Arus Balik.
Karya : Pramoedya Ananta Toer
Di Bawah Bulan Malam Ini Tiada setitik pun awan di langit.
Dan bulan telah terbit bersamaan dengan tenggelamnya matari.
Dengan cepat ia naik dari kaki langit, menguningi segala dan semua yang tersentuh cahayanya. Juga hutan, juga laut, juga hewan dan manusia.
Langit jernih, bersih dan terang.
Di atas bumi Jawa lain lagi keadaannya: gelisah, resah, seakan-akan manusia tak membutuhkan ketenteraman lagi.
Bagian 1. Abad ke enambelas Masehi
Bahkan juga laut Jawa di bawah bulan purnama sidhi itu gelisah. Ombak-ombak besar bergulung-gulung memanjang terputus, menggunung, melandai, mengejajari pesisir pulau Jawa. Setiap puncak ombak dan riak, bahkan juga busanya yang bertebaran seperti serakan mutiara semua dikuningi oleh cahaya bulan.
Angin meniup tenang. Ombak-ombak makin menggila. Sebuah kapal peronda pantai meluncur dengan kecepatan tinggi dalam cuaca angin damai itu. Badannya yang panjang langsing, dengan haluan dan buritan meruncing, timbul-tenggelam di antara ombak-ombak purnama yang menggila. Layar kemudi di haluan menggelembung membikin lunas menerjang serong gununggunung air itu serong ke baratlaut. Barisan dayung pada dinding kapal berkayuh berirama seperti kaki-kaki pada ular naga. Layarnya yang terbuat dari pilinan kapas dan benang sutra, mengkilat seperti emas, kuning dan menyilaukan.
Pada puncak tiang utama, di bawah lentera, berkibar bendera panjang merah dan putih bendera kadipaten Tuban. Di bawahnya lagi, duduk di atas tali-temali, seperti titik kelam, adalah jurutinjau.
Tepat di bawah layar utama berdiri nakhoda yang sebentar-sebentar meninjau pada jurutinjau di atas. Di sampingnya berdiri Patragading, bertolak pinggang. Tetap tak ada yang mengejar, Tuanku! seru juru tinjau. Kita akan selamat sampai di tempat, bisik nakhoda pada Patragading sambil menyembah dada. Tak ada yang mengejar kita.
Patragading mengangkat kain dan diikatkannya pada pinggang sehingga seluarnya dari sutera itu mengerjapngerjap terkena cahaya bulan. Kerisnya tertutup oleh kainnya suatu gaya pembesar yang kehilangan kesabaran. Silakan mengaso. Sebentar lagi Tuban akan nampak. Lihat yang baik, barangkali ada iring-iringan perompak.
Tak pernah ada perompak berani mendekati kapal sahaya.
Lihat yang baik, gertak Patragading. Tangannya membetulkan kain penutup dadanya.
Ahoo! Bagaimana dengan depan dan samping" Tiada sesuatu. Tuanku, nakhoda itu meneruskan laporan jurutinjau sambil menyembah dada. Sebaiknya Tuanku mengaso sebelum mendarat tengah malam ini.
Patragading melepas kain lagi sehingga seluar sutranya tertutup kembali. Ia tinggalkan tiang utama dan berjalan mondar-mandir di geladak, kemudian pergi ke haluan, memeriksa sendiri senjata cetbang. Sebentar. Ia menjenguk ke bawah, memandangi lunas yang menerjang ombak. Juga tak lama. Dengan tinju ia memukul-mukul dinding kapal, kemudian berjalan lagi mondar-mandir tanpa tujuan. Akhirnya ia menuruni tangga geladak dan hilang dari pemandangan.
Ahoi! Turun! perintah nakhoda pada jurutinjau. Begitu kakinya sampai ke geladak, jurutinjau itu menghembuskan nafas besar.
Mati semua awak kapal kalau orang darat ikut campur begini, sambut nakhoda.
Ya, begitulah bila Tuanku majikan ada di kapal. Pada putra Gusti Adipati tak ada nakhoda berani membantah, biarpun putra ke dua ratus empat puluh satu! Uh, bulan pun tersenyum melihat kita, Tuanku. Lebih gampang menumpas perompak. Tengah malam ini tugas keparat ini akan selesai. Boleh jadi ada perintah kembali.
Dewa Batara! sebut nakhoda. Itu berarti akan terkapar ditelan hiu.
Ts-te-ts. Coba lihat jurumudi, apakah dia masih ada di tempat. Tapi sahaya jurutinjau, Tuanku.
Apa lagi yang hendak kau tinjau" Angin"
Jurutinjau pergi. Nakhoda itu naik ke atas tiang utama, hanya agar tidak berada di dekat Patragading, putra ke dua ratus empat puluh satu.
Juga di bawah bulan purnama sidhi itu pula, di sebuah botakan hutan seekor anjing hutan merenungi langit. Lehernya memanjang, kemudian menunduk pelan sambil mengeluarkan suara tenggorokan, pelahan. Kaki depannya berdiri, kaki belakangnya bersimpuh. Kepala itu diangkat lagi. Matanya semakin sayu. Dari mulutnya keluar suara keras, membaung, melolong. Kepalanya terangkat-angkat, kupingnya berdiri dan buntutnya berkibas-kibas pelahan ke kiri dan kanan. Ia memanggil bulan dan yang dipanggilnya tak mau datang. Yang datang justru berpuluh-puluh yang lain, jantan betina dan anak-anaknya. Semua itu memandang ke atas, memanggil-manggil sang bulan, meraung, melolong, membaung.
Hutan yang senyap itu berubah jadi hiruk. Suaranya melayang, mengambang dalam cahaya bulan mencapai desa perbatasan kadipaten Tuban: Awis Krambil. Menusuk lebih dalam ke tengah-tengah desa, memasuki balai-desa.
Dengar anjing-anjing membaung! orang tua itu menuding ke arah atap. Alisnya yang putih terangkat. Badannya tetap tenang duduk di atas tikar menghadapi para pendengarnya.
Tak pernah anjing hutan membaung seperti itu. Sunyi-senyap di ruangan balai-desa. Semua memanjangkan leher mendengarkan baung ratusan anjing di tengah hutan. Ratusan sumbu damarsewu yang menyala di sepanjang dan seputar rumah umum itu bergoyanggoyang terkena angin silir.
Apakah gerangan yang akan terjadi, Rama" kepala desa yang duduk agak di belakang orang tua itu bertanya.
Bulan purnama begini. Semua indah. Hanya anjinganjing pada menangis. Bulan itu takkan menanggapi mereka. Sejak dahulu pun tidak. Tapi bulan penuh, menua dan hilang. Bulan purnama sekarang, tapi bukan purnama untuk kalian. Untuk kita. Kita sedang tenggelam.
Kita belum pernah tenggelam, Rama, protes seorang gadis di tengah-tengah hadirin.
Kau belum pernah tenggelam, gadis. Kau pun belum pernah terbit. Kita kita pernah terbit, dan sekarang sedang tenggelam. Lihat, sebagai bayi aku dilahirkan di sini. Kalian semua belum lagi lahir. Hutan dan alang-alang masih berjabat-jabatan. Sawah belum ada. Hanya huma, gadis. Dulu desa ini dinamai Sumber Raja& Tiba-tiba suaranya terangkat naik, melengking. Kalian biarkan desa ini di hina oleh orang kota, dan kalian sendiri setuju dengan nama Awis Krambil. Ia tertawa sengit.
Bukan begitu Rama Guru, bantah kepala desa gopohgapah dan menebarkan pandang minta sokongan hadirin. Nama itu diberikan sebagai ucapan ikut prihatin terhadap sulitnya kelapa di sini. Lama-lama jadi sebutan resmi di Tuban. Kami hanya mengikuti, Rama.
Apa saja kalian kerjakan dalam tujuh tahun ini maka sebuah desa bisa kekurangan kelapa" orang tua itu tak menoleh pada kepala desa. Apakah di mandala kalian sudah tak pernah diajarkan tentang kelapa dan tentang desa, bahwa kesejahteraan desa nampak dari puncakpuncak pohon kelapanya"
Para hadirin berhenti mengunyah sirih mendengar perselisihan sudah dimulai itu. Dengarkan kata-kata Rama Cluring ini, orang tua itu meneruskan dengan tubuh tetap tidak bergerak dalam silanya. Desa yang kekurangan kelapa& . adalah karena ada apa-apa kecuali kelapa di dalam kepala-kepala desanya. Ingat-ingat itu! Ada apa-apa kecuali kelapa.
Apakah apa-apa dalam kepalaku. Rama Guru" tanya kepala desa tersiksa.
Bukankah kau tahu juga dari orangtuamu, desa ini dahulu mencukupi buat semua" Memang lain. Dahulu penduduk desa masih punya harga diri. Namanya tetap Sumber Raja sebagaimana diberikan oleh leluhur para pendiri. Sekarang, bukan karena kelapa itu tidak tumbuh, cipta kalian yang merosot sampai ke telapak kaki. Maka kelapa pun tak kunjung berbiak, tinggal hanya peninggalan nenek-moyang.
Tak ada yang menyanggah. Dengan lunak ia mulai bercerita tentang kelapa di desa-desa lain yang lebih tandus.
Para hadirin, tua dan muda, laki dan perempuan, gadis dan perjaka memperhatikan tubuh pembicara yang pendekkecil, berkain dan berkalung kain batik pula, berdestar putih, berjanggut dan bermisai putih, seperti kepala Anoman dalam Ramayana.
Mereka mendengarkan dengan diam-diam sambil mengunyah sirih. Tak seorang pun mentertawakan keputihannya. Mereka menghormati orang tua yang terkenal sebagai pemuja Ken Arok Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi, berlidah pedang dan berludah api itu.
Dengar, barangkali anjing-anjing itu akan membaung sepanjang malam.
Kembali orang mendengarkan baung yang sayup-sayup dari tengah hutan.
Nenek-moyang kalian tidak sebebal kalian sekarang, tiba-tiba orang tua itu menetak kejam.
Aku dan kami mungkin memang bebal, seseorang di tengah-tengah hadirin membantah. Tapi para dewa, Rama Guru, pada kami tak diberikan tanah yang cukup baik untuk kelapa.
Puah! seru Rama Cluring. Sewaktu kecilku takkan ada orang menyalahkan para dewa. Tak ada penghujatan semacam itu. Mandala masih berwibawa dan guru-guru dihormati, maka bocah yang belum terpanggil oleh Sang Buddha pun tahu, bumi ini diberikan oleh Hyang Tunggal pada manusia dalam keadaan sebaik-baiknya. Tak ada seorang pun menghinakan keadaannya, karena manusia diciptakan dalam keadaan sempurna. Lupakah kau pada ajaran, hewan takkan mengubah apalagi alamnya" Tetapi manusia tanpa cipta merosot, terus merosot sampai ke telapaknya sendiri, merangkak, melata, sampai jadi hewan yang tak mengubah sesuatu pun. Untuk mempunyai ekor pun manusia demikian tidak berdaya.
Sebentar ia diam. Tubuhnya tetap tak bergerak. Dagunya tertarik ke depan seperti sedang menunggu tantangan. Yang ditunggu tiada kunjung datang. Dan ia meneruskan, mengulangi ajaran Buddha dan Syiwa tentang manusia dan kebajikannya sebagai makhluk dewa, tentang alam dan kemungkinan-kemungkinannya. Kemudian menutup dengan nada tinggi meledak: Guru-gurumu takkan lupa menyampaikan: yang buruk datang pada manusia yang salah menggunakan nalar, sehingga nalar yang buruk memanggil keburukan untuk dirinya. Semua kalian melewatkan masa kanak-kanak dan remaja di bawah petunjuk dan ajaran Sang Guru. Padaku ada wewenang menamai kalian bebal.
Kata-kata itu menyakitkan hati, Rama, seseorang nenek memprotes.
Berbahagialah kau yang bisa bersakit hati, pertanda masih ada hati, dan ada cinta di dalamnya. Tapi macam cinta apa kau kandung dalam hatimu" Cinta pada kebebalan adalah juga kebebalan. Nah, sekarang coba ikuti kata-kataku: telah kalian ubah nama ini dari Sumber Raja jadi Awis Krambil, hanya karena desa ini tak mampu membayar upeti kelapa untuk pasukan gajah Tuban. Upeti demi upeti. Apa sudah kalian terima dari Sang Adipati" Siapa di antara anak-anak desa ini mendapat kesempatan merajai lautan seperti di jaman Majapahit dulu" Menyaksikan dunia besar" Dihormati dan disegani di manamana" Di Tumasik, di Benggal, Ngabesi, Malagasi, sampai di Tanjung Selatan Wulungga sana" Tak pernahkah orangtua kalian bercerita semacam itu maka hatimu jadi sakit karena kebebalan sendiri"
Rama Cluring berhenti bicara. Kembali baung beraturan anjing mengisi suasana.
Tak ada seorang pun di antara pemuda desa ini pernah menginjakkan kaki di bumi Atas Angin. Di sana pun dahulu kalian akan dengar gamelan kalian sendiri. Orang sana juga menggemari cerita-cerita Panji dari Jenggala seperti kalian. Mereka juga mencintai Panji Semirang, juga seperti kalian di desa ini. Sang Adipati tidak memberikan kesempatan pada kalian. Tapi kalian terus juga membayar upeti, barang jadi dan barang gubal. Tak seorang di antara kalian menyaksikan jauh-jauh di seberang sana bagaimana Dewa Ruci dan Arjuna Wiwaha didengarkan orang.
Orangtua itu mulai bercerita tentang negeri-negeri jauh yang pernah dikunjunginya. Ia bercerita tentang kebesarankebesaran Majapahit. Para pendengarnya mulai terbuai. Dan ia menyentakkan mereka dengan lidah parangnya: Ha! Mengantuk kalian terayun oleh keenakan-keenakan masa-la lu. Kalian, orang-orang yang telah kehilangan harga diri dan tak punya cipta. Segala keenakan dan kebanggaan itu bukan hak kalian. Bahkan membiakkan pohon kelapa pun kalian tak mampu!
Malam itu dingin. Semua mengenakan kain menutup dada, laki dan perempuan. Namun ada juga perawanperawan yang membiarkan buah dadanya terbuka, dipermain-mainkan sinar damar sewu dan angin silir yang mengentalkan darah.
Dulu, waktu Sang Adipati masih muda, jadi pembesar berkuasa di Wilwatikta, tak ada sesuatu yang berharga telah dipersembahkannya pada Majapahit. Di tangannya juga Majapahit padam sinarnya. Sekarang dalam usia tuanya, apakah yang bisa diperbuatnya" Untuk desa pinggiran ini pun tidak sesuatu! Kalian ini kawula Sang Adipati ataukah budaknya yang ditangkap di medan perang"
Kawula! seseorang memberikan jawaban. Mengapa raja kalian tak berbuat sesuatu untuk kalian" Rama! seorang lagi berseru tegang,
Rama telah& . Rama! tegur kepala desa di belakangnya. Matanya berbeliak menyemburkan api kemarahan. Itu pemberontakan! ia menuduh. Paling tidak menghasut pembangkangan. Tidak lain dari Rama sendiri yang lebih mengerti aturan darmaraja.
Orangtua itu menoleh ke belakang dan tertawa. Benar, pemberontakan, hasutan, dua-tiga orang mulai berseru-seru. Para hadirin mulai gelisah, berselisih satu dengan yang lain. Suasana tak terkendali. Orang tua itu sendiri tetap tenang bersila di atas tikarnya.
Katakan itu di Tuban! seseorang meraung. Orang tua itu mengangkat telunjuknya, dan semua terdiam. Kalau aku tidak bicara di Tuban, semua tahu sebabnya kecuali binatang dan tumbuh-tumbuhan, semua, juga Hyang Widhi, juga para dewa: sekali diucapkan, kebenaran meluncur turun dari ketinggian, menjalar ke mana-mana, berkembang biak dalam hati manusia waras, karena kebenaran selalu datang dari Hyang Widhi sendiri. Juga kata-kataku akan sampai ke Tuban, ke bandar-bandar seberang& .
Juga di bawah bulan purnama itu beratus-ratus sampan membawa penduduk dewasa pesisir sedang menyisiri seluruh pantai Jepara, menyisiri Teluk Awur, pulau Kelor dan pulau Panjang.
Empat ratus sampan telah mendarat di pulau Panjang, membawa pedang dan tombak meneliti setiap sudut dan lapangan. Seorang prajurit bertombak meraung: Semua penduduk nelayan pulau Panjang supaya menghadap!
Di tempat-tempat lain suara itu diteruskan, sambung menyambut berkait-kaitan. Dan tak ada seorang nelayan pun datang menghadap. Tak ada yang tahu ke mana mereka melarikan diri.
Dalam sebuah rumpun bakau yang lebat orang menemukan sebuah arca Ganesya yang belum lagi selesai. Empat buah besi pahat dan dua penohok tergeletak pada alas kaki arca. Rombongan penduduk pesiar Jepara itu terkesima oleh pemandangan itu.
Seorang prajurit berpedang menghardik: Mengapa raguragu menangkap" ia lari menghampiri.
Ia sendiri terkejut melihat arca belum jadi itu. Seorang prajurit lain datang, memekik: Mengaku sudah Islam. Mengapa pada batu takut" Ayoh, gulingkan. Ceburkan ke laut.
Tapi penduduk pesisir Jepara dan prajurit pertama itu ragu-ragu. Prajurit ke dua itu mendekati arca itu dan meludahinya.
Lihat, dia diam saja aku ludahi, kemudian ia menggoyang-goyang kepala gajah yang belum jadi itu, lihatlah, dia sama sekali tak ada kekuatan untuk melawan. Ayoh, gulingkan! perintahnya kemudian.
Prajurit pertama itu nampak malu dalam cahaya bulan. Dengan langkah goyah ia mendekati Ganesya belum selesai itu dan dengan takut-takut menyentuh belalainya dengan tulunjuknya. Dan belalai Ganesya itu tidak hangat, juga tidak membuktikan diri punya sakti.
Ludahi dia! perintah prajurit kedua. Prajurit pertama melengos. Ia tak berani.
Barangsiapa masih mengaku Islam, ayoh bantu aku gulingkan batu ini! pekik prajurit kedua.
Hanya sepuluh orang maju. Mereka mendorong kepala arca itu sampai terguling ke tanah. Prajurit kedua bersorak, pengikutnya juga bersorak.
Guling-gulingkan sampai ke teluk!
Makin lama makin banyak orang yang ikut serta. Tak lama kemudian terdengar batu itu tercebur ke laut dan hilang dari pandangan bulan dan manusia.
Di Tegalsambi, di pesisir selatan Jepara, penduduk kota yang dikerahkan hanya menemukan sebuah gubuk. Di depannya berdiri tunggul kayu setinggi sepuluh depa. Pada puncaknya terpahat sebuah arca yang telah rusak, pecahpecah kepalanya terkena panas dan hujan. Tak dapat dikenali lagi arca apa. Di dalam gubuk itu sendiri hanya dapat ditemukan sebuah tempayan kecil berisi abu jenazah, terletak di atas para-para. Pada sebuah dinding tergantung papan kayu nangka dengan lukisan seorang wanita cantik dengan dua jari tangan membelai dagunya sendiri dan dengan tangan kiri memegangi pergelangan tangan kanan.
Seorang prajurit menghancurkan tempayan itu dengan punggung pedangnya sehingga abu itu buyar berhamburan. Dengan mata pedangnya ia hancurkan lukisan itu berkeping-keping, kemudian menyepaknya berantakan. Sebuah kotak kayu tempat alat-lukis yang didapatkan di atas para-para dilemparkan keluar gubuk. Alat-alat yang telah berjamur itu bergelatakan dalam cahaya bulan, diam, tidak bergerak lagi.
Di Jepara sendiri, di muara kali Wiso serombongan pembesar sedang turun dari sebuah kapal Tuban yang kena sergap. Begitu turun ke darat seorang di antaranya menengok ke belakang pada tiang utama kapal. Seorang pembawa payung berlari-lari mendekati dan memayunginya. Payung kuning dari sutera itu mengkilat bermain-main dengan cahaya bulan. Tapi orang itu tidak mengindahkan. Ia bergumam: Lebih bagus dengan bendera kita.
Semua ikut memandangi bendera putih yang berkibar malas dalam angin silir lemah itu. Gambar kupu-tarung di tengah-tengahnya kelihatan hanya sebagai setumpukan garis sambung-putus. Juga bendera itu dari sutera.
Kupu-tarung lebih bagus daripada merah-putih, seseorang memberikan tanggapan.
Seluruh merah-putih majapahitan itu akan tumpas dari muka bumi.
Tentu. Dengan sendirinya rombongan itu mengalihkan pandang pada sang bulan. Nampak semakin besar dan semakin kuning.
Juga di bawah bulan purnama itu beberapa puluh anakanak, laki dan perempuan, sedang bernyanyi bersama di tanah lapang Wilwatikta, bekas ibukota Majapahit. Mereka sedang menyampaikan puji-pujian kepada sang bulan sebelum memulai dengan permainan malam. Mereka bergandengan satu dengan yang lain, merupakan lingkaran. Di tengah-tengahnya berdiri seorang anak yang memimpin permainan.
Malam purnama ini jumlah mereka semakin sedikit. Setiap minggu ada saja yang meninggalkan Wilwatikta untuk selama-lamanya, pindah ke Gresik atau kota-kota bandar lainnya.
Juga di bawah bulan purnama itu di tanah lapang di ibukota kerajaan Blambangan ribuan bocah sedang bernyanyi bersama seperti di Wilwatikta. Hanya bukan seorang nenek memimpin mereka, tapi seorang pedanda pria setengah baya. Perawan dan perjaka, beratus-ratus melingkari bocah-bocah yang sedang menyampaikan pujibulan. Antara sebentar semua bertepuk-tepuk dan bersoraksorai. Seluruh dunia seakan dalam keadaan tenang dan damai, seakan tak ada lagi setetes darah memerahi medan perang.
Juga seluruh Dahanapura, ibukota kerajaan Blambangan, mengelu-elukan bulan yang memerangi langit tanpa noda itu, karena cuaca seindah itu menjanjikan kemakmuran dan perdamaian. Pasuruan, kedudukan Dahanapura, semakin lama semakin besar setelah Sri Baginda Ranawijaya Girindrawardhana, raja Blambangan membariskan pasukannya memasuki Majapahit yang telah runtuh, untuk membuktikan pada dunia, bahwa tak ada kekuatan lain berhak menjamah bekas kerajaan Majapahit dan ibukotanya selama darah Sri Baginda Kretarajasa, yang sekarang masih berdiri di Blambangan. Tiga tahun setelah menduduki Wilwatikta, 1489 M., pasukannya ditarik kembali ke Blambangan. untuk mengalihkan perhatian orang dari Majapahit ke Blambangan. Ia berhasil dan Pasuruan menjadi bandar besar. Kalau ada yang masih dirusuhkan oleh Sri Baginda Ranawijaya Girindra wardhana dan Patih Udara, hanya karena bandar Majapahit, Gresik, tak dapat dipindahkannya ke Pasuruan.
Namun orang tak meneteskan darah di wilayah Blambangan karena perang. Aman, damai dan kemakmuran melimpah.
Di balai-desa Awis Krambil antara Rama Cluring dan para hadirin ketegangan semakin menjadi-jadi. Hal itu tidak pernah terjadi dengan guru pembicara lain yang pernah datang ke desa ini.
Betul! orang memekik di tengah-tengah hadirin, tidak lain dari Rama Guru sendiri yang lebih tahu tentang darmaraja. Dari Tuban datang pengayoman. Pengayoman itu yang membuat Rama tidak tahu, setiap jengkal tanah yang kita pacul adalah milik Gusti Adipati, dirampas dengan parang dan tombak dari tangan musuh-musuhnya dan dibenarkan oleh para dewa. Keringat kita, kita teteskan di atasnya dan panen pun jadi. Itulah harga dari semua upeti kita. Pengayoman, Rama, sehingga tak ada musuh datang menyerbu kami. Anak-anak dapat bermain-main damai setiap hari. Hujan jatuh membawa kesuburan. Dan keringat jatuh membawa kesejahteraan.
Rama Cluring tak pernah memotong kata-kata orang. Ia mendengarkan tanpa menggerakkan badan. Kemudian: Indah sekali kata-kata itu. Aku dapat lihat, kau tidak pernah ikut meneteskan keringat, tidak pernah ikut mencangkul. Petani tidak seperti itu kata-katanya. Putra ke berapa ratus kau dari Sang Adipati" Coba sini, perlihatkan mukamu.
Pembicara itu tidak menampakkan mukanya. Sayang kau tak berani muncul. Kau, orangmuda, sama halnya dengan perempuan pemalas yang merasa lebih beruntung jadi selir atau gundik di bandar-bandar daripada mendampingi seorang suami di sawah dan ladang. Berbahagialah suami-istri yang sama-sama bekerja, maka haknya pun sama di hadapan para dewa dan manusia.
Rama Cluring berkomat-kamit dan mengocok mata. Kemudian ia tegakkan dada, nampak menarik nafas panjang, menghimpun kekuatan dari seluruh alam ke dalam paru-paru untuk disalurkan ke dalam sikapnya.
Dari mana datangnya pengayoman kalau bukan dari upeti" seseorang bertanya ragu-ragu.
Dari mana" Rama Cluring menjawab. Kalau upeti tak muncul, bukan pengayoman yang datang, tapi balatentara Tuban akan menumpas dan menghancurkan kalian dan desa kalian. Kalau perang datang, tak seorang pun di antara kalian mendapat pengayoman. Balatentara Tuban tidak. Sebaliknya kalianlah yang diwajibkan mengayomi dia! ia tertawa menunggu tantangan.
Di sebelah pinggir di antara para hadirin, gadis Idayu menyikut pacarnya, Galeng, berbisik: Jadi, apa maunya" Dengarkan saja, kata Galeng.
Pacarnya mencubit sengit, tapi pemuda itu tak peduli. Dengarkan kalian semua punggawa desa yang hidup dari keringat orang lain, yang hidup dari penyisihan upeti. Kalian, apalagi kalian, sama sekali tak bisa berbuat apa-apa kalau perang datang. Mangayomi diri sendiri pun tak bisa, apalagi mengayomi rakyatmu. Di waktu damai kalian bersorak-sorai tentang pengayoman demi sang sisa upeti. Kalau kalian sudah seperti itu, bagaimana pula macam rajamu"
Ketegangan sekaligus berubah jadi ketakutan. Apa kalian takuti" Akan datang masanya kalian akan lebih, lebih ketakutan. Bukan karena kata-kataku. Mari aku ceritai: jaman ini adalah jaman kemerosotan. Raja-raja kecil bermunculan pada berdiri sendiri, karena rajadiraja tiada. Kekacauan dan perang akan memburu kalian silih-berganti. Lelaki akan pada mati di medan perang. Perempuan akan dijarah-rayah dan kanak-kanak akan terlantar. Kalian takkan ditumpas karena kata-kataku. Kemerosotan jaman dan kemerosotan kalian sendiri yang akan menumpas kalian selama kalian tak mampu menahan kemerosotan besar ini.
Ia diam. Para pendengar terdiam. Mereka telah terbiasa terpengaruh oleh ramalan orang tua-tua pengembara yang telah jauh langkah. Kakek-kakek mereka telah lama meramalkan akan datangnya perang yang tiada kan habishabisnya bila dewa-dewa telah berganti dan bila berbagai bangsa dengan berbagai warna kulit telah mulai berdatangan menjamah bumi Jawa.
Rama Guru, seorang wanita dengan suara mendayudayu memohon, bila kekacauan dan perang akan memburu-buru kami silih berganti, bukankah akan sia-sia semua yang sudah kami kerjakan dan usahakan"
Jelas. Apalagi upeti-upeti ke Tuban itu. Sama sekali tanpa guna. Sekarang dengarkan: di jaman Majapahit tak ada perang yang tidak selesai, tak ada kekacauan tak diatasi, ia mulai mengubah nada suaranya menjadi lunak dan ramah. Di masa itu semua orang boleh membikin bata. Setiap orang boleh mendirikan candi keluarga, tempat menyimpan abu para mendiang. Setiap orang boleh belajar mengecor besi dan mencetaknya. Tidak seperti sekarang. Menempa besi dan baja pun tidak diperkenankan, kecuali atas perintah. Dahulu perawan-perawan pada menenun sutra. Di mana-mana nampak pakaian gemerlapan bermain dengan sinar matari. Sekarang ulat sutra pun tumpas. Orang hanya menenun kapas. Ulat sutra yang tinggal hanya ditenun untuk layar perahu dan kapal besar dan untuk pengantin. Saluran yang dulu dibikin di mana-mana sekarang sudah pada mendangkal. Kapal besar tak lagi dapat masuk ke pedalaman. Tak lagi riam dan sangkrah dibersihkan oleh pasukan-pasukan laut. Tak lagi sungaisungai dipelihara. Di jaman Majapahit para punggawa disebarkan ke seluruh negeri bukan untuk memata-matai kawula. Mereka bicara dengan bocah-bocah. Bila anak-anak itu tak dapat menjawab pertanyaan mereka, baik kepala desa mau pun bapa-bapa mandala kena teguran. Dengan demikian setiap bocah dapat membaca dan menulis, tahu akan dewa-dewa dan hafal akan banyak lontar.
Berapa umurmu. Rama Guru, maka tahu banyak tentang jaman kejayaan Majapahit" seorang gadis bertanya. Dua ratus"
Rama Cluring mendeham dan membersihkan kerongkongan.
Tak ada orang hidup sampai dua ratus. Lebih beberapa puluh tahun dari seratus. Menurut perhitungan surya.
Mengapa menurut perhitungan surya" seorang lain bertanya.
Di bandar-bandar ada orang yang mulai menggunakan perhitungan rembulan orang-orang gila itu. Mereka mempunyai dewa lain dari kita. Mereka hidup hanya dari berdagang, tidak menginjakkan kaki di sawah ataupun ladang. Mereka hanya hidup dari pantai dan dari laut. Mereka tak memerlukan gunung. Mereka tak memerlukan surya. Mereka hanya memerlukan harta dan kekayaan. Mereka penyembah rembulan. Rama Guru" Aku belum lagi tahu. Barangkali. Mereka itu yang membikin para bupati dan adipati pesisir hanya mengingat pada harta-kekayaan, lupa pada Baginda Kaisar di Majapahit. Mereka pengaruhi bupati dan adipati pesisir supaya tak membikin kapal-kapal lagi. Mereka menyuap dengan mas, tembikar, sutra, kain khasa, permadani& . Mereka petualang-petualang dari Atas Angin. Di pesisir Atas Angin sana mereka sama saja tingkahnya. Perhitungan rembulan menjalar seperti wabah. Kemerosotan jaman, jaman gila. Orang mulai tak dapat memilih apa yang baik untuk dirinya. Tak heran, di mana mandala tidak berdaya, orangtua tak tahu sesuatu kecuali kesenangan sendiri& . Yang paling tidak hormat pada para dewa juga yang paling mula jadi korban wabah dari Atas Angin ini. Bahkan tulisan kita, tulisan kita yang sempurna sandang dan sukunya& . boleh jadi& . sudah mulai muncul tulisan yang sama sekali tidak berbunyi&
Adakah Rama Cluring pernah lihat tulisan itu" Orang tua pendek kecil itu tiba-tiba mengangkat telunjuk. Dengar! perintahnya.
Semua terdiam. Baung dan salak dan lolong anjing, ratusan di tengah hutan, kembali menggelombang.
Tak pernah binatang itu membaung selama itu, seramai itu. Boleh jadi akan datang banjir banjir air, banjir bencana, malapetaka yang membikin semua lebih merosot tersedot lumpur.
Ia menoleh kepada kepala desa. Bertanya: Darmaraja" Pengayoman" Apakah yang sudah diperbuat oleh Sang Adipati Tuban Tumenggung Wilwatikta waktu para bupati pesisir mulai membangkang mempersembahkan upeti" Bukankah Sang Adipati itu rajamu sekarang" Bukankah sebagai Tumenggung Wilwatikta, penguasa tertinggi atas keamanan dan kesejahteraan ibukota Majapahit, Wilwatikta, justru ia bergabung dengan yang lain-lain, membangkang mempersembahkan upeti, malah tetap mengukuhi wilayah kekuasaan yang didapatnya dari darmaraja, membentang dari Tuban sampai Jepara sebuah kadipaten dengan tidak kurang dari lima buah bandar"
Tak pernah ada yang menggugat seorang raja! bantah kepala desa, karena hanya dengan karunia Hyang Widhi saja seseorang bisa bertahta! Bukankah Rama Guru dengan demikian menghujat Hyang Widhi"
Uah! Seperti kau tidak mengenal anak tani bernama Ken Arok. Ditumbangkannya akuwu dan raja, dan sendiri marak jadi raja, memerintahkan menjawakan kitab-kitab suci, memerintahkan dilaksanakannya gaya baru dalam bangunan-bangunan suci.
Maka juga Ken Arok Rajasanagara ditumbangkan. Ditumbangkan. Tapi darahnya telah bangunkan kekaisaran Majapahit yang tiada tara.
Dan Majapahit pun tumbang.
Tumbangnya gajah yang meninggalkan gading. Hyang Widhi tidak pernah salah memilih wakilnya di atas bumi.
Hanya kaki yang kuat, bahu yang kukuh, mampu memikul pilihan Hyang Widhi.
Negarakertagama dan Pararaton tak bilang begitu. Dan apa katanya tentang Adipati pembangkang yang bersekutu dengan pedagang-pedagang Atas Angin yang berdewa lain"
Waktu itu belum ada Sang Adipati.
Maka akulah yang mengatakan, demi Hyang Widhi, karena tugasku hanya mengatakan tentang kebenaran. Tulikah kau" Tiada kau dengar baung, lolong dan gonggong anjing-anjing hutan itu" Tak tahukah kau itu pesta untuk haridepanku yang bakal cepat tiba, lebih cepat daripada yang kau sangka"
Untuk menghindari pertengkaran kepala desa terdiam. Matanya berpendar-pendar dari wajah ke wajah di antara hadirin. Ia meminta pengertian, bantuan dan simpati. Hadirin sendiri sedang tercengkam. Mereka tahu Rama CIuring sedang menggugat Sang Adipati, manusia pertama yang berani lakukan itu. Dan ketegangan menarik otot-otot muka mereka sehingga seperti terbuat daripada kayu jati. Dan keseraman mewarnai wajah-wajah itu oleh berpuluh mata sumbu damar-sewu yang selalu berayun tak pernah tenang dan menggeletarkan semua bayang-bayang.
Di luar, di langit, bulan purnama bertahta tanpa tandingan dalam kebeningan. Ia hanya tersenyum melihat ratusan anjing yapg menggonggonginya dalam kebotakan hutan.
Tak lain dari Hyang Widhi juga yang menggulingkan raja-rajanya sendiri yang kaki dan bahunya lemah, tak mampu memikul kebesaran-Nya, tak mampu menyumambrahkan dengan jari-jarinya yang kaku karena jari-jari itu hanya pandai mengambil untuk dirinya sendiri dan tidak bisa memberikan sesuatu untuk kawulanya.
Kata-kata itu tidak terdapat dalam lontar, Rama Guru, seorang di antara hadirin angkat bicara.
Apa kau akan bilang kalau aku membubuhkannya pada lontar" Ambilkan lontar, besi penggurit dan jelaga, biar yang terpandai di antara kalian menuliskannya. Belum perlu, Rama Guru, kepala desa itu menegah. Memang belum perlu, pembicara itu meneruskan. Rama, kami nampak memang kurang harga diri, kurang kehormatan, mungkin juga memang bebal. Tapi kami hidup dalam kesejahteraan, keamanan dan perdamaian. Sebaliknya, Rama Guru, kata-kata Rama sendiri yang menempatkan kami semua dalam bahaya kemusnahan. Rama, tidak lain dari Rama!
Rama CIuring mendengus meremehkan. Suaranya enteng mengambang di udara malam yang hangat itu.
Untuk mencapai desa ini, balatentara Tuban paling tidak membutuhkan satu-dua hari. Kalian tidak akan ditumpas. Setiap saat setiap orang di antara kalian yang tidak dungu bisa tinggalkan desa ini, menyeberang perbatasan, memohon perlindungan Sang Bupati Bojonegara.
Aku tidak menjerumuskan kalian. Lembah kebinasaan itu kalian galang sendiri di atas kedunguan. Masih juga kau tidak mengerti, kepala desa" Penduduk desa ini terusmenerus membayar upeti dan memikulnya sendiri ke Tuban Kota. Masih belum mengerti" Tak ada keadilan mengikat antara sang Adipati dengan kawulanya di sini. Kalau ikatan keadilan tidak ada, yang ada hanya ikatannya saja, ikatan perbudakan. Kalian semua ini bukan kawula, tapi budak!
Budak Tuban, budak Sang Adipati sama dengan musuhmusuhnya yang telah ditaklukkannya. Ditaklukkan tanpa perang!
Baiklah kami ini budak tanpa dikalahkan dengan perang. Katakan pada kami. Rama Guru, bagaimana agar kami tidak jadi budak"
Rama Cluring yang bijaksana, seorang lain lagi menyerondol, bukankah Rama Guru lebih dari tahu, setiap saat datang pengawal perbatasan berkuda" Dia juga perlu mendengarkan kata-kataku ini. Tidakkah Rama Guru akan dibawanya ke Tuban dan diadili"
Bukan pertama terjadi kebenaran diadili. Bukankah mandala kalian pernah mengajarkan: kebenaran tak dapat diadili, karena dialah pengadilan tertinggi di bawah Hyang Widhi. Kalian tahu kelanjutannya: Barangsiapa mengadili kebenaran, dia memanggil Sang Hyang Kala, dia akan dilupakan orang kecuali kedunguannya.
Ia tersenyum dan mengangguk-angguk.
Juga Sang Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta tidak bebas dari ketentuan Maha Dewa. Sang Hyang Widhi merestui barangsiapa punya kebenaran dalam hatinya. Jangan kuatir. Kepala desa! Kurang tepat jawabanku, kiranya" Ketakutan selalu jadi bagian mereka yang tak berani mendirikan keadilan. Kejahatan selalu jadi bagian mereka yang mengingkari kebenaran maka melanggar keadilan. Dua-duanya busuk, dua-duanya sumber keonaran di atas bumi ini& , dan ia teruskan wejangannya tentang kebenaran dan keadilan dan kedudukannya di tengah-tengah kehidupan manusia dan para dewa.
Kapal peronda pantai dengan layarnya yang berkilat-kilat itu menyeberangi malam dan menyeberangi Laut Jawa dengan cepat. Dari kejauhan nampak seperti naga laut yang tak kelihatan buntutnya. Puluhan pendayung yang seirama membelah permukaan memercikkan air dan semburannya menari dengan cahaya bulan. Layar kemudi yang menggembung di atas haluan, bahkan lebih depan dari haluan itu sendiri, melengkung seperti busur yang sedang ditarik.
Waktu lampu menara bandar Tuban mulai hilangmuncul di atas kepala ombak terdengar pekikan aba-aba. Tak lama kemudian menyusul ledakan di belakang layar kemudi. Peluru cetbang meluncur ke udara dengan buntut api yang kuning merah meninggalkan asap yang segera lenyap.
Beberapa bagian dari detik, dan peluru itu meledak di langit. Api menyemburat melontarkan bunga api yang membuat lonjakan ke atas, kemudian ke bawah, ke tiadaan. Ledakan itu menyebabkan permukaan laut gemerlapan beberapa detik, kemudian kembali jadi manis bermain-main dengan cahaya bulan kembali. Ledakan di langit yang sebentar tadi menandingi bulan kini lenyap tanpa bekas.
Kapal itu terus melaju. Layar-layar mulai diturunkan. Dengan cepat membelok ke kanan, bergerak hanya dengan kekuatan dayung. Juga layar kemudi tidak nampak lagi. Lunas itu menerjang alun dan ombak pada sudut lebih besar daripada semula. Dan semua alun dan ombak terus juga berkejar-kejaran, berebut dulu untuk menghantam pesisir utara pulau Jawa.
Rama Cluring segera mengambil cawan tanah yang diletakkan oleh anak gadis Kepala desa. Ia angkat tinggi, memperlihatkan pada semua hadirin, ia hendak meminumnya. Ia baru habis menceritakan tentang kebesaran Majapahit dengan angkatan lautnya, dengan ilmu dan ketrampilan membikin kapal-kapal samudra, dengan wilayah kekuasaannya.
Sekarang aku hendak teguk lagi tuak desa ini. Sebelumnya, dengarkan: jangan bandingkan Majapahit dengan Tuban ini. Kalian sendiri yang mengatakan: hanya sembilan hari dibutuhkan untuk mengedari seluruh wilayah Tuban itu pun hasil pengkhianatannya terhadap Majapahit. Pahami pergantian jaman, biar kalian tidak didera oleh perang. Tinggalkan kebebalan. Dengarkan kebijaksanaan. Kalau perang sudah pecah, tak selembar daun dapat kalian jadikan pengayoman. Ingat kata-kataku: Kalau kemerosotan ini tak dapat dicegah, takkan lama lagi, dan perang akan pecah di mana-mana. Dari desa dan kota petani-petani akan digiring, mati untuk raja-raja kecil yang tak pernah berbuat apa-apa untuk kalian.
Ia rendahkan cawan, menaruhnya pada bibir dan meneguknya sekali habis.
Dewa Batara! sebutnya keras, berpaling cepat pada kepala desa, kemudian menudingnya: Lihatlah ini tampang kepala desamu, takut pada kebenaran, pada keadilan, agar dia tetap jadi kepala desa, dia telah racun aku! Cepat ia tarik mukanya dan berseru pada para hadirin: Dia telah racun aku! Dan kalian kenal siapa aku, hanya seorang pembicara yang menggaungkan kebenaran milik Maha Dewa.
Cawan itu dibantingnya pecah di hadapannya. Dengan kedua bolah tangan ia menekan perutnya. Bibirnya ia gigit. Mukanya pucat.
Rama! seseorang berteriak dan lari ke depan hendak menolongnya.
Rama Cluring bangkit berdiri dengan susah-payah. Kepala desa menolongnya dari belakang, berseru lantang: Tak ada seorang pun meracun Rama. Kami semua menghormati Rama.
Dengar si mulut palsu ini! Dengarkan, kalian, semua penduduk Awis Krambil!
Ia lepaskan diri dari pegangan kepala desa, melompat keluar dari balai desa.
Setiap guru-pembicara punya gaya dan cara sendiri dalam usaha mempengaruhi dan mengetahui sampai di mana pengaruhnya bekerja. Setengah hadirin menganggap tingkahnya juga bagian dari gaya dan cara. Mereka masih terpaku pada tempatnya bersila.
Yang menganggap benar-benar Rama Cluring terkena racun cepat-cepat bangkit dan lari memburu. Tak pernah terjadi seorang guru-pembicara mengalami penganiayaan di desa mana pun.
Orang tua itu terus juga berjalan sambil menekan perutnya dengan kedua belah tangan. Ia tak menoleh. Ia menolak tuntunan orang.
Galeng dan Idayu ikut lari memburu. Tanpa mengindahkan protes Rama Cluring mereka berdua menunjangnya pada bahu dan pinggangnya. Diam-diam mereka bertiga berjalan cepat. Di belakang mereka serombongan orang berseru-seru memohon ampunnya sambil berlari-lari kecil. Galeng dan Idayu merasai gigilan pada tubuh tua itu.
Idayu melepas kain dada dari bahu dan menyelimutkan pada dada Rama setelah menyembah meminta ampun. Dan Rama tidak menolak.
Tiba-tiba guru berhenti, membungkuk dan muntah. Rama! Rama! bisik Galeng.
Beri aku minyak kelapa! pinta Rama Cluring. Ia muntah lagi. Cepat!
Memang terkena racun! di belakang orang memberi komentar.
Galeng menyembahnya, cepatnya mengangkatnya dan membawanya ke rumah Idayu, membaringkannya di atas ambin bambu. Idayu lari ke dapur, kembali lagi dan menuangkan minyak kelapa ke mulut orang tua itu.
Guru-pembicara itu meliuk-liuk gelisah pada pinggangnya.
Ruangan sempit rumah Idayu segera jadi penuh. Orang duduk berdesak-desak di lantai untuk menyatakan prihatin. Dan setiap orang menyembah sambil mengucapkan permohonan ampun.
Diam! Diam semua. Rama sedang sakit, Galeng memperingatkan. Ia tekan-tekan perut orang tua itu agar muntah.
Air kelapa muda, kelapa hijau, seru seseorang. Tak ada pohon kelapa hijau di seluruh Awis Krambil. Idayu pergi keluar rumah dan datang lagi membawa cawan tanah besar, menguaki punggung orang banyak. Dalam cawan itu bukan air kelapa hijau, tapi air kelapa biasa. Dituangkan seluruhnya ke mulut sang guru.
Mengetahui bukan kelapa hijau, Rama bergumam: Semua air adalah air kehidupan. Mati aku, Dewa Batara. Matanya terbuka dan disapukan pandangnya pada mereka yang duduk berdesak di atas lantai. Pulang, pulang kalian semua.
Mereka mencintai dan menghormati Rama. Ampuni mereka yang jahil, bisik Idayu.
Terlambat, gadis. Mereka masih haus akan kata-katamu.
Tak ada guna cinta dan hormat, Rama meliuk-liuk dan meringis kesakitan. Kalau kata-kataku bisa hidup dalam hati mereka, cukup sudah. Ia muntah.
Air kelapa campur minyak keluar dari mulut berjalurkan dengan benang darah hidup.
Idayu menyeka mulut, leher dan bahunya yang basah dengan selembar kain.
Batara! sahut Idayu. Mengapa jadi begini, Rama" Galeng menghampiri orang banyak, bergumam mengancam: Kalau tidak suka pada kata-katanya, mengapa tak mengusirnya saja" Atau memberinya kecubung" Mengapa mesti diracun"
Rama Guru juga salah, seseorang membantah. Diam kau! bentaknya.
Bagaimana bisa diam" Dia telah membahayakan kita semua: balatentara Tuban itu.
Siapa kiramu yang meracun" seseorang bertanya. Siapa lagi"
Meracun seorang guru& . hanya orang keparat melakukannya. Gandarwa pun lebih baik.
Rama muntah lagi. Warnanya merah seluruhnya. Minyak dan air kelapa tidak mempan. Orang berlarian mencari lagi di rumah-rumah. Waktu telah didapatkan Rama Cluring telah tergolek pingsan.
Terlalu, terlalu, orang menyesali.
Dan pelita di tengah-tengah ruangan itu, berdiri di atas jagang bambu berkaki, berayun-ayun cepat. Baung anjing dari botakan hutan telah berkurang, kemudian padam sama sekali.
Rama, Rama, panggil Idayu, jangan kutuki kami, jangan sumpahi kami, jangan tulah kami, demi Hyang Widhi, demi desa Rama sendiri, demi kesejahteraan kami semua, ya Rama, Rama&
Begitu kapal peronda pantai itu merapat pada dermaga bandar Tuban kota, bulan sudah mulai menggeser ke titik tertinggi dan kini mulai agak condong.
Seorang dengan menuntun kuda menghampiri kapal. Patragading melompat turun. Penuntun kuda itu bersimpuh kemudian menyembah.
Dirgahayu, katanya sambil menurunkan sembahnya. Patragading melompat ke punggung kuda, berpacu, menempuh jalanan yang diterangi bulan purnama. Beberapa bentar hanya dan sampai ia di hadapan prajuritprajurit pengawal yang menahannya. Ia tak jadi memasuki halaman rumah itu, turun, berseru: Butakah kalian tak melihat siapa aku"
Tuanku Patragading Jepara. Ampuni kami. Patragading melompat lagi ke atas kudanya, memasuki halaman luas tertutup rumput pendek dengan pinggiran ditanami bunga-bungaan. Sampai di pendopo seseorang berlarian datang padanya dan menyembah, kemudian mengambil-alih kuda tunggangannya. Seorang prajurit lain datang, bersimpuh dan menyembah: Menunggu titah, Tuanku.
Bangunkan Sang Patih, sekarang juga.
Patragading berdiri bertolak pinggang tanpa mempedulikan prajurit yang diperintahnya lari menjauh darinya, melalui samping gedung besar itu dan hilang dari pemandangan.
Pendopo yang gelap itu kini diterangi dengan damarsewu pada tengah-tengahnya. Mata-mata sumbu itu menyala berkibar-kibar dalam barisan seperti prajurit baris. Patragading segera menghadap ke pendopo, bersimpuh di atas lantai tanah. Kumisnya yang tebal berkilat-kilat, juga cambang dan jenggot. Jelas benar telah diminyaki dengan minyak katel! Kain batiknya terbeber di selingkaran kaki. Kalung dan gelang masnya berkilat-kilat. Ia menunduk dalam.
Anakanda Patragading! Sang Patih memasuki pendopo. Ia berpakaian kain batik, berdestar batik dan berkerudung kain batik pula pada dadanya.
Patragading mengangkat sembah. Kemudian membetulkan letak kerisnya.
Sang Patih berhenti di tengah-tengah pendopo, dekat pada damarsewu, menegur Dingin-dingin begini anakanda datang. Pasti ada sesuatu keluarbiasaan. Mendekat sini, anakanda.
Dan Patragading berjalan mendekat dengan lututnya sambil mengangkat sembah, merebahkan diri pada kaki Sang Patih.
Ampuni patik, membangunkan Paduka pada malam buta begini Kabar duka, Paduka. Balatentara Demak di bawah Adipati Kudu^ memasuki Jepara tanpa diduga-duga, menyalahi aturan perang.
Allah Dewa Batara! sahut Sang Patih. Itu bukan aturan raja-raja! Itu aturan brandal!
Balatentara Tuban tak sempat dikerahkan, Paduka. Bagaimana Bupati Jepara"
Tewas enggan menyerah Paduka, Patragading mengangkat sembah. Sisa balatentara Tuban mundur ke timur kota. Jepara penuh dengan balatentara Demak. Lebih dari tiga ribu orang.
Dari mana Demak dapat mengumpulkan brandal sebanyak itu"
Patik tidak tahu, Paduka.
Apa saja kau kerjakan sampai tidak tahu" Bukankah Demak dukuh tidak berarti selama ini"
Inilah patik menyerahkan hidup dan mati patik. Sang Patih bertepuk tangan tigakali. Satu regu prajurit berlarian datang, bersenjata tombak dan perisai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar