Sekarang ia duduk lagi. Meletakkan patahan pensil di meja. kembali ia menatap aku, barangkali untuk meyakinkan tidak bergurau.
"Ya, Tuan Dokter."
"Pada pihak lain, Tuan Minke, justru karena ia jatuh cinta pada Tuan, dia mulai lahir menjadi pribadi, sebab ia dihadapkan pada masalah yang sepenuhnya bersifat pribadi, orang lain tak bisa memberi komando. Kelahirannya sebagai bayi pribadi membikin ia jatuh sakit."
Sekarang aku sungguh-sungguh tidak mengerti. Aku tatap matanya tenang-tenang. Entah karena apa tiba-tiba timbul kecurigaanku terhadapnya sebagai orang Eropa. Nampaknya ia tahu juga gerak batinku. Buru-buru menambahi: "Sekali lagi, Tuan, belum tentu kebenaran ada pada pihakku, separoh atau pun seluruhnya. Tetapi selama Tuan belum punya pendapat sendiri ada baiknya, barangkali, semua ini jadi pegangan Tuan agar tidak bingung. Pegangan sementara. Lama ia tak teruskan ceramahnya. Kira-kira ia mulai ragu. Sungguh, aku sendiri merasa terhibur bila ia diserang keraguan. Setidak-tidaknya aku dapat menghela nafas bebas. Memang hanya kata-kata yang dicurahkannya padaku. Tapi rasanya! rasanya! rasanya diri dipaksanya jadi landasan tempat ia hantamkan palu godam menempa pengertian.
"Ya, Tuan Dokter," dengan sendirinya aku memulai, hanya sebagai alamat, aku bukan landasan tak berjiwa.
"Ya," sebutnya seperti keluh. Dan nafas berat lepas dari dadanya yang mungkin sesak oleh persoalan. "Ya, semua itu baru dugaan semata, dugaan berdasarkan sejumlah kenyataan," sambungnya membela diri , atau juga minta maaf. "Aku tak kan meneruskan sebelum Tuan pergunakan giliran Tuan. Sekarang Tuan yang bercerita padaku. Di kamar mana Tuan tidur?
Dia tahu aku tak dapat menyembunyikan maluku. Di sekolahan pertanyaan demikian, kurangajar, tak bakal orang ajukan padaku.
"Dalam ilmu, malu tidak punya harga, biar pun hanya sepersepuluh dari sepersepuluh sen. Tuan, bantulah aku, dengan kesedaran penuh. Hanya kita berdua dapat hilangkan ketakutannya yang lain lagi itu. Jadi di mana Tuan tidur ?" Aku tak menjawab. "Baik. Tuan malu perasaan tanpa nilai itu. Tapi karena itu justru membenarkan dugaanku. Jadi Nyai menghendaki keselamatan putrinya. Itu sebabnya Tuan malu bercerita. Tuan lelah tinggal sekamar dengannya. Kan tidak keliru ?"
Tak mampu aku melihat wajahnya lagi.
"Jangan Tuan salah sangka," katanya gupuh, "bukan maksudku hendak mencampuri urusan Tuan. Bagiku, sekali lagi, yang penting tak lain dari keselamatan Annelies sebagai pasien, dan dengan sendirinya Tuan sendiri dan Nyai. Dari Tuan hanya diharapkan bantuan. Bantuan pengertian. Dugaanku hendaknya bisa mendapat pembenaran. Hanya itu obat terbaik baginya. Rahasia pribadi Tuan dan semua pasien terjamin dan terlindungi. Aku dokter tetap, Tuan dokter sementara. Nah, berceritalah sekarang."
Untuk memberi peluang padaku untuk menata diri ia pergi ke belakang. Kemudian muncul lagi membawa limun dan menuangkannya di gelas untukku. "Mengapa Tuan sendiri yang melayani ?"
"Tak ada orang lain di rumah ini. Hanya seorang diri." "Babu dan jongos pun tidak ?"
"Tidak." "Semua Tuan kerjakan sendiri ?"
"Pembantu bekerja tiga jam sehari, kemudian pulang." "Makan Tuan ?"
"Diurus restoran. Nah, mari kita teruskan. Minum dulu. Aku tahu Tuan membutuhkan keberanian," ia tersenyum manis. Dan aku tak berani.
"Pada saat yang diperlukan," ia mulai menasihati, "Tuan harus berani belajar dan belajar berani memandang diri sendiri sebagai orang ketiga. Maksudku bukan seperti yang diajarkan
dalam ilmu bahasa saja. Begini: sebagai orang pertama Tuan berpikir, merancang, memberi komando. Sebagai orang kedua, Tuan penimbang, pembangkang, penolak sebaliknya bisa juga jadi pembenar, penyambut. Tuan yang pertama. Tuan yang ketiga siapa dia " itulah Tuan sebagai orang lain, sebagai soal," ia mengetukngetuk meja dengan ujung jarinya. "Sebagai pelaksana, sebagai orang lain yang Tuan lihat pada cermin. Nah, ceritakan sekarang tentang Tuan ketiga yang dilihat Tuan pertama dan Tuan kedua pada cermin itu."
"Apa harus kuceritakan ?" sekali lagi aku mengembik. "Apa saja, dalam hubungan dengan pasien Tuan." "Bagaimana harus memulai ?"
"Jadi Tuan bersedia. Mari aku pimpin memasuki persoalan. Sebenarnya bukan Tuan tidak bisa memulai, tapi Tuan yang kedua belum rela sepenuhnya. Mari kita mulai. Tuan telah hidup sekamar dengan Annelies. Ya, sekarang teruskan sendiri." "Ya, Tuan."
"Bagus. Nyai tidak pernah melarang atau marah karenanya." "Tuan Dokter tidak keliru."
"Bukan aku. Nyai yang tidak keliru. Dia lebih benar dalam menyelamatkan anaknya. Jadi nasihat itu dilaksanakannya. Nah, mari kita teruskan. Tuan tidur terpisah atau seranjang ?"
"Tidak terpisah."
"Mulai kapan itu terjadi ?" "Dua-tiga bulan yang lalu."
"Cukup lama untuk dapat mengetahui ketakutan-ketakutan besar Annelies. Nah, sudahkah Annelies Tuan setubuhi ?"
Aku gemetar. "Mengapa gemetar " Dengarkan lebih baik: di sini persoalan lebih penting. Siapa tahu harus menghadapi peristiwa sama di kemudianhari " Perlu minum lagi ?" "Maaf, Dokter, ijinkan aku ke belakang."
"Silakan," dan ia antarkan aku ke belakang.
Tak ada orang aku temui di dalam mau pun belakang rumah. Sunyi-senyap seperti kuburan.
Di kamarmandi kucuci mukaku. Kubasahi rambutku. Kura-sai kesegaran air sejuk, dan hatiku ikut sejuk karenanya. Dengan setangan kuseka air yang bertetesan. Kemudian kuperguna-kan sisir dan cermin yang ada di situ. Nah, itulah Minke ketiga.
Begitu aku duduk di hadapannya lagi segera ia meneruskan:
"Semakin Tuan berusaha menyembunyikan sesuatu, semakin tegang syaraf Tuan." Dia semakin dapat menjenguk pedalamanku. Kembali aku menjadi gugup. Dan tak ada dedaunan tempat menyembunyikan muka.
"Nah, mari. Biar terimakasihku pada Tuan semakin besar. Kan sekarang tak perlu kutanyai lagi " Bercerita saja dengan ke mauan sendiri."
Aku menggeleng. Tak mampu.
"Baik kalau Tuan masih membutuhkan penuntun. Tuan sudah tidur seranjang dengannya. Tuan sudah bersetubuh dengan nya. Kemudian Tuan ketahui dia bukan perawan lagi. Tuan sudah didahului orang lain."
"Tuan Dokter!" aku terpekik. Tanpa sadarku syarafku tak dapat lagi menahan ketegangan dan menangis tersedu-sedu.
"Ya, menangislah, Tuan, menangislah seperti bayi, masih suci seperti pada kala dilahirkan."
Mengapa aku menangis begini " di hadapan orang lain " Bukan ibu bukan bapakku " Apa sesungguhnya aku risaukan " Barangkali tak rela rahasiaku, rahasia kami berdua diketahui orang "
"Jadi benar dugaanku. Sesungguhnya Tuan mencintai gadis itu. Kehilangan dia kehilangan Tuan. Tuan kehilangan sesuatu, dan Tuan hendak sembunyikan kekecewaan itu dari dunia. Dia bukan perawan yang suci lagi. Ya, teruskan menangis, tapi jawab pertanyaanku. Bukan pertanyaan terakhir. Adalah penting mendapat gambaran dari hubungan kelamin Annelies yang pertama kali untuk bisa mengirangirakan bagaimana pengaruh atas dirinya. Setiap hubungan seksuil pertama akan tetap terpateri dalam sanubari insan, -dan juga bisa menentukan watak seksuil-nya. Tidak, tidak, kurang tepat. Mestinya kukatakan begini: bisa menentukan watak seksuilnya di kemudianhari. Sekarang pertanyaan: Apa Annelies pernah mengatakan atau mau mengatakan siapa dia " Orang pertama itu " atau lebih tepatnya, siapa yang terdahulu daripada Tuan itu ?"
"Aku tak mampu, Tuan Dokter," pekikku kesakitan.
"Tuan Minke yang ketiga yang harus dikedepankan. Juga belum pertanyaan terakhir. Siapa dia ?"
Aku tak menjawab. "Jadi Tuan tahu betul siapa dia atau mereka." "Bukan mereka, Tuan Dokter, dia. "Baiklah, dia r Ia menutup mata seperti sedang meresapkan sesuatu. Kemudian pertanyaannya yang tak acuh terdengar seperti halilintar yang menyedarkan aku: "Ya, dia. Memang Siapa dia ?"
."Ah, Tuan Dokter, Tuan Dokter!"
"Baik, tak perlu disebutkan namanya. Orang itu Tuan nilai sebagai orang baik atau tidak " Maksudku bukan tindak berahinya, tingkah-lakunya sehari-hari." "Tak berani, Tuan Dokter, tak berhak menilai."
"Nampaknya semua Tuan anggap sebagai rahasia pribadi, atau rahasia keluara, atau calon keluarga Tuan. Memang mengharukan sikap Tuan setyakawan terhadap semua anggota keluarga atau calon keluarga." Ia membuang muka seakan sengaja meluangkan kebebasan untuk menggunakan mukaku sendiri. "Setidak-tidaknya aku dapat menduga siapa orang itu, ya, melihat, justru melihat dari sikap Tuan sendiri. Tuan masih muda, sangat muda, dan Tuanlah sekali pun untuk sementara ini - dokter sesungguhnya bagi Annelies. Jadi Tuan harus kuat. Tuan menyukai dia, sekiranya Tuan tak mau dikatakan mencintainya. Aku sendiri lebih suka menggunakan kata yang belakangan itu. Tuan telah mempunyai kesanggupan menerima akibat kekurangannya, bersedia bertanggungjawab atas keselamatannya. Bagaimana pun Tuan tak akan lepaskan dia, karena ribuan elang akan memunahkannya. Kecantikannya memang luarbiasa, kecantikan kreol yang memundamkan orang di negeri mana pun. Dibolak-dibalik Tuan toh akan memperistrinya. Jadilah dokter yang baik bagi dia, sekarang, kelak, dan untuk seterusnya. Semakin tua kehidupan yang dihadapi semakin majemuk, maka orang harus semakin berani untuk dapat menghadapinya."
Makin panjang ia bicara makin berjingkrak Robert Mellema dalam bayanganku, malah mel&d&k-l&d&k dan mengancam-ancam, melirik dan mengamangkan tinju. "Ya, sikap Tuan sendiri yang mengukuhkan dugaanku. Ka-jau Tuan tidak sudi membenarkan atau menyalahkan dugaanku itu, apa boleh buat.........." "Tuan Dokter, Tuan' Dokter......... abangnya sendiri, Robert Mellema." Gelas limun di tangan tuanrumah jatuh pecah di lantai. Aku melompat dari kursi dan lari keluar mendapatkan bendiku.
Beberapa kali Dokter Martinet masih datang berkunjung. Biasanya pada sorehari bila Nyai Ontosoroh dan Annelies sudah selesai bekerja. Mereka pun duduk di halaman depan sambil mengobrol dan mendengarkan tabung musik dari phonograf. Pada umumnya aku lihat dia sewaktu bendiku memasuki pelataran, dan setelah mandi aku pun ikut menemuinya Setelah interpiu mengguncangkan itu, tak pernah kuceritakan pada siapa pun kecuali pada buku catatanku, hormatku pa. danya semakin mendalam dan tulus. Bukan saja aku anggap dia sebagai seorang dokter yang trampil, seorang sarjana yang tinggi kemanusiaannya, juga seorang yang mampu memberi benih kekuatan baru dalam diriku. Betapa dia berusaha untuk memahami orang lain! Bukan hanya memahami mengulurkan tangan penolong sebagai dokter, sebagai manusia, sebagai guru. Ia seorang sahabat manusia penamaan yang pernah dipergunakan oleh Juffrouw Magda Peters dan kemudian ia dapat menyatakan persahabatannya melalui banyak cara. Dan setiap cara membikin orang menumpahkan kepercayaan padanya. Kadang aku merasa malu pernah mencurigainya, sekali pun itu telah jadi hakku.
Setelah lebih banyak kuperhatikan, taksiranku tentang-umurnya jadi berubah. Bukan empatpuluhan, tapi limpuluhan. Wajahnya selalu segar kemerahan, dan muda. Belum ada garis-garis usia mengotori mukanya. Setiap ucapannya menarik dan berisi,IA pandai bercerita dan tanpa diketahui mencatat tanggapan orang terhadap ceritanya sebagai bahan untuk mengenal dan memahami pasien. Begitu menurut perkiraanku. Boleh jadi keliru.
Pada salah satu kunjunganku pada seorang pembesar untuk mengurus order pembikinan lukisan keluarga, kudapatkan tuan-rumah sedang membaca sebuah majalah Inggris di serambi. Waktu ia masuk untuk mengambil sesuatu majalah itu tertinggal terbuka. Kejadian itu memang suatu kebetulan. Lebih kebetulan lagi karena aku perlukan mengintip barang cetakan itu. Ada se buah artikel Dokter Martinet di dalamnya. Judul: Awal Jaman Baru dan Gejala Pergeseran Sosial sebagai Sumber Penyakit Baru. Dalam suatu box terbaca: pengobatan tanpa mengenal latarbelakang sosial telah masuk dalam methode Jaman Tengah.
Tuanrumah datang dan majalah itu kuletakkan kembali. Sejak detik itu aku tahu, Dokter Martinet juga seorang penulis. Bukan penulis cerita seperti aku, penulis keilmuan.
Dan pada kedatangannya sore itu aku coba memperhatikan lebih baik lagi tingkahlakunya. Aku tak perlu lagi gentar padanya karena takut terintip pedalamanku- Seperti biasa ceritanya juga mengandung makna, sekali pun diucapkan sambil berkelakar. Tentang bocah kembar yang sejak kecil makan dari satu piring dan minum dari satu cawan. Begitu menginjak dewasa, biar pun wajahnya sama, mereka menjadi berlainan. Masing-masing digerakkan oleh keinginan dan impian yang berlainan. Asal keinginan dan impian sama akibat dari kenyataan yang tidak mencukupi. Dan: gambaran batin tentang diri yang berbeda, gambaran yang orang ingin menjadi.
Mula-mula aku tak mengerti maksudnya. Mama dan Annelies diam saja. Mungkin juga bosan, kalau ia tak segera menambahi:
"Seperti Juffrouw Annelies ini. Segalanya punya: uang, ibu yang menyayang, kecantikan tanpa banding, ketrampilan kerja. Tapi masih ada sesuatu yang Juffrouw rasai tidak atau belum punya. Keinginan itu harus disadari. Kalau tidak bisa jadi penyakit. Keinginan tak disadari memerintah tubuh dengan kejam, tak mengenal ampun. Perasaan dan pikiran dikuasainya, diperintahnya. Kalau tidak disadari orang bertingkah-laku seperti orang sakit bisa kacau. Nah, Juffrouw, apa yang diinginkan sebenarnya maka sampai sakit ?"
"Tidak ada. Betul tidak ada."
"Dan mengapa tiba-tiba merah muka " Benarkah Jufrouw tak menghendaki Tuan Minke ?"
Annelies melirik padaku, kemudian menunduk.
"Nah, Nyai, kalau boleh menyarankan, nikahkan lebih cepat mereka ini pada kesempatan pertama," ia menatap aku. "Dan Tuan Minke, Tuan kan sudah belajar berani " belajar kuat " di samping berani belajar "......"
Ia tak teruskan. Sebuah dokar sewaan datang. Kusir membantu turun seorang penumpang: Jean Marais. May melompat turun, kemudian memimpin ayahnya. Kuperkenalkan mereka pada yang lain-lain:
"Jean Marais, pelukis, perancang perabot rumahtangga, bangsa Prancis, sahabatku, tak berbahasa Belanda."
Suasana jadi berubah. Soalnya Dokter Martinet tak mengerti Melayu. Mama dan Annelies tak tahu Prancis, biar pun Dokter Martinet tahu. Hanya May dan aku yang tahu semua bahasa mereka. Dan May dengan cepatnya melengket pada Annelies. Dan Dokter Martinet mengangguk-angguk melihat keriangan Annelies mendapatkan adik sedang May mendapatkan kakak. Selintas ia menghadapkan matanya pada Jean Marais, bertanya dalam Prancis:
"Berapa anak Tuan ?"
"May belum sempat bersaudara. Tuan Dokter," jawabnya dan matanya memancarkan tak senanghatinya mendapat pertanyaan itu.
Tapi Martinet dengan kebiasaan menembusi pedalamanorang itu tidak peduli, meneruskan dalam Belanda tanpa alamat tertentu:
"Kalau mungkin alangkah indah kalau mereka berdua diusahakan berkumpul. Mestinya sudah dari dulu......."
Sementara itu Annelies telah membawa May masuk ke rumah. Tak keluar lagi. Dari kejauhan terdengar tawa dan cericau mereka, kadang dalam Melayu, kadang dalam Jawa dan Belanda.
Jean Marais menggeleng mendengar suara anaknya. Wajahnya berseri. Hanya suasana kaku tetap menguasai kami suatu hal yang menyebabkan Dokter Martinet tak bersenanghati. Ia minta diri, naik ke keretanya yang menunggu di samping rumah.
"Tuan Martinet dokter pandai," kataku dalam Melayu. "Dia yang menyembuhkan Annelies. Kami sangat berterimakasih. Sedang sahabatku ini. Mama. dia datang minta ijin untuk melukis Mama, sekiranya Mama setuju dan ada waktu." "Apa guna dilukis ?"
"Mevrouw," panggil Jean. "Nyai, Tuan, bukan Mevrouw."
"Minke sangat mengagumi Mevrouw......" "Nyai, Tuan."
"......sebagai wanita Pribumi luarbiasa. Dia banyak menyanjung Mevrouw, maka ..... " "Nyai, Tuan.
" maka kami bersepakat untuk mengabadikan dalam lukisan. Kelak, entah satu atau empatpuluh tahun yang akan datang, orang tentu akan masih tetap mengenal dan mengagumi."
"Maaf. Tak ada keinginanku untuk dikagumi."
"Dapat dimengerti. Hanya orang pandir mengagumi diri sendiri. Tapi jang mengagumi Mevrouw bukan Mevrouw pibadi, bukan justru saksi hidup pada jamannya."
"Sayang, Tuan. tidak ada kesediaanku. Berpotret pun ti-dak.w' "Kalau begitu ya, memang sayang sekal" Kalau begitu kalau begitu.... boleh kiranya memandangi M :ouw untuk dihafal dalam hati ?" tanyanya sopan dan kikuk. Nyai jadi kemerahan. "Untuk kulukis kemudian di rumah ?"
Pandang Nyai disapukan padaku, kemudian pada rumah, kemudian pada punggung papannama di kejauhan sana. Akhirnya pada meja kebun. Ia nampak risi, rikuh, dan salah tingkah.
"Jangan. Jangan. Tuan," ia tersipu. "Dan kau, Mt..ke, apa saja kau ceritakan di luar sana tentang diriku ?"
"Tak ada yang buruk, Mevrouw. Semua pujian semata." Melihat kebingungan Nyai buru-buru aku bilang: "Sekarang ini Mama belum lagi suka. Mungkin lain kali." "Lain kali juga tidak."
"Dia sahabatku, Mama." "Kalau begitu sahabatku juga."
Sekarang Jean Marais, yang-sejak semula memang berperasaan peka, mungkin karena cacadnya, kelihatan gelisah dan i-ngin segera pergi. Matanya gugup mencari anaknya, yang hanya kedengaran suaranya, menyanyi di kejauhan.
"Dia ada di dalam, Tuan," kata Nyai. "Mari masuk."
Kami masuk. Makin jelas nyanyi riang May bersama Annelies. Dan Nyai kelihatan gembira mendengarnya. Sejak aku di Wonokromo tak pernah ia terdengar nyanyi. Nampaknya ia kembali jadi kanak-kanak masa yang terlalu pendek baginya, direnggutkan oleh tanggungjawab dan kerja itu.
Jean termenung-menung tanpa kata.
"Tuan Marais," kata Mama setelah kami duduk di ruangde-pan tanpa ada yang bicara. "Anak Tuan ternyata membawa udara segar di rumah ini. Bagaimana kiranya kalau dia sering kemari seperti anjuran Dokter Martinet tadi ?"
"Kalau anaknya suka, tentu tak ada halangan," suaranya murung seakan takut kehilangan.
"Minke, Nyo, undanglah Tuan Marais menginap." "Bagaimana Jean, kau suka ?"
Untuk kesekian kalinya aku lihat betapa kikuk seniman pencipta keindahan ini. Ia tak dapat menjawab soal yang begitu sederhananya. Ia pandangi aku, putus akal. "Ya, Jean, sebaiknya kau menginap. Besok, pagi-pagi, aku antarkan kau agar bengkel tidak terlambat buka."
Ia mengangguk menyetujui, lupa mengucapkan terimakasih atas undangan yang ramah ku.
Pada malamhari sewaktu tidur seranjang denganku aku bertanya padanya, mencobacoba cara bicara Dokter Martinet:
"Jean, nampaknya kau selalu lesu. Apa masih juga meratapi masalalumu " Maafkan." "Itu pertanyaan seorang pengarang, Minke. Sungguh kau sudah pengarang seratus persen."
"Bukan begitu, Jean. Maafkan. Aku jauh, jauh lebih muda memang, juga jauh kurang pengalaman dan pengetahuan. Mau kau menjawab, Jean ?"
"Itu sangat pribadi. Lagi pula akan kututup dengan selesainya lukisan dulu itu. Kau hendak menulis tentang aku ?"
"Sungguh kau seorang pribadi yang menarik. Ya, kalau tidak gagal. Apa sesungguhnya kau inginkan, Jean ?"
"Inginkan " Ah, kau! Kau seniman. Aku seniman. Setiap seniman menginginkan, mengimpikan puncak sukses. Sukses! Dan mengumpulkan tenaga, Minke, hanya untuk mempertahankan suksesnya sukses yang menganiaya itu." "Tapi suaramu begitu murung seakan kau tak percaya pada datangnya sukses itu." "Pertanyaan itu kau sudah seniman sesungguhnya. Aku harap pertanyaan itu lahir dari pergulatan batinmu sendiri, hasil kerjamu sendiri selama ini. Itu sungguh bukan pertanyaan orang seumur kau. Pertanyaan yang mengandung otoritas. Kau percaya itu pertanyaanmu sendiri ?"
Aku tertegun. Bertanya seluwes mungkin: "Apa maksudmu dengan otoritas ?"
"Secara pendek: orang yang mengerti benar pertanyaannya sendiri." Jelas ia belum mengantuk. Dan jelas usahaku gagal. Lebih lagi karena ia tak mau meneruskan.
Dan malam itu aku tenggelam dalam begitu banyak soal, membikin aku merasa harus mengucapkan selamat tinggal pada masa remajaku yang indah gilanggemilang penuh kemenangan. Ya, biar pun untuk orang lain mungkin tidak berarti. Semua yang telah kucatat yang memberi hak padaku untuk menamai kemenangan. Dan di antara kemenangan-kemenangan itu, yang terbesar, cinta Annelies. Sekali pun, ya, sekali pun ia tak lain daripada boneka rapuh.
Hanya bunyi pendule mengisi kesenyapan malam. Teringat olehku satu kalimat Dokter Martinet:
"Sapi-sapi perah Nyai dalam mempersiapkan diri jadi sapi perah; sapi penuh, sapi dewasa, membutuhkan waktu hanya tiga sampai empatbelas bulan. Bulan! Manusia membutuhkan belasan, malah puluhan tahun, untuk jadi dewasa, manusia dalam puncak nilai dan kemampuannya. Ada yang tidak pernah jadi dewasa memang, hidup hanya dari pemberian seseorang atau masyarakatnya: orang-orang gila dan kriminil . Mantap-tidaknya kedewasaan dan nilai tergantung pada besar-kecilnya dan ba-nyak-sedikitnya ujian. Yang selalu lari dari ujian, cobaan si kriminil dan si gila itu tidak pernah dewasa. Dan sapi hanya tiga atau empatbelas bulan persiapan tanpa cobaan, tanpa ujian....."
Ya Allah, sesungguhnya sudah terlalu besar cobaan dan ujian yang Kau berikan padaku, pada umurku yang semuda ini. Keadaan telah membikin aku terlalu cepat disarati soal-soal yang semestinya belum jadi perkaraku. Beri aku kekuatan pada setiap percobaan dan ujian yang Kau sendiri hadapkan padaku sebagaimana Kau lakukan terhadap orang-orang sebelum aku..... Aku bukan gila. Juga bukan kriminil. Dan tak bakal!
16. PAGI HARI ITU LANGIT TAK BERMENDUNG. MINGGU cerah. Hatiku sendiri yang tidak ikut cerah. Mega-mendung yang tiba-tiba muncul dan bergerak cepat melintasi antariksa dalam dada, memberitakan akan datangnya badai. Kemarin waktu berkuda (aku sudah pandai berkuda!) dengan Annelies sabtu sore tanpa diskusi-sekolah sekilas nampak olehku si Gendut. Sejak itu hatiku kembali jadi resah.
Ia nampak sedang berkendara kuda murahan kemudian meninggalkan kampung dalam wilayah perusahaan. Pada malam-hari waktu Darsam datang ke kamarku untuk belajar baca-tulis dan berhitung, aku menolak mengajar. Aku ceritakan padanya tentang adanya orang gendut yang mencurigakan, pernah mengikuti aku sejak kota B. (Ya, tiba-tiba aku jadi ingat: memang dia membeli karcis di loket stasiun B. tepat setelah aku. Juga teringat: dia datang lebih dulu, bersandaran pada tiang perron dan bicara dengan seseorang).
Apa dia sipit. Tuanmuda " Darsam bertanya. Agak... aku membenarkan.
Ya, memang sudah beberapa kali kelihatan di kampung. Darsam meneruskan dan mengira dia mindring biasa.
Kalau mindring tentu berkuncir. Dia tidak, kataku, mungkin suruhan Robert. Darsam tak menjawab.
Di mana Robert sekarang " Tak pernah dia nampak sejak aku dari B. Tak mungkin dia berani pulang. Masih ingat ceritaku dulu, Tuanmuda " Dia diperintahkan membunuh Tuanmuda " Dan aku bilang padanya : Majikanku Nyai dan Noni; orang yang mereka sukai aku sukai; kalau Sinyo menghendaki terbunuhnya Tuanmuda, sebaiknya Sinyo sendiri yang kutebang; kau bukan kau bukan majikanku; awas! aku cabut parang, dan dia lari......
Begitulah kemarin. Munculnya si Gendut menggelapi hati. Dan matari pagi tak kuasa mengusir mega-mendung yang bergumpalan dalam antariksa hati. Jadi kau sudah pernah lihat si Gendut " tanyaku pada Darsam semalam. Sekiranya kau bertemu lagi apa akan kau perbuat ",
Kalau benar tangan-tangan Sinyo Robert, dia akan berkalang tanah. Husy, jangan sembarangan, kataku menegah. Tak boleh. Kalau terjadi, semua akan mengalami celaka. Tidak boleh, Darsam, tidak boleh. Mengerti " Tidak boleh, Tuanmuda, baik, tidak boleh. Hanya akan kuhajar dia sampai patahpatah, biar tak bisa bikin apa-apa dalam sisa hidupnya.
Jangan, kita belum tahu benar duduk-perkaranya. Kalau sampai berurusan dengan polisi, siapa akan bantu Mama " Aku tak bisa. Tak sanggup.
Dan Darsam terdiam. Kemudian ia bicara pelahan dan ragu: Baik, akan kudengarkan Tuanmuda.
Betul, kataku, kau harus dengarkan. Aku tak mau jadi biangkeladi kecelakaan bagi keluarga ini. Dan.......tetap tak boleh ada yang tahu.
Dan pagi ini Darsam kulihat berjalan gelisah ke sana-sini. Ia memperlihatkan diri dengan sengaja agar setiap saat dapat aku panggil bila kuperlukan. Aku tahu: dia sedang menjaga nyawaku dari kemungkinan si Gendut.
Kami bertiga, Mama, Annelies dan aku, duduk-duduk di depan rumah mendengarkan tsardas. Nada-nada itu berlompatan seperti sekelompok udang kali waktu banjir. Hatiku tetap ber-mega-mendung. Ada sesuatu firasat memang: sesuatu akan terjadi.
Kuperhatikan Annelies dan Mama berganti-ganti. Sebaliknya Mama mencurigai gerak-gerik Darsam yang diluar kebiasaan.
"Mama nampak tak tenteram," kataku.
"Selamanya begitu. Kalau Darsam sudah mondar-mandir seperti tikus dapur begitu hati ini jadi gelisah. Ada saja yang akan terjadi. Memang sudah sejak semalam aku gelisah. Darsam!"
Dan Darsam datang, berdiri memberi tabik.
"Mengapa mondar-mandir begitu ?" tanya Mama dalam Madura. "Kaki ini gatal saja mau bergerak sendiri, Nyai."
"Mengapa tak gatal kaki di belakang sana ?" "Bagaimana, Nyai. maunya si kaki ini ke depan juga."
"Baik. Tapi tampang kelihatan begitu seram. Bengis. Matamu membelalak haus darah."
Darsam tertawa bahak dibuat-buat dan pergi setelah memberi tabik dengan mengangkat tangan. Kumisnya masih berayun-ayun seperti ia sedang mengucapkan japa-mantra. Matanya memang membelalak pagi ini seakan kupingnya sedang menangkap suara-suara gaib dari langit.
"Mengapa diam saja, Ann ?" tanyaku.
"Tak apa-apa," ia bangkit berdiri dan berjalan ke phono-graf. mematikannya. "Mengapa dimatikan ?" Mama bertanya.
"Tak tahulah. Ma, rasanya bising benar musik hari ini." "Barangkali Minke masih suka mendengarkan."
"Biarlah. Ma. Ann, kau masih ingat orang yang naik kuda Kemarin ?" "Yang berpakaian piyama loreng-coklat ?" Aku mengangguk. "Siapa V "Siapa naik kuda " Di mana ?" tanya Mama gopoh.
"Di kampung, Ma," Annelies menerangkan.
"Selama ini tak pernah ada orang datang naik kuda di kampung. Kecuali anak Mbok Karyo, opas jaga pada B.P.M."
"Bukan dia, Ma. Lagi pula dia tak pernah berpiyama kalau pulang berkuda, menjenguk orangtua. Orang yang ini gendut, kulitnya langsat cerah, agak sipit memang."
"Darsam!" panggil Mama.
"Nah, Nyai, itu perlunya gatal kaki." Dan Mama tak menanggapi kelakarnya:
"Siapa si gendut yang kemarin naik kuda di kampung ?" "Mindring biasa, Nyai."
"Omongkosong. Mana ada mindring naik kuda. Tingkahmu juga aneh hari ini. Biar bisa sewa, naik tidak bisa. Apa dia berkuncir ?"
Darsam, lain dari biasa, untuk kedua kali tertawa bahak penutup sesuatu yang ada dalam hati. Kemudian:
"Mulai kapan Nyai tidak percaya sama Darsam ?" ia seka kumisnya dengan punggung lengan.
"Darsam! Hari ini kau sungguh aneh."
Dan pendekar Madura itu tertawa lagi, memberi tabik dan pergi tanpa meninggalkan kata.
"Dia menyembunyikan sesuatu!" Mama berkomat-kamit. "Hati semakin jadi tak enak begini. Mari masuk saja."
Ia tak jadi membaca, berdiri, dan menuiu ke rumah. "Mas, Darsam, juga Mama sendiri, jadi begitu aneh. Mengapa " "Mana aku tahu " Mari masuk."
Annelies masuk. Aku masih juga berdiri, mencari-cari dengan mataku. Dan nampak olehku Darsam lari dengan parang telanjang di tangan kanan menuju ke pintu gerbang. Di sana sekilas nampak olehku si Gendut sedang berjalan ke jurusan Surabaya. Ia berpakaian setelan kuning gading, bertopi putih, bersepatu putih dan bertongkat, seperti seorang pelancong. Dugaanku dulu, dia dapat juga seorang punggawa Majoor der Chinee-zen, sudah lama tak berlaku lagi." Melihat Darsam dengan sendirinya aku terpekik:
"Jangan, Darsam! Jangannnnnn!" dan aku lari mengejarnya.
Dan Darsam tak dengarkan aku. Ia lari terus mengejar si Gendut. Tak bisa lain, aku pun lari terus mengejar Darsam untuk mencegahnya. Tak boleh terjadi sesuatu. Dan Darsam terus saja mengejar si Gendut. Dan aku pun lari terus mengejar pendekar itu sambil berseru-seru mencegah ~ sekuat tenagaku.
Dari belakang kudengar pekikan Annelies: "Mas! Mas!"
Aku menengok sekilas. Annelies lari mengejar aku.
Nampaknya si Gendut tahu sedang dikejar. Ia lari tunggang-langgang menyelamatkan dagingnya yang berlebihan itu dari parang sang pendekar. Antara sebentar ia menengok ke belakang.
"Ndut! Ndut! brenti kau!" pekiknya parau. Si Gendut membungkuk mempercepat larinya.
"Darsam! Pulang! Jangan teruskaaaaaan!" teriakku.
"Mas, Mas, jangan ikuuuuut," pekik Annelies dari belakangku, melengking kuat. Aku telah sampai di pintu gerbang. Gendut lari paling depan, lurus menuju ke Surabaya. Darsam semakin mendekati.
"Anneliesssss! Aaaaaan! Anneliesssss! Kembaliiiii!" terdengar pekik Nyai. Waktu menoleh sekilas kulihat Mama lari mengejar anaknya dengan kainnya diangkat tinggi-tinggi. Kondainya lepas terburai. Gendut lari menyelamatkan diri. Darsam lari mengejar Gendut. Aku lari mengejar Darsam. Annelies mengejar aku. Dan Nyai mengejar anaknya.
"Darsam! Dengarkan aku. Jangan!"
Dan ia tak peduli. Lari dan terus lari. Sebentar si Gendut pasti tersusul dan akan kehilangan kepalanya. Tidak! Itu tak boleh
"Mas! Mas! Jangan ikut-ikutan!" pekik Annelies. "Ann. Anneliessss. pulangggggg!" pekik Mama.
Dan sekiranya Gendut lari terus ke jurusan Surabaya ia pasti mati. Jalanan itu sunyi di hari Minggu, dan sawah, sawah belaka, rumah plesiran atau suhian Ah Tjong, dan sawah Nyai, sawah dan ladang, dan sawah, dan baru kemudian hutan. Rupanya ia mengenal" medan. Satu-satunya kemungkinan: membelok masuk ke pelataran Ah Tjong. Ia lakukan itu. Hilang dari pc-ngelihatanku.
"Jangan belok!" perintah Darsam pada calon kurbannya. "Darsam! Alaaa Darsam!" pekikku.
Kemudian pendekar itu pun membelok dan lenyap. "Jangan masuk ke situ!" teriak Nyai sayup. "Jangan masuk ke situ!" pekik Annelies meneruskan.
Dan sekarang aku juga membelok masuk ke pelataran Ah Tjong. Si Gendut tak kelihatan. Hanya Darsam yang nampak I berdiri ragu. tak tahu apa harus diperbuat. Pintu dan jendela depan rumah tertutup seperti biasa. Darsam yang kususul terengah-engah. Nafasku sendiri sengal-sengal.
"Bajingan itu menghilang entah ke mana, Tuanmuda." "Sudah, mari pulang. Jangan teruskan."
"Tidak bisa. Dia harus dikasih pelajaran."
Tak dapat dicegah. Ia berjalan melalui deretan jendela samping rumah. "Mas! Jangan masuki rumah itu!" pekik Annelies dari gerbang tetangganya. "Mama larang." Tapi ia sendiri sudah memasuki pelataran depan dengan sempoyongan. Darsam melihat kekiri-kanan. Kutarik-tarik dia agar kembali. Dan ia tak menggubris. Parang telanjang tak juga disarungkan. Akhirnya aku pun ikut bermata jalang. Ternyata gedung Babah Ah Tjong, tetangga itu. lebih besar dan panjang daripada yang nampak dari luar. Di belakang masih ada pavilyun panjang. Hampir seluruh tanah yang mengitari adalah taman dengan pepohonan buah dan bunga-bungaan. Semua terawat baik. Jalanan kecil berlapis batu kali belah meretas-retas seluruh taman. Di mana-mana kelihatan bangku kayu. tebal, dan nampak berat, dicat hitam. Sekilas kulihat sepasang orang. Mereka tak melihat kamiPemandangan demikian tak pernah nampak dari luar tertutup pagar hidup tinggi, tebal, bersap-sap. Darsam membelok ke kanan, melingkari belakang rumah utama. Tak ada nampak orang di dekat-dekat. Sebuah pintu be; lakang terbuka lebar. Di belakangku, Annelies sudah melewati
deretan jendela samping rumah. Sekarang seruan Nyai semakin terdengar jelas: "Jangan, jangan masuki rumah itu!"
Dan tanpa ragu Darsam masuk melalui pintu belakang,IA berhenti, menengok ke kiri-kanan, dengan parang telanjang tetap di tangan.
Dan aku pun ikut masuk ke dalam.
Sebuah ruangan cukup luas, ruangmakan, terbentang di hadapanku, lengkap dengan perabot: meja-kursi. bupet dengan barang pecahbelah di dalam. Sebuah kalligrafi Tionghoa pada cermin bergelantungan menghiasi dinding. Beberapa pikar kertas juga bergelantungan dengan lukisan aquarel udang, bambu dan kuda. Tiba-tiba Darsam terkejut, terpakukan pada lantai. Kedua belah lengannya terkembang mc/iahan aku agar tak maju lebih ke depan. Aku tetap mendekati. Apa " Sesosok tubuh seorang lelaki Eropa tergeletak di pojok ruangmakan. Badannya panjang dan besar, gemuk, gendut. Rambutnya yang pirang telah bersulam uban dan agak botak. Tangan-kanannya terangkat di atas kepala. Tangan kiri tergeletak di atas dada. Leher dan tengkuknya berkubang dalam muntahan kekuning-kuningan. Bau minuman keras memadati ruangan . Kemeja dan celananya kotor, seperti telah sebulan tak pernah dicuci.
"Tuan!" bisik Darsam. "Tuan Mellema ?"
Mendengar nama itu disebut aku bergidik, dan bergidik lagi mendekati orang seperawakan dengannya, lebih tambun daripada yang pernah kulihat, tergeletak seperti topo di pojok. Tubuh itu mungkin dalam keadaan mabuk luarbiasa atau tertidur setelah muntah.
Darsam mendekat, berjongkok dan meraba-rabanya dengan tangan kiri. Pada tangan-kanannya parang telanjang itu masih tetap siaga. Tubuh itu tetap tak bergerak. Darsam menggoyang-kannya, kemudian merabai dadanya. Aku menghampiri. Memang Tuan Mellema.
"Mati!" desis pendekar itu. Baru ia menoleh padaku, mene-ruskan desisnya, "Mati. Tuan Mellema mati." Dan keseraman Pada wajahnya sekaligus hilang.
Annelies muncul di pintu, berseru parau, kehabisan suara, tersengal-sengal;
"Mas, jangan masuki rumah ini."
Aku keluar, turun, dan menariknya pada bahunya. Mama datang, juga megapmegap. Mukanya kemerahan dan rambutnya kacau teburai ke mana-mana, pada kuping, muka, leher dan punggung. Ia bermandi keringat .
"Ayoh pulang! Semua! Jangan masuki rumah terkutuk ini, bisiknya megap-megap. "Tuanmuda!" panggil Darsam dari dalam.
"Jangan masuk!" sekarang aku yang melarang Annelies dan Mama. Dan aku masuk. Darsam sedang menggoncang-goncangkan tubuh Tuan Mellema. Parang telanjang itu masih juga pada tangan-kanannya.
"Memang sudah mati," katanya, "tak ada nafas. Darahnya sudah berhenti." Annelies dan Mama ternyata sudah ada di belakangku.
"Papa ?" bisik Annelies.
"Ya, Ann, Papamu." "Tuan ?" bisik Nyai.
"Mati, Nyai, Noni, Tuan Mellema mati."
Dua wanita itu melangkah lebih maju, kemudian berdiri termangu. "Bau minuman keras itu!" bisik Nyai.
"Ma "Ann. perhatikan bau minuman keras itu," bisik Nyai lagi tanpa maju lebih jauh. "masih teringat olehmu ?"
"Seperti pada Robert, Ma ?"
"Ya, waktu mulai jadi sinting juga," sambung Nyai, "juga seperti pertama kali Tuan jadi begitu. Jangan mendekat. Ann. jangan."
Mendadak semua mengangkat pandang mendengar suara langkah seorang wanita. Dan mereka melihat seorang perempuan berkimono kuning berkembang besar-besar merah dan hitam. Kulitnya lebih banyak putih daripada kuning: wanita Jepang. Langkahnya pendek-pendek dan cepat menuju ke arah kami. Kemudian ia bicara pada kami dalam Jepang dengan suara bening dan mengikat. Kami tiada mengerti. Sebagai jawaban aku menuding pada mayat yang menggeletak di pojok ruangmakan. Ia menggeleng dan bergidik, balik Kanan, lari dengan langkah pendek-pendek, lebih cepat, masuk dalam melalui korridor.
Kami mengikuti dengan pandang terheran-heran. Itulah untuk pertama kali aku melihat perempuan Jepang. Mukanya ) bundar, mata sipit, bibir bergincu merah dadu, bergigi mas sebuah, rasa-rasanya takkan bisa terlupakan seumur hidup. Tak lama kemudian dari korridor yang sama muncul sesosok tubuh lelaki jangkung, seorang Indo, kurus bermata cekung. "Mama," bisik Annelies, "Robert, Ma."
Baru aku mengenal kembali pemuda gagah itu kini telah berubah begitu mengagetkan. Memang Robert.
Mendengar nama Robert disebut Darsam terlonjak dari jongkoknya, lupa pada mayat Tuan Mellema.
"Nyo!" pekik Darsam.
Robert berhenti seketika. Matanya membelalak. Begitu mengenali Darsam dengan parang di tangan cepat ia berbalik dan lari. Darsam mengejar.
Annelies, Nyai dan aku terpakukan pada lantai. Terpukau. Sekilas dalam bayanganku nampak Robert tergeletak bermandi darah, mengangakan luka bacok. Tapi tidak! Darsam datang lagi, menyeka kumis dengan lengan. Wajahnya ganas. "Dia lari. Nyai. Masuk ke kamar, lompat keluar jendela. Entah ke mana." "Sudah, Darsam, sudah," baru Nyai bisa bicara. "Jangan teruskan gila-gilaan seperti itu. Dia anakku," suaranya gemetar. "Urus tuanmu itu."
"Baik, Nyai." Annelies memegangi lengan ibunya kukuh-kukuh.
"Begitu," desis Nyai menahan murka. "Tak ada yang beres jadinya. Kau pulang, Ann. Apa aku bilang " Jangan masuk ke sini, rumah maksiat terkutuk ini. Angkat bawa pulang tuanmu itu, Darsam."
"Pinjamkan kereta sini," perintahku pada Darsam.
Baru pendekar itu memasukkan parang ke dalam sarungnya dan pergi keluar. Kini Nyai nampak tegar memandangi mayat tuannya, sedang Annelies dengan sendirinya menyembunyikan muka pada dada ibunya.
"Diurus baik-baik tidak mau. Lebih suka diurus tetangga. Ah Tjong! Ah Tjong!" Nyai berseru. "Ah Tjong! Babah!" dan yang dipanggil tak kunjung muncul. Darsam masuk lagi. Menggerutu:
"Penjaga kurangajar itu tak mau pinjamkan tanpa ijin." "Di mana Babah ?"
"Tak ada di sini, katanya."
"Ambilkan kereta sendiri." Biar aku yang pergi," kataku. "Tunggu kalian berdua di sini," kata Nyai. "Biar aku
yang pulang. Ayah pulang. Ann!" dan ditariknya anaknya.
Dua perempuan itu bergandengan tangan, pimpin-memim-pin. meninggalkan rumahplesiran Ah Tjong melalui pintu belakang. Mereka tak indahkan mayat Mellema yang terkapar menganga.
Pada waktu itu dapat kusaksikan betapa Nyai telah patah arang dengan tuannva.
Menjamah pun ia tak sudi, biar pun mayat itu adalah ayah anak-anaknya sendiri. Betapa dia tak dapat memaafkan.
"Dimulai dengan baik. Tuanmuda, ditutup dengan begini menjijikkan." gerutu Darsam. "Yang diburu luput, yang didapat keparat."
Baru kemudian terdengar keributan dalam kamar-kamar. Dan tak lama setelah itu terdengar perempuan-perempuan berlarian.
"Sundal-sundal Babah Ah Tjong," desis Darsam. "Lima tahun Tuan bersarang di sini. mati di sini juga. Mati di sarang sundal. Uh, Tuan. Tuan Mellema! Lima tahun Nyai menahan geram. Sampai matinya dia tak mau peduli. Manusia sampah!" Darsam meludah ke lantai.
"Dan Robert juga di sini."
"Di bawah satu atap, dengan sundal-sundal sama. Manusia keparat!" "Mama mesti biayai semua ini ?"
"Setiap bulan rekening datang."
"Jangan ganggu mayat itu," tegahku, terlambat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar