Jumat, 18 November 2022

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer #6/44


Arus Balik. 

Karya : Pramoedya Ananta Toer.

Bagian 6.

Adipati Tuban Arya Tumenggung Wilwatikta Orang bilang: Sang Adipati Tuban bukan keturunan orang kebanyakan. Semua orang percaya: ia langsung berasal dari darah wangsa Majapahit. Dan tak ada orang yang meragukan. Sang Adipati sendiri bangga pada darah yang mengalir di dalam tubuhnya. Juga ia merasa aman karena darah itu sendiri telah menyebabkan ia tak punya penantang sebagai penguasa atas negeri Tuban.

Pada 1292 Raden Wijaya berhasil mendirikan Majapahit. Kawan-kawan seperjuangannya, hampir semua berasal dari rakyat kebanyakan, diangkatnya jadi gubernur yang berkuasa di kabupaten-kabupaten penting di Jawa Timur. Ia marak jadi raja pertama Majapahit dengan nama Kartarajasa.

Sang Adipati tahu, Sri Baginda Kartarajasa lebih banyak memberikan kekuasaan pada sahabat-sahabat seperjuangan yang telah sangat berjasa padanya. Kaum ningrat keluarga Sri Baginda justru sangat dibatasi kekuasaannya. Baginda menganggap orang-orang ningrat telah menjadi lemah karena kemewahan dan penghormatan dan sanjungan yang berlebihan.

Tetapi, pejabat-pejabat dari orang kebanyakan ini, demikian pendapat Sri Baginda pendiri wangsa Majapahit biarpun sudah diangkat jadi gubernur, tetaplah tak punya jangkauan pandang yang jauh. Kemana pun mereka tebarkan pandangnya, yang nampak hanya dusunnya semula. Kesetiaan memang bisa diharapkan dari mereka, tetapi kebesaran hanya bisa datang dari seorang raja yang bijaksana.

Juga Sang Adipati Tuban tahu dari guru praja: sejak masih bernama Raden Wijaya pun Sri Baginda Kartarajasa telah dijiwai oleh cita-cita besar Sri Baginda Kartanegara dari Singasari untuk mempersatukan seluruh Nusantara. Ia sendiri pernah bertugas memimpin ekspedisi militer ke negara-negara Melayu. Juga pernah ikut memimpin gerakan mempersatukan Madura, Bali, Sunda, Sukadana, Pahang dan ikut membangunkan persekutuan militer dengan Campa. Setelah menjadi raja Majapahit pertama, Sri Baginda bercita-cita hendak membangunkan kekaisaran dengan bantuan gubernur-gubernurnya yang setia.

Dari guru praja Adipati Tuban tahu: Sri Baginda Kartarajasa mempunyai dua jalan untuk mempersatukan Nusantara. Pertama jalan kecil karena keciilah kemungkinannya, yakni melalui jalan laut ke Tiongkok dan kekaisaran Tiongkok terlalu kukuh dan terlalu kuat untuk dipengaruhi dan ditembus oleh Majapahit. Yang kedua adaiah jalan besar, karena besarlah kemungkinannya, yakni melalui jalan laut melewati Selat Semenanjung ke Atas Angin, ke Benggala dan ke negeri-negeri yang tak terbatas jumlah kerajaan dan kebangsaannya. Untuk dapat menguasai jalan besar, Selat Semenanjung harus dikuasai. Dan untuk kepentingan itu pula Sri Baginda Kartarajasa mengawini putri Melayu bergelar Dara Petak artinya Gadis Putih. Seorang putra yang lahir dari perkawinan ini, Kala Gemit, diangkat jadi putra mahkota untuk menjamin kesetiaan Melayu pada Majapahit dan dengan demikian menyelamatkan Selat Semenanjung.

Para gubernur bekas teman-teman seperjuangan Sri Baginda tidak mau mengerti tentang kebijaksanaan ini. Biarpun permaisuri Gayatri tidak melahirkan seorang putra, hanya putri, tidak ada satahnya ia diangkat jadi putri mahkota. Bukankah putri itu, Dewi Tribuwana, cucu Sri Baginda Sri Kertanegara, yang lebih berhak" Bukankah Tribuwana sendiri sudah melambangkan bersatunya tiga benua: Nusantara, Atas Angin dan Wulungga" Mereka tidak rela kalau Majapahit, hasil jerih-payah mereka, harus jatuh ke tangan keturunan Melayu, hanya untuk dapat mempertahankan Selat Semenanjung.

Percekeokan dan pertengkaran terjadi. Tidak makin reda, tapi semangat menjadi-jadi.

Gubernur-gubernur berasal dari orang kebanyakan itu, kata guru praja pada Sang Adipati semasa masih kanakkanak, tidak mengerti sesuatu yang besar, yang dipertaruhkan dalam pengangkatan Kala Gemit jadi putra mahkota. Memang pandangan mereka hanya seluas desanya sendiri. Gubernur Tuban, Ranggalawe, yang paling keras menentang, ditindak dengan ekspedisi militer oleh Sri Baginda. Ia melawan dengan gagah-berani, tetapi sia-sia. Pengganti Ranggalawe itulah moyang Sang Adipati.

Sang Adipati Tuban Arya Teja, karena kebijaksanaan dan kecerdikannya, dalam usia sangat muda telah diangkat jadi Patih Majapahit, waktu itu Majapahit telah lemah sehabis perang-saudara Peregreg, dan Sri Baginda Brawijaya lebih lama lagi, raga dan jiwanya, Sang Patih Majapahit Arya Teja tak melihat adanya jalan terbuka untuk membangunkan kembali Majapahit Raya. Ia patah semangat, perhatiannya kemudian ia tumpahkan pada wilayahnya sendiri berdasarkan darmaraja, yakni negeri Tuban. Tetapi Tuban tak bisa menjadi besar dan berdikari selama Majapahit yang sakit-sakitan itu masih ada. Ia mulai bersekongkol dengan pedagang-pedagang Islam. Ialah yang memberikan ijin pada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk memberikan perkampungan dan pengajaran Islam di pelabuhan utara Majapahit, Gresik. Ialah yang membentuk persekutuan dengan gubernur-gubernur pelabuhan untuk semakin mengeratkan hubungan dengan saudara-saudara Islam sambil sedikit demi sedikit menunggangi Majapahit.

Majapahit telah lama runtuh. Tetapi Adipati Tuban tak mampu melepaskan diri dari bentuk tatap raja Majapahit. Ia pun bagi-bagikan jabatan-jabatan penting pada orang-orang kebanyakan yang telah berjasa, sangat berjasa. Hanya Sang Patih, saudara sepupu anak seorang paman tuanya, yang berasal dari darah raja-raja. Semua kepala pasukan Tuban adalah orang-orang kebanyakan. Tak seorang pun di antara mere ka punya gelar, kecuali gelar ketentaraan.

Dan sekarang, bahwa ia mengangkat Idayu dan Galeng pada kehormatan sedemikian tinggi, adalah juga karena tradisi Majapahit. Ia merasa bangga dan puas telah dapat lakukan itu, sekali pun ia tak sepenuhnya rela di dalam hati.

Sebagaimana halnya dengan leluhurnya, ia tak pernahmenggunakan tahyul sebagai pegangan. Ia dasarkan tindakan-tindakannya praja pada perhitungan tentang kemungkinan yang lebih baik. Maka begitu orang bersoraksorai di alun-alun dan membenarkan Idayu, seketika itu juga ia harus dapat mengubah pikirannya: melepaskan impian sendiri tentang tubuh jelita dari gadis perbatasan bernama Idayu dan serta-merta berpihak pada sorak-sorai itu.

Dan ia tahu, peristiwa Idayu-Galeng tak boleh berhenti sampai di situ saja. Mereka dapat dipergunakan untuk memelihara kesetiaan kawula Tuban kepadanya. Maka Galeng harus juga mendapat jabatan yang patut.

Setelah upacara perkawinan agung selesai sering ia duduk termenung seorang diri di taman kesayangan di tempat gajah pribadi. Dalam kesibukan resmi ia dapat kehebatan berahinya pada tubuh Idayu. Tetapi setelah kembali hidup sebagai pribadi, berahi itu tetap menyala, menyambar dan membakar dalam dada tuanya. Kekuasaannya yang tanpa batas ternyata tak dapat membantunya.

Seorang diri di taman seperti ini jiwanya penuh-sesak dengan bayangan penari jelita itu. Gerak-gerak yang begitu mengikat, pandang mata yang sayup-sayup mengundang betapa betapa tidak, ia meyakinkan diri setelah teringat pada ajaran keprajaan dari nenek sendiri dan juga nenek Sang Patih: tak ada raja kehilangan kerajaan selama ia tidak kehilangan kehormatan. Maka untuk ke sekian kali ia kebaskan berahinya.

Selama Idayu, seorang wanita, apakah bedanya dengan wanita lain" Tapi pribadi seperti itu! Di sana bisa didapatkan lagi"

Dan dialahkan pikirannya sekarang pada Galeng. Di mana harus ditempatkan juara gulat keparat yang hanya tahu gulat dan berani itu" Stt, stt, jangan remehkan kemampuan seseorang. Apakah artinya Mpu Nala dan Gajah Mada sebagai seseorang" Namun wajah dunia telah berubah karena mereka berdua, anak-anak desa itu: Semenanjung jatuh ke tangan Majapahit. Selat dikuasai, Jalan besar terbuka, Majapahit jaya.

Sekarang Malaka jatuh ke tangan Peranggi. Selat dengan sendirinya, sebentar lagi mungkin Pasai runtuh pula dan Selat akan jadi milik mutlak Peranggi. Dia bukan hanya hendak menguasai dunia, juga Nusantara. Tak ada yang mampu melawan dia. Tuban pun tidak. Tetapi selama Tuban di dalam tanganku, kita akan memiliki harga apa pun juga.


Sang Adipati terbangun dari pemenungannya melihat sesosok tubuh merangkak mendekati sambil menyembah: Ya, Galeng, pengantin baru yang berbahagia, adakah sesuatu hendak kau persembahkan"

Ia tertawa melihat pegulat itu dengan susah-payah mencoba menyusun kata.

A, persembahan saja dengan caramu sendiri, nak desa! Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Adapun patik menghadap tidak sepertinya ini ialah memohon perkenan dari Gusti Adipati Tuban

Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuh pegulat itu. Setelah perkawinannya dan diharuskan tinggal di dalam kadipaten, ia kehilangan niat untuk berbuat sesuatu terhadap Sang Adipati. Sebagian dari kecurigaannya telah hilang. Idayu telah jadi istrinya. Kegelisahannya sekarang adalah kegelisahan seorang kawula yang menunggu datangnya hukuman. Pasti Sang Adipati telah mengetahui segala-galanya tentang dirinya. Sedang larangan baginya untuk melakukan sesuatu kerja menyebabkan kegelisahannya semakin menjadi-jadi.

Kurang cukupkah yang telah lewat dan yang sudah ada "

Lebih dari cukup, Gusti, patik hanyalah petani biasa. Patik dan istri sudah rindu pada desa patik, Gusti.

Bukankah kami Adipati Tuban dan kau kawulanya" Bukankah kau mengabdi pada adipatimu"

Juara gulat itu tak mampu meneruskan kata-katanya. Badannya sudah kuyup.

Kau, Galeng, kembali ke tempatmu. Jangan tinggalkan pengantinmu. Kau tidak kembali ke desamu.

Juara itu telah menggelesot di tanah. Beberapa kali ia mengangkat sembah. Ia belum lagi mampu mengangkat badan untuk pergi. Otot-ototnya seperti lumpuh.

Dan Sang Adipati memperhatikan bahu bidang di bawahnya itu bahu pegulat yang kukuh seperti baja. Dunia pun akan bisa dipikulnya, bidiknya puas dalam hati. Dia tak tahu apa sedang menunggunya. Anak desa.

Prajurit-prajurit yang telah diperintahkan membersihkan gedung bekas asrama telah menyelesaikan tugasnya. Sang Adipati sendiri yang telah memerintah mereka. Dan setelah itu mereka harus memindahkan semua barang pribadi Rangga Iskak ke bekas asrama tersebut. Sang Adipati menganggap semua pekerjaan itu sudah selesai dengan sepatutnya. Ya, Galeng, pergi, kau! perintah Sang Adipati.

Anak desa itu menyembah, mengesot jauh dan menyembah lagi, kemudian hilang dari penglihatan Sang Adipati.

Ia tahu Syahbandar Tuban sedang mencoba menghadap untuk memprotes. Ia sengaja takkan melayani. Ia bangkit, berjalan lambat-lambat menikmati cuaca, menuju ke kandang gajah. Sebelum sampai ia lihat pemelihara binatang itu sedang menggunakan cis untuk memerintah si gajah agar duduk pada kaki belakang. Dan ia lihat pemelihara itu kemudian duduk di samping binatangnya, menyembah pada Sang Adipati. Gajah itu sendiri mengangkat belalai.

Sang Adipati tertawa terhibur.

 

Tidak lebih dari lima hari kemudian, di taman di tentang kandang gajah ini juga datang menghadap seorang utusan rahasia dari Sultan Mahmud Syah yang sedang menyingkir ke pembuangan. Ia mempersembahkan sepucuk berbahasa dan bertulisan Jawa.

Sultan mengabarkan, Malaka telah jatuh ke tangan Peranggi sebagai akibat pengkhianatan Syahbandar Malaka berkebangsaan Arab bernama Sayid Mahmud Al-Badaiwi. Diterangkan orang itu berbadan kurus tiggi agak bongkok, setengah umur, berkumis, berjenggot dan bercabang-bauk yang telah bersulam uban dan berhidung bengkok rajawali.

Sultan Malaka mengakui, ia telah keliru mengangkat orang tersebut, hanya karena terbujuk oleh kefasihan tersebut dan kepandaiannya mengambil hati orang. Menjelang jatuhnya Malaka ia malah mendapat kepercayaan keluar-masuk istana, dan hampir-hampir diangkat menjadi wazir.

Sultan berseru pada Sang Adipati sebagai sedarahsedaging, seasal-keturunan Majapahit, supaya berhati-hati terhadap orang tersebut sekiranya ia berada di Tuban, karena orang itu telah meninggalkan Malaka di bawah perlindungan Peranggi.

Sang Adipati mengerti maksud surat itu. Orang yang dimaksudkan tidak lain dari Sayid Habibullah Almasawa. Ia tak terkejut. Berubah pun airmukanya tidak.

Penguasa Tuban itu duduk di atas bangku batu yang lebih tinggi daripada duta rahasia Sultan Mahmud Syah. Dan setelah membacanya surat kertas itu dilipatnya baikbaik dan dengan tangan itu juga menuding pada sang duta berkata dalam Melayu: Kami telah baca baik-baik surat ini, Tuan Duta. Terimakasih ke hadapan Sri Sultan Mahmud Syah. Di Tuban tak ada seorang Arab bernama Sayid Mahmud Al-Badaiwi. Kelahiran mana dia, Tuan Duta"

Dia selalu berbangga sebagai orang Moro kelahiran Ispanya, negerinya Andalusia, Gusti.

Kelahiran Ispanya" Tentu dia pandai Ispanya" Barangtentu, Gusti.

Apa dia barangkali juga berbahasa Peranggi" Jelas seperti matari, Gusti, karena dia dapat juga melayani kapai Peranggi sebelum mereka menyerbu. Mengapa Tuan Duta mengandaikan dia di sini" Wara-wara Gusti Adipati Tuban di atas Malaka telah didengar oleh setiap pelaut. Pekerjaan Syahbandar Tuban yang baru sangat cocok untuk Sayid Mahmud Al-Badaiwi, Gusti. Dia akan datang kemari.

Apakah menurut perkiraan Tuan Duta dia akan mengubah namanya sekiranya memasuki Tuban"

Apakah Tuan Duta di samping tugas khusus ini juga bertugas menjejak bekas Syahbandar Malaka"

Barang tentu, Gusti. Patik telah singgah di Pasai, Jambi, Riauw, Banten, Cirebon, Jepara sambil menuju Tuban. Memang ada petunjuk-petunjuk ke mana pengkhianat itu pergi. Semenanjung telah berubah sangar bagi nyawanya. Dan ternyata, Gusti, benar belaka, Sayid Mahmud Al-Badaiwi sudah ada di Tuban sini, jadi abdi Gusti Adipati Tuban, bahkan telah Gusti angkat jadi Syahbandar Tuban.

Maksud Tuan Duta, Sayid Mahmud Al-Badaiwi itu tidak lain dari Syahbandar Tuban sekarang" Sayid Habibullah Almasawa"

Betul, Gusti, Syahbandar Tuban yang baru itulah bekas Syahbandar Malaka.

Dan setelah Tuan Duta mengetahui dia ada di sini, adakah sesuatu yang Sri Sultan kehendaki dari kami"

Kalau sekiranya berkenan di hati Gusti Adipati Tuban ampun, Gusti, bukan buatan terkejut patik melihatnya di bandar Gusti dia tak mengenal patik tapi patik mengenal dia dalam hati patik membersitlah satu doa yang tulus-ikhlas, dijauhkan oleh Allah kiranya Sang Adipati Tuban dan negerinya dari pengkhianat ini. Dan betapa bersyukur patik apabila nyawanya diserahkan kepada patik, Duta rahasia itu terdiam.

Nampak jelas ia sedang berdoa untuk terkabulnya harapan.

Sang Adipati membuang pandang ke arah kandang gajah. Persoalan Malaka adalah persoalan masa silam walau baru kemarin dulu bencana itu terjadi. Semua yang sudah lewat telah beibaris masuk ke alam lampau. Yang kemarin dulu Sultan, sekarang buangan. Yang sekarang Adipati masih tetap Adipati. Ia pandangi duta itu tajam-tajam. Ada dilihatnya rangsang dendam bergolak dalam dada orang di hadapannya itu.

Matari hampir tenggelam. Percakapan rahasia itu terhenti. Sebagai pengisi kemacatan duta rahasia itu mempersembahkan sebilah keris bersarung mas bertulisan Arab dan berbulu mas bertatahkan zamrud. Perkenankanlah patik mempersembahkan keris pusaka kerajaan Malaka ini, Gusti, sebagai harapan dapat terjadinya persekutuan antara Tuban dengan Sri Sultan, untuk tidak menyinggahi Malaka selama dikuasai Peranggi.

Telah kami terima tanda persekutuan ini. Dan jadilah pengetahuan Tuan Duta, bahwa nya wa Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa ada di tangan kami, dan sungguh sayang kami belum bisa menyerahkan pada Tuan Duta. Belum ada tanda-tanda, apalagi bukti, dia melakukan pengkhianatan terhadap kami. Sampai di mana persekutuan-persekutuan telah Tuan Duta usahakan"

Ampun, Gusti, Adipati, tentang itu pastikah bukan patik yang harus mempersembahkan.

Duta itu mengundurkan diri tepat pada waktu matari tenggelam sama sekali.

Nyamuk mulai berkeliaran di taman. Namun Sang Adipati masih juga belum bangkit dari bangku batu.

Betapa bodoh mengurusi yang telah masuk masa silam, pikirnya.

Ia lambaikan tangan pada seorang pengawal dan menitahkan agar Galeng datang menghadap. Dan waktu pegulat itu telah duduk bersembah di hadapannya segera ia memulai: Galeng, apa yang kau ketahui dari kebesaran masa silam"

Ia telah menduga anak desa itu akan sangat terkejut. Dan ia dengar juara gulat itu meraung dengan suara tertekan: Ampun, gusti Adipati Tuban sesembahan patik.

Galeng tak dapat meneruskan kata-katanya. Dalam menunduk ia mengherani dirinya sendiri, dan mengapa daya-perlawanannya menjadi layu setelah memperistri Idayu, dan mengapa dirinya begitu takut pada hukuman. Ayoh, persembahkan. Mukamu terlindungi kegelapan malam, dan kami pun tak perlu tahu, kata Sang Adipati, sekalipun ia punya dugaan, anak desa itu sedang kacaubalau. Mengetahui Galeng tak juga berdatang sembah, ia mendesak: Cepat, Galeng. Kami tahu, kau telah banyak mendengar tentang kebesaran masa silam. Kau! Tidak lain dari kau dan Idayu yang telah mengurus Rama Cluring sampai matinya beberapa waktu yang lalu. Kakek-kakek gila kebesaran masa silam itu. Persembahkan!

Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. suara juara gulat itu gemetar.

Kau takut, Galeng. Juara gulat yang takut bersembah! Tak ada jawaban dari sesosok tubuh di hadapannya. Suaranya menjadi agak lunak. Dulu guru-guru pembicara seperti Rama Cluring banyak berkeliaran dan membual di kota-kota. Cluring itu mungkin sisa dari gerombolan mereka yang terakhir. Banyak di antara mereka dibunuh oleh bupati-bupati pesisir yang bodoh itu. Sekarang secara berani bicara hanya di desa-desa yang jauh, terpencil. Adipati Tuban tidak gentar pada buatan seribu gurupembicara seperti itu. Maka kau tak perlu takut. Ampun, Gusti, kata Rama Cluring, hendaknya orang memanggil kembali kejauhan dan kebesaran masa silam pada guagarba hari depan"

Dari seluruh bualan Cluring hanya itu saja yang teringat olehmu"

Juara gulat itu tak dapat mengingat. Sebongkah batu seakan bersarang dalam kepalanya.

Baik, hanya itu yang teringat olehmu. Ketahuilah, bagaimana pun kau memanggil-manggil pada guagarba hari depan, tanpa restu seorang raja, tak ada sesuatu bisa terjadi. Kau percaya pada kata-kata Rama Cluring"

Kepala Galeng semakin mendekati tanah.

Kami tahu, kau percaya. Kalau tidak, mana mungkin kau Sering kau datang ke balai-desa mendengarkan pembicara-pembicara membual"

Ampun, Gusti, memang demikian halnya. Tentu saja. Kalau tidak, mana mungkin kau selalu datang" Sekarang dengarkan perintahku, hai kau, juara gulat"

Patik ada di sini, Gusti!

Kami menghendaki tenagamu. Kau orang kuat, badanmu dilipuri otot-otot kukuh. Kami menghendaki pikiranmu, karena kau anak terpelajar, ingin banyak mengetahui, karena itu sering mendengarkan guru berbicara. Kami menghendaki kesetiaanmu, karena kau tak dapat berbuat sesuatu tanpa restu seorang raja. Kami menghendaki jiwamu, karena tak ada kebesaran datang tanpa petaruh jiwa. Galeng, kembalikan kejayaan dan kebesaran Majapahit untuk Tuban, untuk negerimu, ini untuk Adipati sesembahmu. Berangkat kau sekarang juga, kau bersama istrimu. Tinggalkan kadipaten. Tinggal kau berdua di gandok kesyahbandaran yang sebelah kiri, gandok Islam. Dengan ototmu yang kuat lindungi jiwa Syahbandar baru. Dengan otakmu yang penuh berisi bualan pembicara-pembicara itu, selidiki segala rahasia Syahbandar dan sampaikan pada Sang Patih. Belajar baik-baik bahasa Melayu. Jadilah pembantu utama Sayid Habibullah Almasawa. Berangkat!

Setelah juara gulat itu pergi Sang Adipati bangkit dan berjaian tenang-tenang masuk ke kadipaten.

Seminggu kemudian di taman itu juga Sang Adipati menerima seorang duta dari Jepara. Sore juga waktu itu. Berbeda hainya dengan duta dari Malaka, duta yang sekarang ini ia ajak berjalan-jalan ke kandang kuda. Ia belai-belai suri kuda kesayangannya, sedang sang duta berdiri di belakangnya.

Ya, Gusti, patik adalah utusan pribadi Gusti Kanjeng Adipati Unus dari Jepara. Nama patik Aji Usup, Gusti. Teruskan, Aji Usup yang terhormat.

Salam bahagia dari Gusti Kanjeng Jepara, dan pesan . Sang Adipati berbalik. Wajahnya merah padam menahan kemarahan. Matanya membelalak: Pesan" Pesan untuk Adipati Tuban" Ataukah maksud Tuan ancaman"

Ampun, Gusti Adipati Tuban. Peristiwa Jepara itu memang jadi duri dalam daging Tuban. Untuk itu patik datang menghadap untuk mempersembahkan alasan dari tindakan Demak, Gusti.

Alasan" Apakah masih perlu ada alasan" Memasuki dan merampas tanda pemyataan perang, tanpa membuka gelanggang perkelahian" Hanya karena ingin punya bandar sendiri! Alasan dari seorang yang tidak tahu batas. Apakah Tuban pernah menjamah Demak dengan kuda atau gajahnya" Atau dengan kakinya" Atau itukah alasannya, memanggil kaki dan kuda dan gajah Tuban"

Ampun, Gusti, Demak tahu benar akan kekuatan perkasa dari Tuban.

Sang Adipati mulai berjaian agak cepat dan Aji Usup mengikuti dari belakang.

Kami dapat injakkan kaki gajah kami sampai seluruh Demak rata dengan tanah.

Demak sesungguhnya tahu benar akan itu, Gusti Adipati Tuban, ampuni patik.

Mengapa perbuatan tidak satria, tanpa pernyataan perang, dilakukan seperti bukan seorang raja yang memerintah Demak" Sang Adipati memilin-milin kumis putihnya. Bukankah kami bisa perintahkan tumpas tuan Duta, sebagai duta seorang raja yang berlaku bukan sebagai raja"

Inilah nyawa patik, Gusti, bila Gusti perlukan untuk ditumpas, patik persembahkan dengan rela.

Sungguh berani mati, kau, Tuan Duta.

Karena memang ada yang lebih penting daripada hati mati, Gusti, mengangkut seluruh nasib Jawa Dwipa.

Apakah karena memikirkan nasib seluruh Jawa, maka Demak merasa dibenarkan memasuki Jepara"

Sesungguhnya tiada jauh dari sangkaan Gusti Adipati Tuban. Ampun, Gusti.

Allah Dewa Bathara! Apakah rajamu mengira dia sendiri tahu tentang nasib Jawa"

Jauh dari itu, ya Gusti Adipati Tuban yang mulia, susul Duta Jepara itu dengan cepat-cepat. Utusan-utusan Demak ke seberang dan Atas Angin, Gusti .

Siapa utusan-utusan itu" Bukankah utusan juga dari Sampo Toalang" Sang Adipati memotong. Adakah Sampo Toa-lang menghendaki agar Loa Sam kami hancurkan dalam sepuluh bentar" Dengarkah, kau Aji Usup, Duta Jepara. Semua orang prajawan tahu, Sampo Toa-lang atau Semarang dibangun oleh orang-orang Tiongkok itu untuk menandingi Jepara. Jepara tidak jatuh karenanya. Bandamya tetap jaya. Kemudian Lao Sam atau Lasem didirikannya untuk menyaingi bandar Tuban. Apakah Adipati Tuban berbuat sesuatu terhadap Lao Sam" Bandar asing kecil itu kami biarkan berdiri, bahkan kami ijinkan. Tuban takkan jadi pudar karenanya. Bukankah kerajaan Demak didirikan untuk membentengi Semarang dari Tuban" Sekarang Demak sebagai kerajaan benteng sudah mulai menyerang. Sang Adipati Tuban masih dapat mengendalikan diri, hai kau, Aji Usup Duta Jepara. Patik, Gusti.

Sekarang utusan Semarang-Demak ke seberang dan Atas Angin kau jadikan dalih penyerbuan tak tahu kesopanan itu.

Patik, Gusti. Jepara dan Semarang takkan dapat rempah-rempah lagi. Setiap kapal Semarang dan Jepara yang belayar ke sebelah timur pasti kami hancurkan.

Yang demikian telah terjadi, Gusti.

Dan akan terjadi seterusnya selama kami masih hidup. Patik, Gusti.

Sampai Semarang-Demak mengembalikan Jepara pada kami dengan hormat dan patut.

Patik, Gusti. Sang Adipati berjalan menuju ke taman di tentang kandang kuda dan Aji Usup mengikuti. Ia duduk pada bangku batu dan duta itu berjongkok di tanah. Ia tuding kandang gajah dan menetak tajam: Sudah kami pertimbangkan, percuma gajah-gajah itu dikerahkan. Semarang-Demak akan punah tanpa rempah-rempah kami.

Pasti, Gusti. Agak lama Sang Adipati tidak bicara. Ia telah semburkan segala kemarahannya dan kini menjadi agak tenang. Kemudian: Apa Tuan Duta hendak persembahkan"


Bahwa utusan Demak ke seberang dan Atas Angin telah membawa keterangan-keterangan penting Peranggi akan menguasai Jawa, Gusti Adipati Tuban yang mulia. Itulah yang menyebabkan Demak secara terburu-buru memasuki Jepara. Peranggi tidak boleh memasuki tengahtengah pulau Jawa ini, Gusti. Sekali masuk, seluruh Jawa akan dikuasainya. Itulah sebabnya Demak memasuki Jepara dengan sangat terburu-buru.

Jauh manakah Tuban daripada negeri Peranggi, maka tak ada utusan datang padaku" Dan kau, Duta Jepara, datang jauh setelah adipatimu memasuki wilayah kami" Betapa lama waktu sudah berlalu, tak ada yang datang memohon ampun. Dan sekarang kau datang, bukankah untuk itu"

Patik datang menghadap memang untuk urusan yang agak lain, Gusti, ampunilah patik.

Tepat sebagaimana kami duga. Persembahkan! Ampun, Gusti, utusan Demak, dari seberang dan Atas Angin yang datang dalam bulan ini, Gusti, mempersembahkan pada Gusti Kanjeng Sultan Demak, sesungguhnya Tuban telah mengadakan persiapan persenjataan untuk menghadapi Peranggi, dan bahwa jatuhnya Malaka ke tangan Peranggi telah menjadi pikiran Gusti Adipati yang mendalam. Setidak-tidaknya karena Tuban sebuah bandar yang paling banyak bersangkutan dengan Malaka.

Betul, Aji Usup. Duta Jepara yang terhormat. Gusti Kanjeng Sultan Demak telah yakin adanya persiapan ini, dan bahwa persiapan itu tidak ditujukan pada Jepara.

Sang Adipati tersenyum puas.

Juga tidak akan ditujukan pada Jepara.

Untuk Jepara, Demak dan Semarang akan waktu lain, Aji Usup. Lihatlah betapa pongah Sultanmu. Mengirimkan seorang duta yang berkedudukan hanya sebagai duta putra mahkota, bukan dutanya sendiri! Apakah yang seperti itu pernah dilakukan oleh Adipati Tuban"

Tidak, Gusti Adipati Tuban.

Apakah Tuban pernah menghalangi pembangunan Glagah Wangi" Atau pernah mengambil salah sebuah dusun Demak"

Tidak, Gusti Adipati Tuban.

Apakah kurang berharga Adipati Tuban dibandingkan dengan Sultan Demak maka hanya duta Adipati Jepara yang dikinmkan pada Kami"

Tidak, Gusti. Soalnya hanya karena Gusti Kanjeng Adipati Unus yang mengurusi soal-soal manca-praja, maka patik dikirimkan dari Jepara kemari.

Pikiran Demak sungguh berbelit-belit biar pun mudah dapat dimengerti. Sebagai kerajaan pun sudah berbelit. Coba, kerajaan benteng yang didirikan oleh Sampo Toalang untuk menghadapi Tuban, sebuah kerajaan bayangbayang yang didirikan oleh pendatang Tionghoa. Sungguh berbelit.

Ampun, Gusti, Demak adalah kerajaan Islam, itulah keterangan satu-satunya dan tiada lain, Gusti.

Ya, keterangan satu-satunya sebagai negara, tapi bukan sebagai praja. Sebagai praja sangat berbelit karena dia mengabdi pada Semarang, dia tidak mengabdi pada Islam. Negeri Syiwa-Buddha juga tidak mengabdi pada Syiwa- Buddha.

Patik, gusti. Dan bagaimanakah rupanya negeri yang mengabdi pada sesuatu agama" Kami tidak pernah tahu. Majapahit yang jaya sepanjang sejarahnya juga tidak.

Ampun, Gusti, patik tidak ada wewenang untuk berselisih. Barang tentu Gusti Adipati benar.

Ya, dan Demak seluruhnya keliru. Ampun, Gusti Adipati benar.

Baik, apa hendak kau persembahkan lagi, Tuan Duta" Masih tetap soal Peranggi, Gusti. Sekiranya Gusti Adipati ada kecenderungan untuk melupakan perselisihanperselisihan kecil dengan Demak sekiranya Gusti Adipati ada terniat untuk melancarkan perang pengusiran terhadap Peranggi dari Malaka Itulah Gusti, yang dipikulkan di atas pundak patik dari Sultan Demak melalui Gusti Kanjeng Adipati Jepara.

Persembahkan, Tuan duta. Maka Tuban dan Jepara-Demak bisa bergabung dalam satu armada besar, Gusti.

Kau tak pernah bicara tentang Semarang. apakah kau memang pura-pura bukan kawula Semarang"

Ampun, Gusti, patik memikul pada bahu patik untuk jangan sampai menggusarkan hati Gusti Adipati Tuban. Tanpa kau pun Demak telah menggusarkan kami. Ampun, Gusti, patik hanya memikul perintah soal Peranggi.

Persembahkan! Semua kekuatan laut dari Tuban dan Jepara dan Banten, dan Jamto dan Riauw dan Aceh akan sanggup mengusir Peranggi, Gusti, kalau or laksanakan. Sekiranya Gusti Adipati berkenan menyertai.

Sang Adipati terdiam dan sang Duta tidak memulai lagi, menunggu jawaban.

Matari semakin condong mendekati tepi bumi waktu penguasa Tuban itu berkata: Datang kau sebulan lagi, barangkali kami ada jawaban.

Dilimpahi oleh Allah hendaknya Gusti Adipati Tuban dengan ramah dan kebijaksanaan sedalam-dalamnya dan usia panjang sehat dan sejahtera .

Begitu duta Jepara pergi, Sang Adipati tak dapat mengendalikan kemuakannya atas lawan-lawannya di barat sana. Ia takkan membiarkan siapa pun berjingkrak di atas kepalanya dan melecehkan Tuban. Tetapi perang ia tidak menghendaki. Perang saudara Peregrek itu selalu jadi momok selama hidupnya sejak ia menjadi Tumenggung Wilwatikta di Mahapahit selama lima tahun sampai sekarang ini, nyaris empat puluh tahun yang lalu. Ia tak menyukai perang dengan siapa pun. Juga tidak dengan Peranggi. Dan sekarang dari utara, timur, barat dan selatan, Prajawan-prajawan pada mempergunjingkan jatuhnya Malaka. Memang sejak dahulu pun Selat jadi urat nadi kemakmuran dunia, hanya karena dilewati rempah-rempah Nusantara. Tetapi mengapa orang begitu dungu membatasi kemakmurannya pada rempah-rempah dan Selat semata, seakan tak ada resiko lain di atas dunia ini" Sekarang pula Peranggi datang justru hendak mengangkangi ke duaduanya ogah berbagi dengan yang lain-lain seperti semula" Sekarang. Demak pun ikut dengan pergunjingan, dan dengan pergunjingan celaka itu hendak melupakan kami pada tindakan mereka yang tidak satria. Puh! Demak yang tandus-miskin hendak keluar sebagai penantang Peranggi! Negeri-negeri pada berjatuhan di tangan Peranggi, ini, kerajaan miskin yang baru kemarin akan mencoba-coba, terhadap tetangga sendiri dan terhadap Peranggi sekaligus!

Sang Adipati mencoba membayangkan Adipati Jepara yang muda dan bersemangat itu. Angan-angannya, pikirnya, lebih besar dari akalnya. Memang semua nampak indah bagi orang yang masih muda dan menganggap diri kuat tak terkalahkan. Barangkali dia sendiri yang hendak naik ke Malaka. Baik, datangilah Malaka, Unus! Hanya dia yang berusaha mendekati hasil. Kalau kau dapat takkan lebih baik dari Peranggi sendiri. Semua boleh gagahi Malaka. Tuban takkan binasa karenanya!

Ia melangkah pelan-pelan mengaji pikirannya sendiri. Dalam kegelapan para pengawal pun bergerak mengikutinya dari kejauhan. Ia memasuki daerah perumahan. Tiba-tiba, seperti tidak dimaksudkannya semula, ia berhenti di depan pintu yang diterangi dengan sebuah lampu gantung bersumbu lima.

Pintu itu terbuat dari papan jati berat berukir dalam, menggambarkan beberapa orang wanita sedang bercengkerama di bawah sebatang pohon jeruk macam di sebuah taman larangan.

Gubernur Tuban itu menarik seutas tali yang menjulur di atas daun pintu dan berujung jumbai berwarna-warni. Segera kemudian pintu berkerait terbuka. Sebidang pelataran dalam yang di sana-sini disinari lampu bersumbu satu terpampang di hadapannya.

Seorang wanita setengah baya bertubuh kekar bersimpuh di tanah menyambut dengan sembah. Kepalanya menekur. Inilah keputrian atau harem Sang Adipati.

Bagaimana kalian, Nyi Gede Kati"

Karunia dan kemurahan Gusti Adipati kuminta tanpa henti, Gusti, sembah wanita itu.

Sang Adipati langsung berjaian ke serambi, kemudian masuk ke dalam salah sebuah bilik selir kesayangan: Nyi Ayu Sekar Pinjung.

Selir-selir lain yang waktu itu kebetulan berada di pelataran atau serambi masih tetap bersimpuh di tanah pada tempat masing-masing. Setelah penguasa itu hilang dalam bilik selir kesayangan mereka bergegas masuk ke bilik masing-masing. Yang tertinggal di luar hanya Nyi Gede Kati.

Perempuan itu berdiri berjaga dengan sebilah tongkat panjang karena itulah tugasnya sebagai pengurus harem dan sebagai penjaga sekaligus. Ia berumur lebih-kurang empat puluh dan tampak masih muda, seakan baru kemarin meninggalkan umurnya yang ke tiga puluh. Mukanya bundar dan selalu nampak segar, Matanya agak sipit. Pandang matanya tenang tetapi nampak tajam menembus segala apa yang dilihatnya. Lebih dari itu ia seorang pesilat tangguh. Pada punggungnya selalu terselit senjata tajam dan pada sanggulnya selalu melintang sebilah cundrik kecilpanjang sebagai tusuk kondai. Rambutnya tersanggul, berbeda dari para selir yang diharuskan berurai. Juga berbeda dari para selir Nyi Gede Kati bergigi hitam arang, sedang para selir diharuskan tetap bergigi putih seperti seorang penari. Bila ia tertawa gigi hitamnya berkilau mengkilat, nampak keras seperti baja sepuh. Dan hanya Nyi Gede Kati sendiri barangkali tahu berapa banyak biji jahawe yang telah ia habiskan untuk kepentingan itu.

Tenang suasana harem itu. Deburan laut hampir-hampir tak kedengaran dari sini. Dan bunyi gamelan di pendopo pun hanya sayup-sayup.

Di dalam bilik Sang Adipati duduk di atas sampai tertiduran sedang pandangannya diarahkan ke bawah pada Nyi Ayu Sekar Pinjung yang sedang menyeka kaki penguasa itu dengan selembar kain basah.

Tangan Sang Adipati melambai, menarik dagu selir kesayangan untuk memandangi wajahnya. Dan wanita itu berkata dengan kenesnya,

Aduh, Gusti sesembahan patik, betapa lama patik menunggu selama ini.

Sang Adipati mengangguk dan tersenyum. Di bagian bumi yang sepotong ini saja ia dapat melepas senyum dan tawa sebanyak ia kehendaki. Namun di sini juga ia paling waspada. Setiap kata yang tertangkap oleh pendengarannya ia timbang-timbang sindir dan siratnya. Dari keturunan ke keturunan, dari penguasa yang satu pada penguasa yang lain menggantikan, sampai pada dirinya, abadilah peringatan itu: waspadalah kau, raja, begitu kau injak bendul keputrian, di dalamnya musuh dan lawan, penjilat dan peracun, pengkhianat dan perakus, sedang sibuk memasang jebak. Dan pusat jebakan selalu selir kesayangan. Awaslah jangan terlena, karena lena adalah binasa.

Mengapa kau merasa lama menunggu, Nyi Ayu" ia memancing. Ah, ya, barang tentu ada tersimpan sesuatu dalam hatimu. Adakah kiranya cincin kau inginkan" Atau kalung" Ataukah dinar emas" Atau dirham"

Ampun, Gusti, bukan mas dan bukan perang, ya Gusti sesembahan, kalau patik diperkenankan bersembah .

Sang Adipati menarik selir kesayangan ke atas dan didudukkan di sampingnya. Dan selir itu mengikuti tarikan sambil meliak-liuk genit.

Persembahan, Nyi Ayu Sekar Pinjung, barang tentu sangat penting.

Ampun, Gusti, adapun yang hendak patik persembahkan, ya Gusti, Gusti sesembahan, bukanlah sepertinya, hanya perasaan takut dan was-was, Gusti.

Sambil membelai-belai rambut selirnya Sang Adipati bertanya setengah tawa tapi dengan kewaspadaan semakin tinggi: Apakah kiranya yang kau takutkan dan waswaskan"

Ampun, Gusti, orang bilang, ya sesembahan patik, ada bangsa berkulit putih bernama Peranggi. Kata orang, tiada tandingan di seantara jagad raya ini.

Kata orang, Nyi Ayu, teruskan. Maka kata orang itu pula, Gusti, seluruh dunia memberinya julukan lelananging jagad, jantannya dunia, ya Gusti. Negeri didatangi takluk. Benua dipanggilnya datang. Kapal ditudingnya tenggelam, ya Gusti.

Sang Adipati tertawa senang dan didekapnya kepala wanita itu. Bertanya: Mengapa takut pada dongengan"

Kami semua takut dan was-was, selir itu menyembunyikan muka dengan manja pada dada Sang Adipati. Kemudian meneruskan dengan sura yang tidak keluar dari hati-kecilnya: Kata orang, ya Gusti, sebentar lagi Peranggi itu akan menaklukkan juga Tuban.

Sang Adipati terlompat seperti tersengat kalajengking. Ia tolak Nyi Ayu Sekar Pinjung sehingga jatuh tertelentang di atas ambin. Kemudian ia berdiri tegak lurus, bertolak pinggang. Wajahnya merah dan berkilauan terkena sinar lampu. Matanya tajam mengawasi selir kesayangan.

Mengetahui perobahan sikap mendadak itu. Nyi Ayu Sekar Pinjung tergagap-gagap bangun memerosotkan diri ke lantai. Dengan manjanya ia rangkul kedua belah kaki lelaki itu dan memperdengarkan sedu-sedunya: Ampunilah patik, ya Gusti.

Dari siapa cerita itu, Pinjung" tanya Adipati itu pelahan tapi tajam. Kedua belah tangannya masih juga bertolak pinggang.

Hanya sedu-sedan yang menjawab.

Jadi kau tak bermaksud mempersembahkan siapa orangnya"

Hanya sedu-sedan. Dan tubuh wanita itu gemetar. Sang Adipati membongkok, meraba-raba muka selir kesayangan. Tangan itu kemudian berhenti pada kuping.

Dalam waktu pendek subang-subang selir itu telah berpindah di atas tangannya. Dan wanita itu seperti dengan sendirinya hendak mempertahankan subangnya. Terlambat. Kemudian ia cegah sendiri usahanya.

Nampak Sang Adipati sedang berusaha menindas kemarahannya. Sekaligus ia mengerti ada kekuatan yang sedang bekerja untuk menyebarkan ketakutan. Benarkah tangan-tangan Peranggi sudah mulai memasuki sudut kadipaten" Ini" pikirnya. Sudah mulai menyebarkan kegentaran pada seluruh isi kadipaten"

Dengan gerakan yang menterjemahkan kemarahan ia cabut cepuk-cepuk subang itu. Dugaannya tidak keliru. Dari dalam keluar segulungan kertas, bertulisan dan berbahasa Jawa. Ia mendekati lampu dan membacanya. Isinya hanya sebaris, menyatakan telah mengirimkan selembar sutra delapan depa, tanpa menyebut nama seseorang.

Isi tulisan itu tak banyak menarik perhatiannya. Tetapi kertas" Surat di atas kertas! Hanya orang asing menulis di atas kertas. Kembali ia periksa surat itu dengan tinta, sedang Pribumi dengan jelaga.

Ada tangan asing bergerayangan di dalam haremku, ia memutuskan dalam hatinya. Sejenak ia duduk berpikir. Tak mendapat jawaban. Sekarang bertanya: Dari siapa surat ini"

Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, suara Nyi Sekar Pinjung gemetar. Bukan patik hendak menyembunyikan sesuatu dari kekuasaan Gusti sesembahan, memanglah patik tidak tahu siapa pengirimnya. Ampun, beribu ampun, Gusti.

Dari mana kau terima surat dan sutra" Nyi Gede Kati, Gusti.

Sang Adipati bergegas meninggalkan bilik harem. Beberapa hari setelah itu ia duduk di serambi belakang kadipaten sambil menonton adu jago yang dilaksanakan oleh para kawula. Perhatiannya tak dapat dipusatkannya pada peragaan itu. Pikirannya masih juga sibuk dengan isi lontar yang sepagi dipersembahkan oleh Sang Patih kepadanya. Lontar itu ditemukan oleh Galeng dalam penggerayangannya di dalam kamar Syahbandar baru Sayid Habibullah Almasawa, mengabarkan telah menerima dari Tuan, gelang, kalung, cincin mas bermatakan zamrud dan mutiara, dan bersedia lakukan pada yang tuan perintahkan.

Menurut Sang Patih. Galeng telah periksa seluruh kamar Syahbandar dan ia telah melihat banyak botol dan bendabenda yang ia tak tahu nama dan gunanya: kitab-kitab dengan tulisan yang ia tak kenal dan tak bisa baca, logamlogam kecil, lontar-lontar halus dan lebar dan lunak dengan gambar garis-garis bengkok, yang ia pun tak tahu artinya, setumpuk kertas, dan lain-lain yang ia pun tak tahu nama dan gunanya.

Dasar anak desa! Tetapi itu hanya permulaan, gumam Sang Adipati.

Kemudian diambilnya selembar daun sirih dari nampan kuningan, mengolesinya dengan kapur, menaruh sepotong kecil gambir di atasnya. Menggulung dan memamahnya. Kelak akan dia ketahui semuanya, pikirnya lagi.

Ia berusaha menghindari kemungkinan Sang Patih mencampuri urusan rumahtangga kadipaten. Ia tak menghendaki berkurangnya kewibawaannya sebagai Adipati. Ia akan selesaikan sendiri urusan dalam kadipaten. Bahkan mantri-dalam Patireja pun tak dititahkannya untuk melakukan pekerjaan itu.

Dan surat itu jelas dari seorang wanita. Ya, dari seorang wanita kepada Syahbandar Sayid Habibullah Almasawa. Tetapi tiada disebutkan tentangsutra. Mungkinkah barang perhiasan itu diterima oleh Nyi Gede Kati" Dan apa jasa Nyi Gede pada Syahbandar" Siapa pula pengantar dan penghubung surat" Ha, barangkali Nyi Gede bertindak sebagai penghubung dengan para selir. Tangan-tangan sudah mulai bergerayangan di dalam kadipaten. Kami sendiri harus dapat temukan penghubung itu.

Panggil Nyi Gede Kati, ia berseru, kemudian memperhatikan pertarungan ayam di depannya. Wanita pengurus harem itu bersimpuh di bawah serambi dan mengangkat sembah.

Dan Sang Adipati sengaja meneruskan perhatiannya pada peragaan binatang-binatang itu. Baru setelah salah seekor mati tertembusi taji baja Pada tengkuknya ia menghela nafas dan menghembuskannya keras-keras, Mendekat! perintahnya keras-keras.

Nyi Gede Kati beringsut mendaki anak-anak tangga serambi belakang mengangkat sembah lagi. Atas lambai tangan Sang Adipati ia beringsut maju terus lebih mendekat. Sang Adipati melambaikan tangan lagi sehingga ia sudah hampir pada kakinya.

Nyi Gede ia berbisik, siapa yang pernah menyurati kau dari luar"

Tiba-tiba tubuh wanita di bawahnya itu menggigil. Ampun Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, sebentar suaranya juga menggigil, kemudian merata kembali, memang benar patik pernah .

Tidakkah kau dengar kami tiada berkeras-keras bersabar"

Ampun, Gusti, Nyi Gede menurunkan suaranya sehingga mendekati bisikan, memang benar patik pernah menerima surat dari luar, tetapi patik tak tahu dari siapa. Surat tersebut sudah ada saja dalam kamar patik, tanpa patik ketahui siapa pembawanya.

Kami tahu kau seorang yang jujur, Nyi Gede. Bagaimana mungkin, kau yang bertugas mengurusi keputrian justru tidak tahu apa yang terjadi di bilikmu sendiri"

Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Hukumlah, patik, karena itulah kebenaran yang sesungguhnya. Hidup-mati patik adalah milik Gusti Adipati!

Mana surat itu" Ampun, Gusti Adipati, patik takut maka patik bakar. Surat apa, Nyi Gede, lontar ataukah kertas" Lon lon lon kertas barangkali, Gusti, patik tak tahu namanya. Bukan lontar.

Bukankah bukan hanya surat saja telah kau terima" Adakah real Peranggi pernah kau terima juga"

Ada, Gusti real mas, Patik mohon ampun, karena tiada mengetahui adakah itu real Peranggi atau bukan.

Real Peranggi, dua, Sang Adipati mendengus menghinakan, dan gelang, bukan"

Demikianlah, Gusti, dan gelang.

Dan kalung, dan cincin mas, semua bermata zamrud dan mutiara. Bukan"

Ampun, Gusti, semua benar. Perkenankanlah patik mempersembahkan semua itu ke bawah duli Gusti sesembahan.

Ambillah semua untukmu sendiri. Barang-barang itu dikirimkan untukmu. Kami tahu kau pengurus keputrian yang jujur. Pergi!

Ia perhatikan wanita pengurus harem itu beringsut-ingsut mundur, menyembah dan menyembah, kemudian berjalan menuju ke tempat pekerjaannya semula. Ia percaya perempuan itu benar-benar tak tahu siapa pengirimnya, tak tahu siapa penyampainya.

Waktu ia menoleh nampak olehnya Pada sedang berjalan di kejauhan memikul kotak sampah menuju keluar daerah perumahan. Darahnya tersirap. Sesuatu menyambar pada pusat perasaannya: cemburu. Dia! Ya, dia, Pada itu, yang dapat bergerak leluasa di dalam kadipaten. Dia ruparupanya kutu busuk keputrian. Dia!

Ia ikuti Pada dengan pandangnya. Ia kaji tingkah-laku bocah yang bebas gaya dan gerak-geriknya itu. Sekali-dua ia pernah melihat ia bercakap-cakap dengan wanita dewasa dengan begitu bebasnya, seakan sudah lama berpengalaman dengan mereka. Ya. Si bocah itu!

Jantungnya berdebaran. Adakah dugaanku benar" Dan bocah itu menjamah hak-hakku yang paling tersembunyi" Mungkin! Dan dia dapat bergaul bebas dengan siapa saja. Tak pernah punya perasaan gentar. Bahkan hampir dapat dikatakan kurang ajar. Dia berbahasa Melayu dengan lancar dan baik. Dia bertugas melayani Sayid Habibullah Almasawa. Tidak salah: dialah penghubung Syahbandar dengan keputrian. Dia semestinya kutu busuk harem.

Perasaan cemburu telah menariknya dengan kasar dari tempat duduknya. Seorang diri tanpa pengawal ia berjalan ke belakang memeriksai pagar kayu tinggi, yang melingkari keputrian, untuk mendapatkan bekas-bekas panjatan.

Tak ditemuinya bekas itu pada kayu yang berwama coklat yang selalu dibersihkan itu. Tentu ia menggunakan alat-alat yang sekarang ini belum dapat diketahui.

Ia tak teruskan penyelidikannya dan kembali duduk di serambi belakang. Ia cegah dirinya untuk berbuat sesuatu pembalasan dendam yang bisa diketahui oleh seluruh kawula. Dan ia harus tahu duduk perkara sebenarnya.

Pada nampak lagi memikul kotak sampah yang sudah kosong. Sang Adipati memperhatikan si bocah yang gelisah dengan mata berpendaran ke mana-mana itu. Ia lambaikan tangan padanya. Dan bocah itu pura-pura tidak tahu.

Manakah ada kucing dengan senang hati menghadap pada si macan" Pikirnya jengkel dan membiarkan Pada menghilang.

Cemburu tak dapat ia atasi hanya dengan berpikir dan berpikir. Bocah-bocah semuda itu telah gerayangi keputrianku!

Kebakaran terjadi di dalam dadanya. Tangannya melambai menyambar nampan kuningan tempat peracikan sirih dan dibantingnya menggelintang di lantai.


Berlanjut ke bagian 7

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar