Arus Balik.
Karya : Pramoedya Ananta Toer.
Bagian 2.
Tuban Tahan dia ini, Patragading, putra Sang Adipati. Ayahandanya sendiri yang akan menentukan hidup dan matinya. Patragading digiring keluar pendopo. Begitu turun ke tanah ia memandangi bulan, memukul dadanya, bergumam: Apakah masih patut aku membawa mukaku sendiri"
Jalan ke kiri, Paduka! perintah kepala regu, dan berbarislah mereka meninggalkan halaman kepatihan.
Sang Patih masih tegak berdiri di tempatnya. Ia menggalang pelahan, kemudian berbalik dan masuk ke dalam rumah.
Paling tidak telah seribu tahun perahu dan kapal-kapal berlabuh di bandar Tuban Kota. Dari barat, timur dan utara. Dari timur orang membongkar rempah-rempah dari kepulauan yang belakangan ini mulai disebut bernama Mameluk (Nama yang diberikan oleh pedagang-pedagang Arab, kemudian berobah jadi Maluku.) dan cendana dari Nusa Tenggara. Dari Tuban sendiri orang memunggah beras, minyak kelapa, gula garam, minyak tanah dan minyak-minyak nabati lainnya, kulit binatang hutan.
Dari laut bandar Tuban Kota nampak seperti sepotong balok, pepohonan dan taman-taman. Bila lumut hijau hilang dan muncul coklat baru, itulah kampung-kampung nelayan. Hijau lagi, coklat lagi, dan itulah bandar Pasukan Laut dan galangan kapal. Hijau lagi, coklat lagi, dan itulah bandar alam lainnya yang dimiliki negeri Tuban.
Di atas balok coklat bermulut berdiri barisan perbukitan tebal, kuning, di sana-sini agak hijau. Itulah perbukitan kapur bernama Kendeng.
Dan di atas perbukitan adalah langit para dewa. Bandar Tuban adalah bikinan alam yang pemurah, disempurnakan oleh tangan manusia selama paling tidak seribu tahun. Lautnya dalam dan dermaganya kokoh, indah, juga bikinan alam, sepotong jalur karang yang menjorok ke laut. Pedagang-pedagang Atas Angin menamai bandar ini Permata Bumi Selatan.
Dan bila orang mendarat dari pelayaran, entah dari jauh entahlah dekat, ia akan berhenti di satu tempat beberapa puluh langkah dari dermaga. Ia akan mengangkat sembah di hadapannya berdiri Sela Baginda, sebuah tugu batu berpahat dengan prasasti peninggalan Sri Airlangga. Bila ia meneruskan langkahnya, semua saja jalanan besar yang dilaluinya, jalanan ekonomi sekaligus militer. Ia akan selalu berpapasan dengan pribumi yang berjalan tenang tanpa gegas, sekalipun di bawah matari terik.
Kalau orang datang untuk pertama kali, segera ia akan terpikat melihat lalu lalang. Orang tak henti-hentinya mengangkuti barang dari dan ke bandar, dengan pikulan atau grobak beroda bulat dari potongan batang kayu. Kereta sangat sedikit, apalagi yang beruji kayu. Lebih banyak lagi grobak beruji. Grobak beroda kayu utuh berasal dari pedalaman, yang beruji dari kota sendiri. Penariknya adalah sapi atau kerbau. Seorang pendatang boleh jadi akan bertanya, mengapa tak ditarik oleh kuda" Dan dengan senang hati orang akan menerangkan: tak diperkenankan menggunakan kuda atau diri sendiri untuk penarik grobak
Kalau pendatang itu bertanya: mengapa terlalu sedikit kereta di sini" Ia akan mendapat jawaban: memang, tuan jumlahnya taklah lebih dari dua puluh semua milik para pembesar negeri dan praja, dan milik para panglima Pasukan Pengawal, Pasukan Kaki, Pasukan Gajah dan Pasukan Laut.
Bila kereta berkuda empat semacam itu lewat, lalu lintas berhenti, menyibakkan diri untuk memberi penghormatan. Dari jauh telah terdengar gerincing giring-giringnya dari kuningan berkilat-kilat dan nampak umbul-umbul beraneka warna, bendera jabatan dan kesatuan. Kuda-kuda penarik itu pun dihias dengan gombak dan limbai aneka warna. Abah-abahnya berkilat-kilat dengan hiasan dari tembaga, kuningan, perunggu dan perak, kadang juga dari mas. Juga orang-orang asing diwajibkan berhenti bila kereta lewat, penduduk berlutut menyembah. Dan bila kereta Sang Adipati sendiri yang lewat, juga penduduk asing harus menyembah dengan caranya masing-masing.
Lalu lalang di bandar beraneka ragam. Orang-orang asing, Arab, Benggala, Parsi, bangsa-bangsa Nusantara, Tionghoa, bergaya dengan pakaian negeri masing-masing. Pribumi sendiri juga beraneka. Pria berambut pendek, bahkan gundul tak berdestar atau berkopiah, adalah mereka yang telah menanggalkan agama leluhur. Mereka tidak berkain batik, tetapi berkain tenun genggang atau polos tanpa belahan, tak mengenakan wiron atau dodot. Pria berambut panjang berdestar batik pertanda masih mengukuhi Buddha atau Shiwa atau Wisynu, dan hampir selalu berkain batik atau wulung. Dan bila rambut panjang mereka tergulung dalam destar, itulah pertanda mereka pedagang pedalaman yang berurusan dengan pedagangpedagang beragama Islam.
Orang takkan melihat adanya suami-istri berjalan-jalan bersama di siang hari. Namun wanita nampak di manamana, bekerja di bawah capil bambu anyaman, di pelataran rumah, di pinggir jalan, di pasar kota dan bandar sendiri. Mereka melakukan segala macam pekerjaan yang juga dikerjakan oleh pria. Dan mereka bekerja sambil berdendang. Juga mereka berkain batik seperti kaum pria.
Lima tahun yang lalu sidang para pedagang Islam telah menghadap Tuanku Penghulu Negeri, memohon agar para wanita menutup buahdadanya. Sejak itu semua wanita yang keluar dari rumah diharuskan mengenakan kemban. Maka sekarang mereka tak bertelanjang dada lagi seperti halnya dengan kaum pria Pribumi.
Anak-anak kecil bermain-main dalam rombongan besar di setiap lapangan terbuka, mengisi udara pagi dan sore dengan cericau, tawa dan sorak-sorainya. Lima tahun yang lalu jarang terjadi yang demikian. Setelah sidang para pedagang Islam, pribumi dan asing menghadap Tuanku Penghulu Negeri agar membatasi penghajaran kafir pada kanak-kanak, asrama-asrama mulai ditinggalkan oleh mereka, dan mulai mereka bergentayangan tanpa penggembala.
Ke mana pun mata ditebarkan, keadaan aman, damai, sejahtera. Tetapi semua itu semu belaka.
Sejak jaman-jaman yang tidak dapat diingat lagi Tuban terlalu sering dihembalang bencana perang dan kerusuhan. Namun buminya tak juga jenuh tersiram darah putra dan putrinya, juga darah musuh-musuhnya yang datang menyerbu.
Dua kali negeri ini dilanda perang besar. Pertama oleh balatentara Kublai Khan, cicit Jengis Khan yang bertahta di Khan Baliqr Seperti air bah prajurit-prajurit Tartar mendarat dari laut, menyapu Tuban yang sama sekali tak mampu bertahan terhadap senjata api. Negeri ini terinjakinjak balatentara yang bersepatu itu, dan meninggalkannya lagi untuk meneruskan penyerbuannya ke Singasari. Orang bilang ini terjadi pada 1292 Masehi.
Perang besar kedua dan ternyata kelak bukan yang terakhir terjadi pada awal abad ke 16 Masehi. Bupati yang memerintahTuban waktu itu adalah Adipati Ranggalawe, salah seorang pendiri Majapahit. Pertentangannya tentang kebijaksanaan praja dengan Sri Baginda Kartarajasa, raja pertama Majapahit, menyebabkan balatentara Majapahit datang menyerbu. Seluruh kota dihancurkan. Tak sebuah rumah tinggal berdiri, rata dengan tanah, termasuk bangunan-bangunan suci dan galangan kapal. Adipati Ranggalawe sendiri gugur. Dan kota, yang dibangun pada awal abad ketujuh Masehi itu binasa.
Setelah perang besar kedua selesai, yang tertinggal setengah utuh hanya Sela Baginda, didirikan pada awal abad ke XI Masehi.
Baginda Sri Kartarajasa mengangkat seorang bupati baru. Dua puluh tahun lamanya pembangunan kembali kota Tuban dilaksanakan. Dan Sri Baginda membebani gubernur baru itu dengan tanggungan pasukan Gajah, yang menjadi inti kekuatan darat balatentara Majapahit. Penataran dan galangan kapal dipulihkan, diperbesar, sampai menjadi penghasil kapalperang dan niaga terbesar di seluruh Jawa, seluruh Nusantara, seluruh dunia peradaban. Sekarang tidak demikian lagi.
Pada awal abad ke XYI sekarang kekuatan pemersatu kekaisaran Majapahit telah patah. Para gubernur pesisir telah memunggungi Majapahit sehingga runtuh dan berdiri sendiri-sendiri, jadi raja-raja kedi, tanpa ada yang berani mengangkat diri jadi Kaisar. Juga bupati Tuban Sang Adipati Arya Teja Tumenggung Wilwatikta. Orang tua-tua hanya dengan berbisik-bisik berani membicarakan dengan sesama tua, tak lain dari Sang Adipati juga yang memprakarsai dan memimpin persekutuan rahasia ini. Majapahit jatuh.
Sekarang makin lama makin sedikit kapal-kapal Jawa belayar kentara, ke Atas Angin, ke Campa ataupun ke Tiongkok. Arus kapal dari selatan semakin tipis. Sebaliknya arus dari utara semakin deras, membawa barang-barang baru, pikiran-pikiran baru, agama baru. Juga ke Tuban.
Gubernur Tuban, Sang Adipati Arya Teja Tumenggung Wilwatikta, bertekad mempertahankan kedamaian itu, keamanan, ketenteraman dan kesejahteraan sekarang dengan mengembangkan perdagangan antarpulau. Ia menyokong diperbesamya armada dagang ke Maluku. Dagang! Dagang saja. Ia tak berminat meluaskan kekuatan ke laut. Ia tak menghendaki Tuban jadi kekaisaran benua seperti Majapahit dengan terlalu banyak urusan. Dalam usia tua ia hanya ingin bertenang-tenang. Angkatan Laut tidak diperlukannya, sekedar cukup jadi penghalau bajak dan perompak, serta melindungi pantai dari gangguan mereka. Di bawah pemerintahan dan kebijaksanaannya bandar Tuban berkembang mendesak bandar Gresik, menjadi pusat penumpukan rempah-rempah dari Mameluk dan Nusa Tenggara.
Hampir setiap bulan Sang Adipati datang berkuda ke pelabuhan. Di depannya berderap pasukan pengawal berkuda, bertombak, berperisai, dengan pedang tergantung pada pinggang. Jumbai dan pitamerah menghiasi tombak mereka. Di belakangnya berderap pasukan pengawal lagi.
Gemerincing giring-giring mereka serta kepulan debu menyebabkan orang dari jauh-jauh telah bersimpuh di tanah dan mengangkat sembah kepala.
Bandar Tuban Kota adalah buahhati Sang Adipati. Ia merasa puas dengan pekerjaan Syahbandar Tuban: Ishak Indrajit.
Karena semakin tua ia semakin mengutamakan perniagaan oleh para bupati tetangga, ia dianggap telah kehilangan keksatriaannya. Padahal, kata salah seorang di antara mereka, kalau dia mau, dengan pasukan gajahnya yang berabad jadi perisai Majapahit, dengan kekayaannya yang datang dari laut, sebenarnya ia mampu menaklukkan tetangga-tetangganya dan sendiri marak jadi kaisar. Dirasani begitu ia hanya tertawa.
Sekali waktu Sang Adipati mempersembahkan ada seorang bupati lain yang mengejeknya dengan nama Rangga Demang, Rangga dikerat dari nama Ranggalawe yang perkasa dan Demang adalah pangkat rendah dalam kepunggawaan praja, ia menjawab tak peduli: Orang juga boleh menyebut seperti itu.
Maka para bupati tetangga semakin yakin, Sang Adipati memang bukan lagi seorang ksatria, telah merosot jadi sudra.
Ia sendiri tak pernah merasa terhina dengan segala julukan dan ejekan. Pendirian dan sikapnya tetap: perniagaan antarpulau harus terus dan makin berkembang. Bandar harus makin banyak disinggahi kapal-kapal Atas Angin, Nusantara dan Tiongkok. Pertahanan negeri Tuban sendiri dianggapnya mudah. Dengan Pasukan Gajah Tuban yang masyhur ia percaya akan dapat memukul mundur setiap dan semua penyerbu. Ia telah letakkan dasar jaringan pengawasan daerah-daerah perbatasan, dilaksanakan oleh satuan-satuan berkuda yang terus-menerus bergerak.
Apalah arti Pasukan Gajah, bupati-bupati yang mengiri akan kesejahteraan dan kekayaan Tuban suka merasani, hanya jadi beban kawula. Sekali ada yang menyerbu, jatuhlah negeri ini jadi jarahan.
Tak juga ada yang berani menyerbu. Mereka tetap segan terhadap Pasukan Gajah. Dan semua orang tahu, seekor gajah sama ampuhnya dengan dua ratus prajurit kaki yang tangguh. Sedang binatang itu tak kenal kecut apalagi khianat.
Ia telah berhasil menciptakan cara untuk mengikat kesetiaan desa-desa perbatasan dengan jalan mengambil hati penduduk: bunga-bunga tercantik diselir dengan gelar Nyi Ayu, dan mengirimkan keturunannya kembali ke desa sebagai punggawa dengan gelar Raden Bambang dan menjadi pujaan desa. Dengan demikian Sang Adipati telah menyebarkan ratusan dari anaknya di seluruh negeri.
Untuk pembiayaan praja, desa-desa dikenakan upeti sepersepuluh dari setiap dan semua macam penghasilan dengan tambahan khusus:
jatah untuk umpah gajah serta pembuatan dan pemeliharaan jalanan umum. Segala yang berhubungan dengan bandar dan wilayahnya dibiayai dengan penghasilan bandar. Dan Ishak Indrajit yang mengurus semua itu. Patih Tuban bertindak sebagai pengawas tertinggi dan pengatur tertinggi semua pekerjaan.
Sang Adipati sudah puas dengan semua itu. Ia tak ingin terjadi suatu perubahan. Semua kawula mempunyai penghidupan yang layak. Semua lelaki dapat menghias dirinya dengan keris dengan pamor dan rangka sebagusbagusnya. Dan nampaknya semua akan abadi seperti itu sampai ia mati dan juga setelah ia mati, untuk selamalamanya.
Walau ia membiarkan runtuhnya Majapahit, malah ikut mengambil prakarsa terjadinya persekutuan untuk itu, tak urung ia juga yang suka menebah dada sebagai pewaris kekaisaran benua yang sudah runtuh itu. Ia pergunakan bendera Majapahit untuk negeri dan kapal-kapalnya, merah-putih, hanya lebih panjang daripada yang lama.
Tuban tidak hanya panglima tetap. Menurut tradisi Majapahit pula hanya di waktu perang seorang adipati atau menteri ditunjuk memegang jabatan itu. Setelah Majapahit jatuh dan Tuban jadi negeri bebas, kebiasaan tak berpanglima diteruskan. Keamanan Tuban Kota dilakukan oleh Pasukan Pengawal yang tidak banyak jumlahnya. Keselamatan praja dijaga oleh Pasukan Kuda, Gajah dan Kaki. Keamanan pantai dipegang oleh Pasukan Laut, yang juga tidak banyak, sedang keamanan desa-desa dilakukan oleh pagardesa yang terdiri atas pemuda-pemuda pilihan.
Untuk mengambil hati rakyat di pesisir yang makin banyak yang memeluk Islam, ia telah perintahkan berdirinya sebuah mesjid di wilayah pelabuhan. Dalam waktu pendek bangunan itu telah menjadi suatu perkampungan Islam dari orang-orang Melayu, Aceh, Bugis, Gujarat, Parsi dan Arab.
Sang Adipati tak pernah punya kekuatiran akan timbulnya pertentangan karena agama. Sejak purbakala penduduk Tuban tak punya prasangka keagamaan. Orang berpindah agama karena kesulitan dalam penghidupan, merasa dewa sembahannya tidak menggubrisnya maka dicarinya dewa sembahan lain.
Sang Adipati juga mengijinkan berdirinya sebuah klenting batu yang jadi pusat perkampungan penduduk Tionghoa, Pecinan. Klenting yang lama telah dianggap terlalu kecil. Yang baru didirikan di sebelah barat pelabuhan.
Keamanan, kedamaian, ketenteraman dan kesejahteraan yang didambakan dan dipertahankan dengan segala macam kebijaksanaan kini mulai terancam dari sebelah barat: Demak mulai bergerak dan merampas Jepara, daerah kekuasaan Tuban .
Tenang dan damai keadaan Tuban Kota. Gelisah hati Sang Adipati yang telah lanjut usia itu.
Sore itu ia datang berkuda di pelabuhan. Sang Patih mengiringkan di belakangnya. Para pengawal di depan sana telah berhenti di pasiran pantai. Sebagian menghadap ke laut biru-kuning yang gelisah/Sebagian menghadap pada Sang Adipati yang sedang turun dari kuda dengan kaki sebelah di atas tanah, kaki lain diatas punggung seorang pengawal yang menungging.
Sang Patih juga turun, langsung dari kuda, kemudian segera berjongkok dan menyembah.
Syahbandar Tuban, Ishak Indrajit, lari menuruni kesyahbandaran. Jubah putihnya berkibar-kibar. Sorbannya nampak terlalu besar dan berat bertengger pada kepalanya yang kecil, lebat ditumbuhi cambang, kumis dan jenggot yang mulai jadi kelabu. Sampai barang tujuh langkah dari Sang Adipati ia berdiri dan mengangkat sembah kepala.
Mereka bukan saja telah menduduki Jepara Bagaimana, Kakang Patih"
Ampun, Gusti, Sang Patih mengangkat sembah, juga telah mendirikan galangan-galangan kapal besar. Brandal-brandal itu mengimpi hendak menguasai laut. Ampun, Gusti, setelah Adipati Kudus Pangeran Sabrang Lor menguasai wilayah terbarat Gusti, sekarang dari ayahandanya dibenarkan menggunakan gelar Adipati Unus. Konon kabarnya Unus adalah nama dewa baru penguasa lautan.
Anak baru kemarin, belum lepas dari ingus sendiri. Patik, Gusti. Gusti tidak berkenan memukulnya dengan perang. Kalau dibiarkan, Demak akan terus mendesak ke timur.
Dewa lama dan Allah baru tidak bakal membenarkan. Allah Dewa Batara, sekali Gusti titahkan, tidak hanya Jepara, Demak sendiri dapat ditumpas dalam tiga hari Gusti. Mereka belum punya Pasukan Kuda, tidak punya Pasukan Gajah. Perwira-perwiranya, orang-orang Tionghoa itu, tidak akan mampu menahan balatentara kita. :
Demak sudah mendirikan galangan-galangan kapal besar di Jepara.
Patik, Gusti. Tuban pun harus segera mengimbangi. Bangunkan, Kakang Patih. Bukan untuk perang, hanya untuk mengimbangi.
Patik, Gusti. Sang Adipati masih juga berdiri. Kakinya yang sebelah ditariknya dan punggung pengawalnya, dan ia meninjau ke laut yang disebari perahu nelayan yang baru berangkat pulang.
Pada dermaga tertambat tiga buah kapal asing. Di kejauhan sana nampak sebuah kapal peronda pantai yang sedang belayar kearah ba rat. Semua layarnya menggelembung seperti busur. Namun semua itu tak menarik perhatian Sang Adipati. Hatinya tetap gelisah.
Ia tarik pandangnya dari laut dan dilekatkan sebentar pada destar Sang Patih yang dihiasi dengan permata. Tangannya yang bergelang mas tiga susun menuding pada pasir. Berkata pelan: Makin lama makin sedikit kapal Atas Angin singgah.
Sang Patih, jauh lebih muda, anak paman Sang Adipati, mengangkat sembah: Keadaan di lautan Atas Angin sana sudah berubah, Gusti, kemudian dengan jarinya menggaris-garis di atas pasir membuat gambar, kapalkapal asing yang selama ini tidak pernah dikenal sekarang mulai berdatangan dari Ujung Selatan Wulungga tanjung yang tak pernah dilewati nenek-moyang, Gusti.
Sang Adipati mengerutkan kening. Alisnya, kumis, jenggot dan cambangnya yang putih membikin wajah tuanya yang penuh kerut-mirut itu nampak semakin pucat. Matanya kini tersangkut pada pipa celana Sang Patih yang hitam kelam dengan ujung-ujung pipa dihiasi sulaman benang sutra kuning.
Ampun, Gusti sesembahan patik. Mereka, Gusti, menyusuri pantai Wulungga, memasuki jalan laut kapalkapal Atas Angin. Kapal-kapal mereka, kata orang, tidak lebih besar dari kapal-kapal Majapahit, agak lebih besar dari kapal-kapal Atas Angin dan Tuban, tetapi layarnya jauh lebih banyak dan lebih besar. Jalannya laju seperti cucut, dapat membelok cepat sambil miring, dengan lambung menepis permukaan laut seperti camar.
Betapa indah, sebagai cerita, Kakang Patih, Sang Adipati memberanikan.
Layar-layarnya, Gusti, digambari dengan salib raksasa. Salib"
Ampun, Gusti, hanya dua buah garis bersilang. Orang bilang, garis yang datar melambangkan kerajaan manusia, garis dari atas ke bawah, kata orang, melambangkan karunia dewa di atas pada kerajaannya.
Apa bedanya dengan swastika Buddha"
Kalau dibuang siripnya tentu dia akan sama, Gusti. Sang Patih membikin salib di atas pasir. Sebab itu besar, besar sekali, merah menyala, dapat dilihat sepemandangan dari atas gajah dan dari atas menara. Layar-layar putih sangat besar, dari ufuk nampak seperti kuntum melati.
Kapal-kapal siapa yang muncul dari Ujung Selatan Wulungga yang keramat itu, Kakang Patih"
Itulah kapal-kapal Peninggi, Gusti sesembahan patik, jawabnya sambil mengangkat sembah, menunduk lagi dan meneruskan gurisannya di atas pasir, membuat gambar kira-kira dari kapal-kapal baru itu.
Tentu mereka bajak yang menakutkan, Sang Adipati memancing-mancing pendapat.
Kalau hanya sekedar bajak, Gusti, mereka bisa dihindari bahkan bisa dilawan. Mereka tak bisa dihindari. Bukan saja karena kelajuannya, karena layarnya yang berlapis-lapis, dapat mekar menggelembung seperti melati, sebesar tiga kali gajah, dapat mengempis seperti kantong kosong, dapat cepat digulung , ya Gusti .
Maksudmu meriamnya" Benar, Gusti, meriamnya, senjatanya itu, dapat memuntahkan api dan .
Adakah Patih sedang mengulangi dongeng kanak-kanak itu.
Ampun, Gusti. Dongengan kanak-kanak itu sekarang sudah jadi kenyataan.
Kenyataan! Sang Adipati terpekik. Memuntahkan api! Apakah Kakang Patih bermaksud mengatakan ada bangsa lain di atas bumi ini punya cetbang Majapahit" Ada di negeri Atas Angin sana" Kakang Patih tidak hendak mendongeng lagi"
Ampun, Gusti sesembahan patik. Ada bangsa jauh di Atas Angin sana punya semacam cetbang Majapahit. Lebih dahsyat, Gusti.
Lebih dahsyat! Sang Adipati berseru menyepelekan, tertawa kosong. Bergumam: Ada yang lebih dahsyat dari cetbang Majapahit, ia menuding pada langit tanpa mengangkat kepala. Dari mana pula dongengan menarik itu berasal, kiranya"
Deburan ombak terdengar nyata. Tak ada manusia bergerak dalam sepengelihatan penguasa Tuban itu. Jauhjauh di darat nampak orang bersimpuh di atas tanah dengan kepala menunduk ke bumi. Dan di laut kapal dan perahu yang tertambat berayun-ayun dengan layar tergulung dan tiang-tiangnya menuding langit.
Teruskan, Kakang Patih. Ampun, beribu ampun, Gusti. Dongengan patik yang indah ini datang menghadap Gusti untuk jadi bahan periksa, Gusti. Kapal-kapal Atas Angin pada gentar. Orang bilang banyak di antaranya telah mereka kirimkan ke dasar lautan. Semua pedagang mengimpikan dan memburu keuntungan, Gusti, maka benua dan lautan ditempuh. Mengetahui, dengan munculnya kapal-kapal Peranggi, bukan keuntungan yang teraih, tapi maut belaka, maka mereka lebih suka tinggal tidur di tengah-tengah mewahan di rumah masing-masing di bandar sendiri.
Maka makin berkurang kapal-kapal Atas Angin datang"
Demikian adanya, Gusti sesembahan patik. Sang Adipati tercenung sebentar. Ia menunduk dan berpikir. Lambat-lambat kedua belah tangannya tertarik ke atas dan bertolak pinggang Sebentar dia berpaling dan menebarkan pandang pada laut, kemudian pada langit. Bertanya pelan: Bagaimana bisa ada senjata lebih dahsyat dari cetbang"
Beribu ampun, Gusti, cetbang mereka bukan sekedar dapat menyemburkan api dan meledak, juga memuntahkan bola-bola besi sebesar, sebesar, kata orang, sebesar buah kelapa
Sebesar buah kelapa! Terkupas atau tidak" Gusti Adipati berolok-olok. Apakah bedanya buah kelapa itu terkupas atau tidak" Besi sebesar tinju pun akan dapat remukkan setiap kapal, Gusti.
Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta terdiam. Juga destarnya yang panjang-panjang itu sebentar menggelepar tertiup angin. Intan, baiduri dan jamrud yang menghiasi bagian depan destar gemerlapan bermain-main dengan sinar surya. Bertanya seakan tak acuh: Bangsa apa kata kakang tadi"
Peranggi, Gusti. Orang bilang, ada bangsa lain, juga sama hebatnya, Ispanya namanya, Gusti. Kapal-kapal Atas Angin pada ketakutan, Gusti, biarpun hanya melihat dari kejauhan. Mereka sudah berlarian cari selamat, berlingsatan tunggang-langgang cari hidup. Sedang kapal Peranggi itu, Gusti, tak pernah belayar sendirian, selalu dalam rombongan, paling tidak dua atau tiga buah. Kapal-kapal Atas Angin itu, milik pedagang-pedagang itu, tak pernah dalam rombongan. Karena persaingan satu dengan yang lain, baik di laut mau pun di darat.
Dalam rombongan seperti armada Majapahit" Benar, Gusti.
Apa lagi ceritamu, Kakang Patih"
Mereka lain dari orang-orang Arab, Parsi atau Benggala, lain dari semua bangsa yang pernah datang di Tuban. Mereka itu putih seperti kapas, seperti awan, seperti kapur, seperti bawang putih .
Barangkali sebangsa hantu laut"
Gusti berolok-olok. Mohon apalah kiranya tidak berolok-olok, Gusti. Keadaan dunia sungguh-sungguh sudah berubah. Gusti. Mereka punya negeri dan rajanya sendiri. Sang Patih menurunkan nada suaranya dan meneruskan pelahan bercampur dengan tiupan angin Aku tak dengar, Kakang Patih, lebih keras. Ampun, Gusti. Dari dulu orang tua-tua sudah mendongeng tentang bangsa kulit putih, seperti dongeng tentang peri dan gandarwa, seperti dongengan orang Islam tentang jin, iblis dan setan, seperti dongengan tentang dedemit para leluhur. Sekarang ternyata bangsa manusia berkulit putih sesungguhnya ada.
Ia turunkan lagi nada suaranya sehingga hampir bergumam.
Siapa tahu, Gusti . Lebih keras!
Ampun, Gusti, siapa tahu, barangkali pada suatu kali jin dan iblis dan setan orang-orang Islam juga punya negeri sendiri kapal dan cetbang.
Sang Adipati memperbaiki letak keris, kemudian dilambainya Syahbandar agar mendekat. Yang dilambainya bergerak, tetap berdiri dan mengangkat sembah kepala. Apa pengetahuanmu tentang bangsa berkulit putih" Bangsa kafir itu, Gusti, bangsa berkulit putih, tapi hatinya, rohnya, nyawanya, hitam, Gusti, hitam seperti jelaga periuk. Mereka tidak mengagungkan Allah Yang Maha Besar. Mereka penyembah patung. Sedangkan orang Jawa pun bukan penyembah patung, kecuali pemeluk Buddha. Mereka penyembah patung, Gusti.
Kafir atau tidak apa salahnya" Penyembah patung atau tidak apa buruknya" Roh, nyawa atau hatinya hitam atau putih atau kelabu ataupun ungu seperti bunga kecubung, apa peduli" Allah Maha Besar telah memberikan pada manusia berbagai macam warna. Selama mereka datang membawa kesejahteraan untuk bandar Tuban siapa saja baik.
Auzubillah min zalik! seru Syahbandar. Apa persembahanmu, Tuan Syahbandar"
Diampuni oleh Allah apalah kiranya Baik Peranggi, Gusti, maupun lspanya, memusuhi semua bangsa, memusuhi semua orang Islam, dan Yahudi, dan Buddha, dan Hindu, semua bangsa manusia. Mereka mau merajai segala-galanya. Tuhan akan mengenyahkan mereka dari muka bumi.
Kapan Tuhan mengenyahkan mereka"
Semua bangsa, Gusti, sembah Ishak Indrajit terus dalam Melayu, dengan bimbingan Allah. Kalau semua bangsa tidak mau, merekalah yang bakal menghalau kita semua .
Di mana negerinya" Jauh atau dekat" Maka akan dapat mengenyahkan semua bangsa dari muka bumi"
Jauh, Gusti, lebih jauh dari Parsi, Arabia ataupun Turki. Negerinya ada di atas Atas Angin.
Kalau dongengan itu benar, pasti kapalnya banyak, kuat dan hebat, tentu mereka bangsa yang pandai dan gagahberani. Mereka telah lewati Ujung Selatan Wulungga yang tak pernah dilalui oleh nenek-moyang, puji Sang Adipati pada bangsa yang belum dikenal itu.
Mereka diberanikan oleh iblis, dipimpin oleh setan, Gusti Adipati Tuban, susul Syahbandar pada Sang Adipati tak senang.
Sang Adipati tak memperhatikan. Pandangnya ditebarkan ke laut yang masih juga disebari perahu-perahu nelayan. Angin yang meniupi dadanya membikin bulu dada yang putih itu berombak. Tak dirasainya seekor lalat hinggap pada dagunya. Ia sedang bekerja keras memanggil kapal-kapal Peranggi dan lspanya dalam angan-angan.
Bangsa-bangsa Atas Angin takut pada mereka, tibatiba ia berpaling pada Syahbandar.
Tuan Syahbandar, bagaimana bisa orang-orang Islam takut pada kafir"
Senjata dari iblis! Sang Adipati mengulangi.
Sihir namanya, Gusti. Sihir! Sang Adipati mengulangi, melecehkan. Kalau begitu orang Islam pasti punya mantra-mantra penangkal.
Syahbandar terdiam, menunduk lebih dalam, tak menemukan kata-kata jawaban. Tubuhnya yang tinggi jangkung nampak meriut kecil.
Ampun, Gusti sesembahan patik, sela Sang Patih sambil menyembah, adapun senjata itu sama sekali bukan sihir, justru cetbang yang lebih ampuh. Kapal-kapal tak bisa lari dari tudingannya. Senjata itu dapat menenggelamkan kapal yang sebesar-besarnya dari jarak sepemandangan.
Jadi sungguh-sungguh mereka memusuhi semua kapal"
Benar, Gusti, dan terutama kapal-kapal berbendera bulan dan bintang, semua kapal Islam, juga kapal-kapal bukan Islam dari Benggala, semua.
Apa yang mereka cari, orang-orang apa pula namanya tadi"
Peranggi, Gusti, sembah Sang Patih. Semua, Gusti, semua yang mereka cari, terutama rempah-rempah.
Tiba-tiba Sang Adipati tertawa senang dan bergumam pada angin mendesau: Ha! Rempah-rempah! Seperti kapalkapal lain, seperti yang selebihnya. Rempah-rempah. Hai!
Beribu ampun, Gusti, Sang Patih meneruskan, para nakhoda bilang mereka mulai kelihatan di Malagasi, memasuki Teluk Parsi dan mengamuk tiada terlawan. Kapal-kapal armada gabungan dari beberapa negeri dibabat lenyap ditelan laut Sekarang mereka bukan hanya sudah mulai kelihatan di Benggala dan Langka, juga sudah menduduki Goa. Ya, Gusti, bila senjata mereka berdentum, langit seperti belah dan hati yang mendengarnya jadi ciut. Burung-burung lumpuh sayap dan berjatuhan mati. Bolabola besi sebesar kelapa bersemburan, mendesis di udara. Tumpaslah kapal yang terkena.
Sang Adipati tersenyum. Berseru pelahan: Ya-ya-ya, pastilah mereka memang bangsa-bangsa unggul. Tuan Syahbandar, meriam bukan nama senjata itu"
Ampun, Gusti, dikutuk oleh Allah apalah kiranya mereka itu. Gusti, Mereka namai senjata itu dengan nama Dewi Ibunda Nabi Isa, Mariam, Gusti. Bukan mereka sendiri yang menamainya, memang. Kata orang sebelum mereka mendentumkan senjatanya, beramai-ramai mereka memekikkan nama Ibunda Nabi Isa alaihissalaam. Api pun menyemburat dari moncong senjatanya dan bola besi itu melesit ke udara seperti peluru cetbang, hampir-hampir tak dapat ditangkap oleh mata. Kemudian senjata itu dinamai Meriam.
Sang Adipati mulai bosan mendengar keterangan bertele. Ia bergerak dari tempatnya, melangkah menuju pada kudanya. Semua prajurit pengawal menyembah dan beringsut menjauhkan diri. Prajurit pengawal pemegang kuda itu pun mengangkat sembah, menyerahkan kendali padanya, menyembah lagi. bersujud ke tanah, kemudian menungging untuk jadi anak tangga.
Tanpa memperhatikan yang lain-lain Sang Adipati naik ke atas punggung orang dengan sebelah kaki, dan dengan kaki lain melompat ke atas punggung kuda.
Sang Patih juga naik ke atas kudanya, bergerak mengiringkan Sang Adipati. Syahbandar tertinggal di tempatnya .
Kapal unggul senjata unggul bangsa unggul kulit putih, rempah-rempah, salib semua menjadi masalah ganda yang berjubal dalam kepala Sang Adipati. Ia membutuhkan waktu untuk memikirkan semua itu.
Bangsa-bangsa menjadi kaya karena berdagang rempahrempah. Mungkin satu bangsa bisa menjadi unggul karena mencari rempah-rempah" Uh, pertanyaan lucu. Orang takkan mati tanpa dia. Bangsa-bangsa mencarinya karena memang sudah unggul Mungkinkah suatu bangsa bisa jadi unggul hanya karena punya senjata unggul" Hhhh, pertanyaan bodoh. Bangsa unggul saja bisa membikin dan menggunakan senjata unggul. Ada suatu lembaga yang membikin mereka jadi unggul, maka segala yang ditanganinya juga jadi unggul: kapal dan senjata. Mereka pergi ke mana-mana untuk mengalahkan dan menaklukkan. Hanya yang dapat menahan dan mengalahkan mereka lebih unggul. Salib itukah mungkin lambang lembaganya" Sekarang ini siapa yang tahu" Barang siapa bisa menjawab, dialah si pembohong itu. Orang harus mengenal lebih dulu bangsa-bangsa dari negeri terjauh ini, bangsa-bangsa dari atas Atas Angin, bangsa-bangsa yang telah menaklukkan Ujung Selatan Wulungga yang belum pernah ditembus kapal-kapal Majapahit. Tapi mereka membutuhkan rempah-rempah! Mereka bangsa manusia biasa. Mereka juga bisa dikendalikan melalui kebutuhannya. Tuban punya rempah-rempah! Mereka akan datang kemari. Dan melalui kebutuhannya mereka akan aku kendalikan!
Tanpa mereka semua ketahui, sesuatu telah berubah di dunia yang tak dikenal di utara, jauh di baratlaut sana.
Senjata baru, meriam itu, sesungguhnya sama nenekmoyangnya dengan cetbang Majapahit. Tahun tolaknya dari Tiongkok pun sama: 1292 Masehi. Bersama dengan balatentara Kublai Khan yang melakukan expedisi penghukuman di Singasari, nenek-moyang cetbang Majapahit dibawa serta di samping kuda perang dari Mongolia dan Korea
Berlanjut ke bagian 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar