu dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa keraput. Mama sama sekali sudah berhenti makan. Sendok berisi itu tetap tergantung di bawah dagunya. "Memang dalam sepuluh tahun belakangan ini lebih banyak cerita kubaca. Rasanya setiap buku bercerita tentang daya-upaya seseorang untuk keluar atau mengatasi kesulitannya. Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya, tapi tentang surga, dan jelas ridai  terjadi di atas bumi kita ini."
Mama meneruskan makannya. Perhatianku telah kukerahkan untuk menangkap setiap katanya. Pada waktu ini ia sungguh seorang guru tidak resmi dengan ajaran yang cukup resmi.
Ternyata selesai makan ia masih meneruskan:
"Karena itu kau pasti tertarik pada Robert. Ia selalu men-cari-cari kesulitan dan tidak dapat keluar daripadanya. Kira-kira itu yang dinamakan: tragis. Sama seperti ayahnya. Barangkali melalui tulisanmu kalau dia mau membacanya dia akan bisa berkaca dan melihat dirinya sendiri. Mungkin bisa mengubah kelakuannya. Siapa tahu " Hanya, pintaku, sebelum kau umumkan biarlah aku diberi hak untuk ikut membacanya lebih dulu. Itu kalau kau tak berkeberatan tentu. Barangkali saja gambaran dan anggapan keliru bisa lebih dihindari."
Memangaku sedang mempersiapkan tulisan tentang Robert. Peringatan Nyai agak mengejutkan. Aku rasai ia sebagai mata elang yang pengawas. Pandangannya kurasai menyerbu mahligai ha^-hakku sebagai perawi cerita. Terbitnya ceritaku yang, pertama telah menaikkan semangatku. Tapi tulisan tentang Robert tak.bisa lebih maju karena tiupan semangat sukses. Mama dengan mata elangnya telah menyebabkannya tersekat di tengah jalan.
Semua yang tercurah semasa makan itu membikin diri tenggelam dalam renungan. Jfcarangtfentu ia sudah sangat banyak membaca. Kira-kira Tuan Herman Mellema tadinya seorang guru yang benar-benar bijaksana dan penyabar. Nyai seorang murid yang baik, dan mempuyai kemampuan berkembang sendiri setelah mendapaUcan modal pengertian dari tuannya. Apa yaig tak kudapatkan dan sekolah dapat aku paneni di tengah keluTr ga seorang gundik. Siapa bakal menyangka " Mungkin imraL seorang yang lebih mengerti Robert Mellema. Pesannya tentang pemuda pembenci Pnbumi itu menunjukkan kedalaman keoriha tman tentang sulungnya. Tentang pemuda jangkung itu aku belum lagi banyak mengenal. Baragkali ia pun banyak membaca seperti ibunya Maia lah yang dibenkannya padaku ternyata bukan bacaan sembara-ngan Boleh jadi berasal dan perpustakaan rumah, atau diambilnya dan tangan opaspos dan tidak diserahkan pada Mama Bisa jadi juga pemuda itu tidak pernah menamatkannya. Aku tak tahu betul Karangan-karangan di dalamnya semua tentang negeri penduduk dan persoalan Hindia Belanda. Sebuah di antaranya tentang Jepang dengan hubungannya sedikit atau banyak -dengan Hindia. Tulisan itu memperkaya catatanku tentang negeri Jepang yang banyak dibicarakan dalam bulan-bulan terakhir ini Tak ada di antara teman sekolahku mempunyai perhatian pada nege-n dan bangsa ini sekali pun barang dua kali pernah disinggung dalam diskusi-sekolah. Teman-teman menganggap bangsa ini masih terlalu rendah untuk dibicarakan. Secara selintas mereka menyamaratakan dengan pelacurpelacurnya yang memenuhi Kembang Jepun, warung-warung kecil, restoran dan pangkas rambut, verkoper, dan kelontongnya yang sama sekali tak dapat mencerminkan suatu Pabrfk yang menantang ilmu dan pengetahuan modern Dalam suatu diskusi-sekolah, waktu guruku, Tuan Lasten-aienst, mencoba menarik perhatian para siswa, orang lebih banyak tinggal mengobrol pelan. Ia bilang: di bidang ilmu Jepang juga mengalami kebangkitan. Kitasato telah menemukan kuman pes, Shiga menemukan kuman dysenteri dan dengan demikian Jepang tefcih juga berjasa pada ummat manusia. Ia membandingkannya dengan sumbangan bangsa Belanda pada peradaban. Melihat aku mempunyai perhatian penuh dan membikin catatan Lastendienst bertanya padaku dengan nada mendakwa: eh, Minke wakil bangsa Jawa dalam ruangan ini, apa sudah di sumbangkan bangsamu pada ummat manusia " Bukan saja aku menggeragap mendapat pertanyaan dadakan itu, Koleh jadi seluruh dewa dalam kotak wayang ki dalangjikan hilang semangat hanya untuk menjawab. Maka jalan paling ampuh untuk tidak menjawab adalah menyuarakan kalimat ini: Ya, Meneer Lasten-dienst, sekarang ini saya belum bisa menjawab. Dan guruku itu menanggapi dengan senyum manis sangat manis.
Itu sedikit kutipan dari catatanku tentang Jepang. Dengan adanya tulisan dari majalah pemberian
Robert catatanku mendapatkan tambahan yang lumayan banyaknya Tentang kesibukan di Jepang untuk menentukan strategi pertahanannya Aku taK banyak mengerti tentang hal demikian Justru karena itu aku catat. Paling tidak akan menjadi bahan bermegah dalam diskusi-sekolah.
Dikatakan adanya persaingan antara Angkatan Darat dengan Angkatan Laut Jepang. Kemudian dipilih strategi maritim untuk pertahanannya. Dan Angkatan Darat dengan tradisi samurainya yang berabad merasa kurang senang. Bagaimmana tentang Hindia Belanda sendiri " Di dalamnya dinyatakan: Hindia Belanda tidak mempunyai Angkatan Laut; hanya Angkatan Darat. Jepang terdiri dari kepulauan. Hindia Belanda setali tiga uang. Mengapa kalau Jepang mengutamakan laut Hindia mengutamakan darat " Bukankah masalah pertahanan (terhadap luar) sama saja " Bukankah jatuhnya Hindia Belanda ke tangan Inggris nyaris seabad yang lalu juga karena lemahnya Angkatan Laut di Hindia " Mengapa itu tak dijadikan pelajaran "
Dari majalah itu juga aku tahu: Hindia Belanda tidak mempunyai Angkatan Laut. Kapal perang yang mondar-mandir di Hindia bukanlah milik Hindia Belanda, tetapi milik kerajaan Belanda. Daendels pernah membikin Surabaya menjadi pangkalan Angkatan Laut pada masa Hindia Belanda tak punya armada satu pun! Nyaris seratus tahun setelah itu orang tak pernah memikirkan gunanya ada Angkatan Laut tersendiri untuk Hindia. Tuan-tuan yang terhormat mempercayakan pertahanan laut Inggris di Singapura dan pertahanan laut Amerika di Filipina.
Tulisan itu membayangkan sekiranya terjadi perang dengan Jepang. Bag'aimana akan halnya Hindia Belanda dengan perairan tak terjaga " Sedang Angkatan Laut Kerajaan Belanda hanya, kadang-kadang saja datang meronda " Tidakkah pengalaman tahun 1811 bisa berulang untuk kerugian Belanda "
Aku tak tahu apakah Robert pernah membaca dan mempelajarinya. Sebagai pemuda yang ingin berlanglang buana sebagai pelaut boleh jadi ia telah mempelajarinya. Dan sebagai pemuja darah Eropa kiranya dia mengandalkan keunggulan ras putih. Tulisan itu juga mengatakan: Jepang mencoba meniru Inggris di perairan. Dan pengarangnya memperingatkan agar menghentikan ejekan terhadap bangsa itu sebagai monyet peniru. Pada setiap awal pertumbuhan, katanya, semua hanya meniru. Setiap kita semasa kanak-kanak juga hanya meniru Tetapi kanak-kanak itu pun akan dewasa, mempunyai perkembangan sendiri..............
Sedang pembicaraan yang dapat kusadap antara Jean Marais dengan Telinga tentang perang dapat kucatat demikian:
Jean Marais: peranan berpindah-pindah, dari generasi ke generasi yang lain, dari bangsa yang satu ke bangsa yang lain Dahulu kulit berwarna menjajah kulit putih. Sekarang kulit putih menjajah kulit berwarna.
Telinga: Tak pernah kulit putih dialahkan kulit berwarna dalam tiga abad ini. Tiga abad! Memang bisa terjadi kulit putih mengalahkan kulit putih yang lain. Tapi kulit berwarna takkan dapat mengalahkan yang putih. Dalam lima abad mendatang ini dan untuk selamanya. .
Dan Robert ingin jadi awak kapal sebagai orang Eropa. Dia bermimpi belayar dengan Karibou, di bawah naungan Inggris -negeri tak berapa besar, dengan matari tak pernah tenggelam....
7. RASANYA BELUM LAGI LAMA AKU TERTIDUR. Pukulan gugup pada
pintu kamarku membikin aku menggeragap bangun. "Minke, bangun," suara Nyai.
Kudapati Mama berdiri di depan pintuku membawa Win. Rambutnya agak kacau. Bunyi ketak-ketik pendule merajai ruangan di pagi gelap itu. ' "Jam berapa, Ma ?" "Empat. Ada yang mencari kau.
Di sitje telah duduk seorang dalam kesuraman. Makin dekat lilin padanya makin jelas: agen polisi! Ia berdiri menghormat, kemudian langsung bicara dalam Melayu berlidah Jawa: "Tuan Minke ?"
"Benar." "Ada surat perintah untuk membawa Tuan. Sekarang juga, ia ulurkan surat itu. Yang dikatakannya benar. Panggilan dan Kantor Polisi B., dibenarkan dan diketahui oleh Kantor Polisi Surabaya. Namaku jelas tersebut di dalamnya. Mama juga telah membacanya. . .
"Apa yang sudah kau perbuat selama mi, Nyo " tanyanya.
"Tak sesuatu pun," jawabku gugup. Namun aku jadi ragu pada perbuatanku sendiri. Kuingat dan kuingat, kubariskan semua dari seminggu lewat. Kuulangi: "Tak sesuatu pun, Ma."
Anneiies datang. Ia bergaun panjang dari beledu hitam. Rambutnya kacau. Matanya masih layu. Mama menghampiri aku:
"Agen itu tak pernah menyatakan kesalahanmu. Dalam surat juga tidak tertulis." Dan kepada agen polisi itu: "Dia berhak mengetahui soalnya."
"Tak ada perintah untuk itu, Nyai. Kalau tiada tersebut di dalamnya jelas perkaranya memang belum atau tidak boleh diketahui orang, termasuk oleh yang bersangkutan." "Tidak bisa begitu," bantahku, "aku seorang Raden Mas, tak bisa diperlakukan asal saja begini," dan aku menunggu jawaban. Melihat ia tak tahu bagaimana mesti menjawab aku teruskan, "Aku punya Forum Privilegiatum
"Tak ada yang bisa menyangkal, Tuan Raden Mas Minke." "Mengapa anda perlakukan semacam ini ?" "Perintah untukku hanya mengambil Tuan. Pemberi perintah tak akan lebih tahu tentang semua perkara, Tuan Raden Mas," katanya membela diri. "Silakan Tuan bersiap-siap. Kita akan segera berangkat. Jam lima sudah harus sampai di tujuan."
"Mas, mengapa kau hendak dibawa ?" tanya Annelies ketakutan. Aku rasai gigilan dalam suaranya.
"Dia tak mau mengatakan," jawabku pendek. "Ann, urus pakaian Minke dan bawa kemari," perintah Nyai, "dia akan dibawa entah untuk berapa hari. Kan dia boleh mandi dan sarapan dulu ?"
"Tentu saja, Nyai, masih ada sedikit waktu." Ia memberi waktu setengah jam.
Di ruangbelakang kudapati Robert sedang menonton kejadian itu dari tempatnya. Ia hanya menguap menyambut aku. Di dalam kamarmandi mulai kutimbang-timbang kemungkinan: Robert penyebab gara-gara ini, menyampaikan lapuran palsu yang bukan-bukan. Semalam dan kemarin malam dia tidak muncul untuk makan. Satu demi satu ancamannya terkenang kembali. Baik, kalau benar kau yang membikin semua keonaran ini. Aku takkan melupakan kau, Rob.
Kembali ke ruangdepan kopi telah tersedia dengan kue.
Agen polisi itu sedang menikmati sarapan pagi. Ia kelihatan lebih sopan setelah mendapat hidangan. Dan nampak tak pirnya sikap permusuhan pribadi terhadap kami semua. Malah ia bercerita sambil tertawa-tawa.
"Tak ada terjadi sesuatu yang buruk, Nyai," katanya akhirnya, "Tuan Raden Mas Minke paling lama akan kembali dalam dua minggu ini."
"Bukan soal dua minggu atau sebulan. Dia ditangkap di rumahku. Aku berhak tahu persoalannya," desak Nyai "Betul-betul aku tak tahu. Maafkan. Itu sebabnya pengambilan dilakukan pada begini hari, Nyai, biar tak ada yang tahu "Tak ada yang tahu " Bagaimana bisa " Kan Tuan telah menemui penjaga rumah sebelum dapat bertemu denganku 7 "Kalau begitu urus saja penjaga itu biar tidak bicara. "Tak bisa aku dibikin begini," kata Mama, "penjelasan akan kupinta dari Kantor Polisi." .
"Itu lebih baik lagi. Nyai akan segera mendapat penjelasan. Dan pasti benar."
Annelies yang masih berdiri menjinjing kopor mendekati aku, tak bisa bicara. Kopor dan tas diletakkan di lantai. Tanganku diraih dan dipegangnya. Tangannya agak gemetar.
"Sarapan dulu, Tuan Raden Mas," agen itu memperingatkan. "Di Kantor Polisi barangkali tak ada sarapan sebaik ini. Tidak " Kalau begitu mari kita berangkat." "Aku akan segera kembali, Ann, Mama. Tentu telah terjadi kekeliruan. Percayalah." Dan Annelies tak mau melepaskan tanganku.
Agen polisi itu mengangkatkan barang-barangku dan dibawa keluar. Annelies tetap mengukuhi tanganku waktu aku mengikuti agen keluar rumah. Aku cium pada pipinya dan kulepaskan pegangannya. Dan ia masih juga tak bicara. "Semoga selamat-selamat saja, Nyo," Nyai mendoakan. "Sudah, Ann, berdoalah untuk keselamatannya."
Dokar yang menunggu ternyata bukan kereta polisi dokar preman biasa. Kami naik dan berangkat ke jurusan Surabaya. Agen ini akan bawa aku ke B. Dan dalam gelap pagi itu kubayangkan setiap rumah yang pernah kulihat di B. Yang mana di antara semua itu menjadi tujuan " Kantor Polisi " Penjara " Losmen " Rumah-rumah preman barangtentu tidak masuk hitungan.
Di jalanan hanya dokar kami yang mewakili lalulintas. Grobak-grobak minyakbumi, yang biasanya bergerak pada su-buh-hari dari kilang B.P.M. dalam iringan dua puluh sampai tiga puluh buah sekali jalan, sekarang tidak kelihatan. Seorang-dua memikul sayuran untuk dijual di Surabaya. Dan agen itu menutup mulut seakan tak pernah belajar bicara dalam hidupnya.
Boleh jadi Robert memang telah memfitnah aku. Tapi mengapa B. jadi tujuan " Lampu minyak dokar kami segan menembusi kegelapan subuh berhalimun itu. Seakan hanya kami, agen, aku, kusir, dan kuda, yang hidup di atas jalanan ini. Dan aku bayangkan Annelies sedang menangis tak terhibur. Dan Nyai bingung kuatir penangkapan atas diriku akan memberi nama buruk pada perusahaan. Dan Robert Mellema akan mendapat alasan untuk berkaok: Nah, kan benar kata Suurhof " Dokar membawa kami ke Kantor Polisi Surabaya. Aku dipersilakan duduk menunggu di ruangtamu. Sudah timbul keinginanku untuk menanyakan persoalanku. Nampaknya dalam udara pagi berhalimun orang tak berada dalam suasana memberi keterangan. Aku tak jadi bertanya. Dan dokar masih tetap menunggu di depan kantor. Agen itu malah meninggalkan aku seorang diri tanpa berpesan. Betapa lama. Matari tak juga terbit. Dan waktu terbit tidak mampu mengusir halimun. Butir-butir air yang kelabu itu merajai segalanya, malah juga di pedalaman paru-paruku. Lalulintas di depan kantor mulai ramai: dokar, andong, pejalan kaki, penjaja, pekerja. Dan aku masih juga duduk seorang diri di ruangtamu. Jam sembilan pagi kurang seperempat agen itu baru muncul. Nampaknya telah tidur barang sejam dan mandi air hangat. Ia kelihatan segar. Sebaliknya aku merasa lesu, lelah menunggu. Dan, masih tetap tak sempat bertanya.
"Mari, Tuan Raden Mas," ajaknya ramah.
Kembali kami naik dokar, ke stasiun. Juga dia lagi yang mengangkatkan barangbarangku, juga menurunkan dan mengiringkan ke loket. Ke dalamnya ia menyorongkan surat dan mendapat dua karcis putih kias satu. Jam ini bukan masa keberangkatan kereta express. Uh, naik kereta lambat pula. Benar saja, kami naik gerbong kereta yang membosankan itu, jurusan barat. Aku sendiri tak pernah naik kereta semacam ini. Selalu express kalau ada. Kecuali, yah, kecuali dari B. ke kotaku sendiri, T.
Agen itu kembali tidak bicara. Aku duduk pada jendela. Ia di hadapanku. Gerbong itu sedikit saja penumpangnya. 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar