Sabtu, 19 November 2022

BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER #10/27


"Penyelidik itu memberikan padaku keterangan yang sangat teliti dan dapat dipercaya," ia meneruskan tanpa mengindahkan kehadiranku. "Aku tahu apa saja ada di dalam setiap kamar rumah ini, berapa pekerjamu, berapa sapimu, berapa ton hasil padi dan palawija dari ladang dan sawahmu, berapa penghasilanmu setiap tahun, berapa depositomu. Yang terhebat dari semua itu, Tuan Mellema, sesuatu yang menyangkut azas hidup Tuan telah irfeninggalkan dakwaan serong pada Mevrouw Amelia Mellema-Hammers. Apa kenyataannya sekarang " Tuan secara hukum masih suami ibuku. Tapi Tuanlah yang justru telah mengambil seorang wanita Pribumi sebagai teman tidur, tidak untuk sehari-dua, sudah berbelas tahun! siang dan malam. Tanpa perkawinan.
Darahku naik ke kepalamendengar itu Bibirku menggeletar kering. Gigiku mengkertajc. Aku melangkah pelahan mendekatinya dan sudah siap hendak mencakar mukanya. Dia telah hinakan semua yang telah aku selamatkan, pelihara dan usahakan, dan aku sayangi selama ini. ... .,
Ucapan yang hanya patut didengarkan di rumah Mellema-Hammers dan anaknya!" tangkisku dalam Belanda.
Bahkan melihat padaku ia tidak sudi, Ann, apalagi mendengarkan suara geramku, si kurangajar itu. Airmukanya pun tidak berubah. Dianggapnya aku hanya sepotong kayubakar. Dia nilai aku menyerongi ayahnya dan ayahnya menyerongi aku. Boleh jadi memang haknya dan hak seluruh dunia. Tetapi bahwa papamu dan aku dianggap berbuat curang terhadap seorang perempuan tak kukenal bernama Amelia dan anaknya..... kekurangajaran seperti itu sudah puncaknya. Dan terjadi di rumah yang kami sendiri usahakan dan dirikan, rumah kami sendiri.....
"Tak ada hak padamu bicara tentang keluargaku!" raungku kalap dalam Belanda. "Tak ada urusan dengan kow", Nyai," jawabnya dalam Melayu, diucapkan sangat kasar dan kaku, kemudian ia tidak mau melihat padaku lagi.
"Ini rumahku. Bicara kau seperti itu di pinggir jalan sana, jangan di sini." Ayahmu juga aku beri isyarat untuk pergi, tapi ia tidak fa-ham. Sedang si kurangajar itu tak mau melayani aku. Papamu malah hanya mendomblong seperti orang kehilangan akal. Ternyata kemudian memang demikian.
"Tuan Mellema," katanya lagi dalam Belanda, tetap tak menggubris aku. "Biar pun Tuan kawini nyai, gundik ini, perkawinan syah, dia tetap bukan Kristen. Dia kafir! Sekiranya dia Kristen pun, Tuan tetap lebih busuk dari Mevrouw Amelia Mel-lema- Hammers, lebih dari semua kebusukan yang Tuan pernah tuduhkan pada ibuku.
Tuan telah lakukan dosa darah, pelanggaran darah! mencampurkan darah Kristen Eropa dengan darah kafir Pribumi berwarna! dosa tak terampuni!" "Pergi!" raungku. Dia tetap tak menggubris aku. "Bikin kacau rumahtangga orang. Mengaku insinyur, sedikit kesopanan pun tak punya."
Dia tetap tak layani aku. Aku maju lagi selangkah dan $ mundur setengah langkah, seakan menunjukkan kejijikannya didekati Pribumi.
"Tuan Mellema, jadi Tuan tahu sekarang siapa Tuan sesungguhnya." Ia berbalik memunggungi kami, menuruni anak tangga, masuk ke dalam keretanya, tanpa menengok atau pun mengucapkan sesuatu.
papamu masih juga terpakukan pada lantai, dalam keadaan bengong. "Jadi begitu macamnya anak dari istrimu yang syah," raungku pada Tuan. "Begitu macamnya peradaban Eropa yang kau ajarkan padaku berbelas tahun " Kau agungnya setinggi langit " Siang dan malam " Menyelidiki pedalaman rumahtangga dan penghidupan orang, menghina, untuk pada suatu kali akan datang memeras " Memeras " Apalagi kalau bukan memeras "
Untuk apa menyelidiki urusan orang lain ?"
Ann, Tuan ternyata tak mendengar raunganku. Waktu bola matanya bergerak, pandangnya diarahkan ke jalan raya tanpa mengedip. Aku ulangi raunganku. Ia tetap tak dengar. Beberapa orang pekerja datang berlarian hendak mengetahui apa sedang terjadi. Melihat aku sedang meradang murka pada Tuan mereka buyar mengundurkan diri.
Aku tarik-tarik dan aku garuki dada Tuan. Dia diam saja, tak merasai sesuatu kesakitan. Hanya kesakitan dalam hatiku sendiri yang mengamuk mencari sasaran. Aku tak tahu apa sedang dipikirkannya. Barangkali ia teringat pada istrinya. Betapa sakit hati ini, Ann, lebih-lebih lagi dia tak mau tahu tentang kesakitan yang kuderitakan dalam dada ini.
Lelah menarik-narik dan menggaruki aku menangis, terduduk kehabisan tenaga, seperti pakaian bekas terjatuh di kursi. Kutelungkupkan muka pada meja. Mukaku basah.
Kapan selesai penghinaan atas diri nyai yang seorang ini " Haruskah setiap orang boleh menyakiti hatinya " Haruskah aku mengutuki orangtuaku yang telah mati, yang telah menjual aku jadi nyai begini " Aku tak pernah mengutuki mereka, Ann.. Apa orang tidak mengerti, orang terpelajar itu, insinyur pula, dia bukan hanya menghina diriku, juga anak-anakku " Haruskah anak-anakku jadi kranjang sampah tempat lemparan hinaan " Dan mengapa Tuan, Tuan Herman Mellema, yang bertubuh tinggi-besar, berdada bidang, berbulu dan berotot perkasa itu tak punya sesuatu kekuatan untuk membela teman-hidupnya, ibu anak-anaknya sendiri " Apa lagi arti seorang lelaki seperti itu " Kan dia bukan saja guruku, juga bapak anakanakku, dewaku " Apa guna semua pengetahuan dan ilmunya " Apa guna dia jadi orang Eropa yang dihormati semua Pribumi " Apa guna dia jadi tuanku dan guruku sekaligus, dan dewaku, kalau membela dirinya sendiri pun tak mampu " Sejak detik itu, Ann, lenyap hormatku pada ayahmu. didikannya tentang hargadiri dan kehormatan telah jadi kerajaan dalam diriku. Dia tidak lebih dari seorang Sastrotomo dan istri nya. Kalau cuma sampai di situ bobotnya dalam menghadapi ujian sekecil itu, tanpa dia pun aku dapat urus anak-anakku, danap lakukan segalanya seorang diri. Betapa sakit hatiku, Ann, lebih dari itu takkan mungkin terjadi dalam hidupku. '
Waktu kuangkat kepala, pandangku yang terselaputi airmata menampak Tuan masih juga berdiri tanpa berkedip, bengong memandang jauh kearah jalan raya. Melihat pada diriku, teman-hidup dan pembantu utamanya ini, ia tidak. Kemudian ia terbatuk-batuk, melangkah, lambat-lambat. Ia berseru-seru pelan seperti takut kedengaran oleh iblis dan setan: "Maurits! Maurits!"
Ia berjalan menuruni anaktangga, melintasi pelataran depan Sampai di jalan raya ia membelok ke kanan, ke jurusan Surabaya. Ia tak bersepatu, dalam pakaian kerja ladang, hanya ber-selop.
Papamu tak pulang dalam sisa hari itu. Aku tak peduli Masih sibuk aku mengurusi hatiku yang kesakitan. Malamnya ia juga tak pulang. Keesokannya juga tidak. Tiga harmal, Ann. Selama itu sia-sia saja airmata yang membasahi bantal. Darsam melakukan segalanya. Pada akhir hari ketiga ia memberanikan diri mengetuk pintu. Kaulah, Ann, yang membukakan pintu rumah dan mengantarkannya naik ke loteng. Tak pernah aku menyangka ia berani naik. Sakithati dan dukacita sekaligus berubah jadi amarah yang meluap. Kemudian terpikir olehku barangkali ada sesuatu yang dianggapnya lebih penting daripada dukacita dan sakithatiku. Pintu kamar itu memang tiada terkunci. Engkaulah, Ann, yang membukakannya. Mungltin kau sudah lupa pada peristiwa itu. Dan itulah untuk pertama dan akhir kali ia naik ke loteng.
Darsam bilang begini: "Nyai, kecuali baca-tulis, semua sudah Darsam kerjakan," ia bicara dalam Madura. Aku tak menjawab. Aku tak pikirkan u-rusan perusahaan. Aku tetap bergolek di ranjang memeluk bantal. Jangan Nyai kuatir. Semua beres. Darsam ini, Nyai, percayalah padanya."
Ternyata dia memang bisa dipercaya.
Pada hari keempat aku keluar dari rumah dan pekarangan. Kuambil engkau dan kukeluarkan dari sekolah. Perusahaan hasil jenh-payah kami berdua ini tak boleh rubuh sia-sia. Dia adalah segalanya di mana kehidupan kita menumpang. Dia adalah anak-pertamaku, Ann, abang tertua bagimu, perusahaan ini
Mengakhiri cerita itu Mama tersedu-sedu menangis, merasai kembali sakitnya penghinaan yang ia tak dapat menangkis atau membalas. Setelah reda, ia meneruskan lagi:
"Kau tahu sendiri, sesampai kita pulang, berapa orang waktu itu " lebih limabelas - aku usir dari pekerjaan dan tanah kita. Me'reka itu yang telah menjual keterangan pada Maurits untuk mendapatkan setalen-dua. Barangkali juga tidak dibayar sama sekali. Juga Mama perlu meminta maaf padamu, Ann. Papamu dan aku sudah bersepakat menyekolahkan kau ke Eropa, belajar jadi guru. Aku merasa sangat, sangat berdosa telah mengeluarkan kau dari sekolah. Aku telah paksa kau bekerja seberat itu sebelum kau cukup umur, bekerja setiap hari tanpa liburan, tak punya teman atau sahabat, karena memang kau tak boleh punya demi perusahaan ini. Kau kuharuskan belajar jadi majikan yang baik. Dan majikan tidak boleh berteman dengan pekerjanya. Kau tak boleh dipengaruhi oleh mereka. Apa boleh buat, Ann." Setelah kedatangan Insinyur Mellema, perubahan terjadi dengan hebatnya. Tentang Papa aku tahu sendiri tanpa diceritai oleh siapa pun. Pada hari yang ketujuh ia pulang. Anehnya ia berpakaian bersih, bersepatu baru. Itu terjadi pada sorehari se- 'habis kerja. Mama, aku dan Robert sedang duduk di depan rumah. Dan Papa datang. "Diamkan. Jangan ditegur," perintah Mama. Makin dekat makin kelihatan wajah Papa yang pucat tercukur bersih Sisirannya sekarang sibak tengah. Bau minyakrambut yang tak dipergunakan dalam rumah ini merangsang penciri kami Juga bau minuman keras tercampur rempah-rempah. Ia melewati tempat kami tanpa menegur atau menengok, naik ke atas dan hilang ke dalam.
Tiba-tiba Robert bangkit melotot pada Mama dan menggerutu marah, Papaku bukan Pribumir ia lari sambil memanggil-manggil papa.
Aku memandangi MamaDan Mama mengawasi aku, berkata "Kalau suka, kau boleh ikuti contoh abangmu."
Tidak Ma , seruku dan kupeluk lehernya. "Aku hanya Mama. Aku juga Pribumi seperti Mama."
Nah, Mas, begitu keadaan kami sewajarnya. Aku tak tahu apa kau juga akan ikut menghinakan kami sebagaimana halnya dengan Robert, abangku, dan Insinyur Maunts, abang tiriku Entah apa yang dilakukan Papa di dalam rumah. Kami tak tahu. Pintu-pintu kamar di loteng mau pun di persada semua terkunci.
Kira-kira seperempat jam kemudian ia keluar lagi. Sekali ini melihat pada Mama dan aku. Tak menegur. Di belakangnya mengikuti Robert. Papa kembali meninggalkan pelataran, turun ke jalan raya dan hilang. Robert masuk ke dalam rumah dengan wajah suram karena kecewa tak diindahkan Papa.
Sejak itu hampir aku tak pernah melihatnya dalam lima tahun belakangan ini. Kadang saja ia muncul, tak bicara, dan pergi lagj tanpa bicara. Mama menolak dan tak mau mencari atau mengurusnya. Mama pun melarang aku mencarinya. Bahkan bicara tentangnya juga dilarang. Lukisan potret Papa diturunkan oleh Darsam dari dinding dan Mama memerintahkan membakarnya di pelataran, di bawah kesaksian seisi rumah dan pekerja. Barangkali itulah cara Mama melepaskan dendamnya. Pada mulanya Robert diam saja. Setelah selesai baru ia memprotes. Ia lari ke dalam rumah, menurunkan potret Mama dari bilik Mama dan membakarnya seorang diri di dapur. "Ia boleh ikut papanya," kata Mama pada Darsam. Dan pendekar itu menyampaikan padanya dengan tambahan: "Siapa saja berani mengganggu Nyai dan Noni, tak peduli dia itu Sinyo sendiri, dia akan tumpas di bawah golok ini. Sinyo boleh coba kalau suka, sekarang, besok atau kapan saja. Juga kalau Sinyo coba-coba cari Tuan......."
Dua bulan setelah peristiwa itu Robert lulus dari E.L.S.
Dia tak pernah memberitakan pada Mama, dan Mama tidak ambil peduli. Ia keluyuran ke mana-mana. Permusuhan diam-diam antara Mama dan abangku berjalan sampai sekarang. Lima tahun Mula-mula Robert menjuali apa saja yang bisa diambilnya dari gudang, dapur, rumah, kantor menjualnya untuk sendiri. Mama mengusir setiap pekerja yang mau disuruh mencuri buat kepentingannya. Kemudian Mama melarang Robert memasuki ruang mana pun kecuali kamarnya sendiri dan ruangmakan.
Lima tahun telah berlalu, Mas. Lima tahun. Dan muncul dua orang tamu: Robert untuk abangku, dan Minke untukku dan Mama. Kaulah itu, Mas, tidak lain dan kau sendiri.
6. LIMA HARI SUDAH AKU TINGGAL DI RUMAH MEWAH di Wonokromo. Dan: Robert Mellema mengundang aku ke kamarnya. Dengan waspada aku masuk. Perabotnya lebih banyak daripada kamarku. Di dalamnya ada mejatulis berlapis kaca. Di bawah kaca terdapat gambar besar sebuah kapal pengangkut Ka-ribou berbendera Inggris.
Ia kelihatan ramah. Matanya liar dan agak merah. Pakaiannya bersih dan berbau minyakwangi murahan. Rambutnya mengkilat dengan pomade dan tersibak di sebelah kiri. Ia seorang pemuda ganteng, bertubuh tinggi, cekatan, tangkas, kuat, sopan, dan nampak selalu dalam keadaan berpikir. Hanya matanya yang coklat kelereng itu juga yang suka melirik sedang bibirnya yang suka tercibir benar-benar menggelisahkan aku. Tak tenang rasanya berdua saja dalam kamarnya. "Minke," ia memulai, "rupa-rupanya kau senang tinggal di sini. Kau teman sekolah Robert Suurhof, kan " Dalam satu kias di H.B.S. ?" Aku mengangguk curiga. Kami duduk di kursi, berhadapan.
"Semestinya aku pun di H.B.S. sudah tammat pula." "Mengapa tidak meneruskan ?"
"Itu kewajiban Mama, dan Mama tidak melakukannya." "Sayang. Barangkali kau tak pernah minta padanya." "Tak perlu dipinta. Sudah kewajibannya."
"Mungkin Mama menganggap kau tak suka meneruskan."
"Nasib tak bisa diandai, Minke. Begini jadinya diri sekarang. Kalah aku olehmu, Minke, seorang Pribumi saja siswa H.B.S. Eh, apa guna bicara tentang sekolah ?" ia diam sebentar, mengawasi aku dengan mata coklat kelereng. "Aku mau bertanya, bagaimana bisa kau tinggal di sini " Nampaknya senang pula " Karena ada Annelies ?"
Betul, Rob, karena ada adikmu. Juga karena dipinta. Ia mendeham waktu kuperhatikan
"Kau punya keberatan barangkali " Kau suka pada adikku tanyanya balik. "Betul.
"Sayang sekali, hanya Pribumi/' "Salah kalau hanya Pribumi "
Sekali lag ia mendeham mencari kata-kata. Matanya mengembara kefuar jendela. Pada waktu itu mulai kuperhatikan ranjangnja tidak berklambu. Di kolong berdiri botol dengan masih ada sisa obat nyamuk pada lehernya. Di bawah botol berserakan abu rontokan. Lantai belum lagi disapu.
Aku berhenti memperhatikan kolong waktu terdengar lagi
Rumah ini terlalu sepi bagiku," ia mengalihkan pembicaraan. "Kau suka main catur barangkali ?"
"Sayang tidak, Rob." .
"Ya, sayang sekali. Berburu bagaimana " Mari berburu.
"Sayang, Rob, aku membutuhkan waktu untuk belajar. Sebenarya aku suka juga. Bagaimana kalau lain kali ?"
"Baik, lain kali," ia tembuskan pandangnya pada mataku. Aku tahu ada ancaman dalam pandang itu. Ia jatuhkan telapak tangan kanan pada paha. "Bagaimana kalau jalan-jalan saja sekarang ?"
"Sayang, Rob, aku harus belajar." Agak lama kami berdiam diri. Ia bangkit dan membetulkan kedudukan daun pintu. Mataku gerayangan untuk dapat menemukan sesuatu buat bahan bicara sementara aku selalu waspada, siap-siap terhadap segala kemungkinan. Yang jadi perhatianku adalah jendela. Sekiranya tiba-tiba ia menyerang, ke sana aku akan lari dan melompat. Apa lagi tepat di bawahnya terdapat sebuah kenap yang tiada berjambang burfga.
Di atas kursi yang tidak diduduki Robert tergeletak sebuah majalah berlipat paksa. Nampaknya bekas dipergunakan ganjal kaki lemari atau meja.
"Kau tak punya bacaan ?" tanyaku.
Ia duduk di kursinya lagi sambil menjawab dengan tawa tanpa suara. Giginya putih, terawat baik dan gemerlapan.
"Maksudmu dengan bacaan, kertas itu ?" matanya menuding pada majalah berlipat paksa itu. "Memang pernah kubalik-balik dan kubaca."
Barang itu diambilnya dan diserahkan padaku. Pada waktu itu aku menduga ia memandang ragu untuk berbuat sesuatu Matanya tajam menembusi jantungku dan aku bergidik. Kertas itu memang majalah. Sampulnya telah rusak, namun masih terbaca potongan namanya: Indi......
"Bacaan buat orang malas," katanya tajam. "Bacalah kalau kau suka. Bawalah." Dari kertas dan tintanya jelas majalah baru.
"Kau mau jadi apa kalau sudah lulus H.B.S. ?" tiba-tiba ia bertanya. "Robert Suurhof bilang kau calon bupati."
"Tidak benar. Aku tak suka jadi pejabat. Aku lebih suka bebas seperti sekarang ini. Lagi pula siapa akan angkat aku jadi bupati " Dan kau sendiri, Rob," aku balik bertanya.
"Aku tak suka pada rumah ini. Juga tak suka pada negeri ini. Terlalu panas. Aku lebih suka salju. Negeri ini terlalu panas. Aku akan pulang ke Eropa. Belayar. Menjelajahi dunia. Begitu nanti aku naik ke atas kapalku yang pertama, dada dan tanganku akan kukasih tattoo."
"Sangat menyenangkan," kataku. "Aku pun ingin melihat negeri-negeri lain." ^ "Sama. Kalau begitu kita bisa sama-sama pergi belayar menjelajah dunia. Minke, kau dan aku. Kita bisa bikin rencana bukan " Sayang kau Pribumi."
Ya, sayang sekali aku Pribumi."
"Lihat gambar kapal ini. Temanku yang memberi ini," ia nampak bersemangat. "Dia awak kapal Karibou. Aku pernah bertemu secara kebetulan di Tanjung Perak. Dia bercerita banyak, terutama tentang Kanada. Aku sudah sedia ikut. Dia menolak. Apa guna jadi kelasi bagimu, katanya. Kau anak orang kaya. Tinggal saja di rumah. Kalau kau mau kau sendiri bisa beli kapal." Ia tatap aku dengan mata mengimpi. "Itu dua tahun yang lalu. Dan dia tak pernah lagi berlabuh di Perak. Menyurati pun tidak. Barangkali tenggelam."
"Barangkali Mama takkan ijinkan kau pergi," kataku. "Siapa nanti mengurus perusahaan besar ini ?"
"Huh," ia mendengus. "Aku sudah dewasa, berhak menentukan diri sendiri. Tapi aku masih juga ragu. Entah mengapa."
"Lebih baik bicarakan dulu dengan Mama." Ia menggeleng. "Atau dengan Papa," aku menyarankan.
"Sayang," ia mengeluh dalam.
"Tak pernah aku lihat kau bicara dengan Mama. Kiranya baik kalau aku yang menyampaikan ?"
"Tidak. Terimakasih. Dari Suurhof aku dengar kau seorang buaya darat." Aku rasai mukaku menggerabak karena jompakan darah. Sekaligus aku tahu: aku telah memasuki sudut hatinya yang terpeka. Itu pun baik, karena keluarlah maksudnya yang terniat.
"Setiap orang pernah dinilai buruk atau baik oleh orang ketiga. Juga sebaliknya peftiah ikut menilai. Aku pernah. Kau pernah. Suurhof pernah," kataku. "Aku " Tidak," jawabnya tegas. "Tak pernah aku peduli pada kata dan perbuatan orang. Apalagi kata orang tentang dirimu. Lebih-lebih lagi tentang diriku. Cuma Suurhof bilang: hati-hati pada Pribumi dekil bernama Minke itu, buaya darat dari klas kambing."
"Dia benar, setiap orang wajib berhati-hati. Juga Suurhof sendiri. Aku tak kurang berhati-hati terhadapmu, Rob."
"Lihat, aku tak pernah mengimpi untuk menginap di tempat lain karena wanita. Biar pun memang banyak yang mengundang."
"Sudah kubilang sebelumnya, aku suka pada adikmu. Mama minta aku tinggal di sini."
Baik. Asal kau tahu bukan aku yang mengundang." Tahu betul, Rob. Aku masih simpan surat Mama itu."
"Coba aku baca."
"Untukku, Rob, bukan untukmu. Sayang."
Makin lama sikap dan nada suaranya makin mengandung permusuhan. Lirikannya mulai bersambaran untuk menanamkan ketakutanku. Dan aku sendiri juga sudah merasa kuatir.
"Aku tidak tahu apa pada akhirnya kau akan kawin dengan adikku atau tidak. Nampaknya Mama dan Annelies suka padamu. Biar begitu kau harus ingat, aku anak lelaki dan tertua dalam keluarga ini."
"Aku di sini sama sekali tak ada hubungan dengan hak-hakmu, Rob. Juga tidak untuk mengurangi. Kau tetaplah anak lelaki dan tertua keluarga ini. Tak ada yang bisa mengubah."
Ia mendeham dan mmenggaruk kepalanya dengan hati-hati, takut merusakkah sisiran.
"Aku tahu, kau juga tahu, orang-orang di sini pada memusuhi aku. Tak ada yang menggubris aku. Ada yang membikin semua mi. Sekarang kau datang kemari. Sudah pasti kau seorang di antara mereka. Aku berdiri seorang diri di sini. Hendaknya kau jangan sampai lupa pada apa yang bisa dibikin oleh seorang yang berdiri seorang diri," katanya mengancam dengan bibir tersenyum.
"Betul, Rob, dan kau pun jangan sampai lupa pada kata-katamu sendiri itu, sebab itu juga tertuju pada dirimu sendiri."
Matanya sekarang nampak mengimpi menatap aku. Menaksir-naksir kekuatanku. Dan aku mengikuti contohnya, juga tersenyum. Semua gerak-geriknya aku perhatikan. Begitu nanti nampak ada gerakan yang mencurigakan, hup, aku sudah melompat keluar dan jendela. Dia takkan dapatkan aku di dalam kamar ini "Baik," katanya sambil mengangguk-angguk. "Dan jangan pula kau lupa, kau hanya seorang Pribumi."
"Oh, tentu saja aku selalu ingat, Rob. Jangan kuatir. Kau pun jangan lupa, dalam dirimu ada juga darah Pribumi. Memang aku bukan Indo, bukan Peranakan Eropa, tapi selama belajar pada sekolah-sekolah Eropa, ada juga ilmu-pengetahuan Eropa dalam diriku, yaitu, kalau yang serba Eropa kau anggap lebih tinggi." "Kau pandai, Minke, patut bagi seorang siswa H.B.S."


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar