Jumat, 18 November 2022

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer #5/44

 



Arus Balik. 

Karya : Pramoedya Ananta Toer.

Bagian 5. 

Penduduk Tuban punya kepercayaan: meriah-tidaknya penutupan pesta akan jadi petunjuk makmur-tidaknya Tuban pada tahun mendatang. Orang berkepentingan hadir. Sakit ringan dilupakan. Yang sakit berat digotong dengan tandu beratap kain batik. Seseorang mencarikan bungabungaan yang telah luruh dari tubuh para penari dan diobatkan padanya sebagai param atau minuman. Tarian adalah keindahan gerak yang diajarkan oleh dewa kepada manusia. Dan bunga yang terhias pada tubuh penari adalah wadah tempat para dewa menurunkan berkahnya.

Barisan kuda telah tiga kali mengedari alun-alun. Para peserta pertandingan telah duduk di dalam pendopo kadipaten. Canang bertalu satu-satu. Keadaan menjadi sunyi-senyap. Hanya kadang-kadang, di sana-sini, terdengar tangis bayi. Desau angin dan deburan laut tak digubris orang. Semua yang duduk di atas rumputan memusatkan pendengaran pada suara-suara yang akan datang nanti dari dalam kadipaten. Dan mata mereka antara sebentar mengawasi gerak-gerak para pejabat yang berdiri di manamana, berpakaian serba kuning, juga selendang dan destarnya. Dari kejauhan nampak seperti cuwilan kunyit sedang di jemur. Itulah para peseru yang akan menyerukan percakapan yang terjadi di pendopo nanti.

Di dalam pendopo sendiri Sang Adipati telah duduk di atas tahta gandingannya. Semua pembesar pribumi duduk bersila di kanan dan kiri belakang tahta. Lain dari kebiasaan, Tholib Sungkar Az-Zubaid mendapat kursi kayu. Tempatnya ndnlnh di pinggir kanan, hingga lskak tak mendapat kursi. Ia berdiri di tempatnya yang biasa di pinggir kiri, dan dengan demikian mendapat kebebasan menyemburkan pandang kebencian pada orang Moro itu.

Tidak salah lagi, pikir Syahbandar Tuban, semangkin had tangannya semakin mendekati bandarku juga. Dengan dia Sang Adipati takkan bakal melakukan perlawanan terhadap Peranggi dan Ispanya. Hanya segeraman dan kejengkelan berkiprah dalam hatinya sejak orang Arab itu mendarat di Tuban. Sekarang dia mendapatkan bangku pula! Alamat Sang Adipati telah jatuh ke dalam genggamannya. Keparat! Laknat!

Dan para punggawa pun sudah yakin sekarang: Sayid itu akan segera jadi pejabat tinggi dan penting. Sebentar nanti mungkin akan diumumkan.

Seorang punggawa, yang mewakili dewan penilai, dengan lisan telah mempersembahkan nama para juara yang dibacanya dari lontar. Dengan suara lantang para peseru meneruskan bacaan itu ke jurusan alun-alun. Para peseru di alun-alun meneruskan lagi ke tempat-tempat yang lebih jauh. Setiap sesuatu selesai diumumkan sorak-sorai berderaian mengegongi.

Galeng tersebut sebagai juara gulat untuk tahun ini, dengan peringntan, ia harus bermain lebih patut. Sorak yang mengikuti terdengar ragu-ragu. Seluruh penonton dari Awis Krambil membisu. Seakan semua itu sebagai ucapan ikut berdukacita pada juara gulat dua kali berturut yang bakal kehilangan kekasihnya. Bahkan peringatan itu pun terdengar sebagai pendahuluan bencana atas dirinya.

Nama para juara telah selesai disebutkan. Orang masih juga tak dengar nama Idayu. Seluruh hadirin sunyi membisu dalam kecucukan dan ketegangan. Idayu! mengapa dia" Mengapa tak disebut" Apa sedang terjadi" Tapi akhirnya nama itu disebutkan juga: Juara tiga kali berturut untuk tari, Idayu, dari desa perbatasan Awis Krambil! Para peseru meneruskan ke seluruh alun-alun. Sorak sorai gegap-gempita, berderai-derai seperti gelombang semudra, bergulung seperti hendak membenam bumi.

Setelah dua puluh tahun ini, muncul, sekarang juara tiga kali berturut! Dua puluh tahun! Ingat-ingat. Dan namanya: Idayu. Desanya Awis Krambil! Tenang. Sang Adipati Tuban berkenan bertitah . Sunyi-senyap.

Di dalam pendopo, Syahbandar Tuban tak hentihentinya melirik pada Tholib Sungkar Az-Zubaid. Orang itu sedang duduk tenang menikmati kegembiraan yang berlangsung di depan matanya sambil mencicipi kehormatan yang semakin meningkat juga: mendapat kursi kayu satu-satunya! Nampaknya ia tak peduli orang senang atau tidak terhadap dirinya, asal Sang Adipati berkenan, dan semua sudah be res. Apa peduli yang lain-lain"

]uara tiga kali berturut Sang Adipati memulai dengan suara pelahan, kata demi kata. I-da-yu! ia menyebut nama itu dengan perasaan meresap seakan sedang mencicipi madu.

Kata-katanya, dengan gaya dan nada sama, berkumandang melalui para peseru ke seluruh alun-alun.

Ketahuilah, juara kesayangan seluruh Tuban. Tak pernah ada kecuali kau: satu perpaduan antara keindahan tubuh, kecantikan wajah, keagungan tari. Hanya kau! Seluruh Tuban berbahagia dapat menyaksikan dalam hidupnya seorang dewi tiada tandingan.

Dan kata-kata penguasa Tuban itu lebih mendekati rayuan danpada amanat. Juga sampai sejauh itu Sang Adipati tak juga menyebut-nyebut kebesaran nama Tuhan, atau Allah, atau Maha Dewa atau Maha Budha atau Sang Hyang Widhi. la sengaja hendak menenggang semua agama rakyatnya. Ia hadapi mereka semua sebagai kawula atau tamu, bukan sebagai pemeluk sesuatu agama.

Sang Adipati Tuban, ia meneruskan, dan seluruh negeri Tuban. Idayu, memuja kau. Kami dapat mengerti mengapa mereka semua menghendaki agar kau selalu dapat dikagumi dan dipuja di ibukota ini

Sang Adipati berhenti bicara, memberikan kesempatan pada para peseru untuk melakukan kewajibannya. Orang bersorak ragu, kemudian menggelimbang sejadi-jadinya, kemudian ragu-ragu lagi. Sorak itu panjang panjang sekali, sehingga canang kadipaten dipukul tiga-tiga untuk memberi peringatan. Lambat-lambat sorak itu mereda.

Sang Adipati tersenyum puas-puas dan mengerti: ia mendapat sokongan rakyatnya wajahnya berseri-seri. Ia pandangi Idayu di tempat duduknya dan sedang mengangkat sembah. Gadis perbatasan itu selalu tunduk menekuri lantai.

Kau dengar sendiri bagaimana mereka menyetujui, Sang Adipati meneruskan. Pastilah kau sendiri juga setuju.

Idayu tetap menekuri lantai.

Orang tua-tua mengerti, Idayu, dan kami, Adipati Tuban juga mengetahui, ada aturan khusus bagi juara tiga kali berturut. Idayu! Mengapa kau menggigil"

Kata-kata Sang Adipati, juga turun-naiknya nada, berpendar-pendar ke alun-alun melalui para peseru. Sebentar sorak-sorai meledak, kemudian mendadak padam. Sunyi-senyap.

Dengarkan baik-baik. Usahakan jangan menggigil. Siapa pun mengerti kebahagiaanmu, Idayu. Kebahagiaan yang terlalu amat sangat, yang bisa kau dapatkan hanya di bumi Tuban ini. Berbahagialah orangtua yang pernah melahirkan kau. Berbahagialah anak-anak yang bakal jadi keturunanmu. Dengarkan baik-baik, kau. Idayu, juara tiga kali berturut, kau mendapatkan .

Juga Galeng menggigil. Ia rasai pedalaman dirinya menggeletar, karena cemburu, karena geram, karena ketiadaan daya menghadapi penguasa mutlak negeri Tuban, karena tak sudi kehilangan amarah-sendiri. Ia rasai katakata manis Sang Adipati sebagai rayuan dan sebagai pemula kehancuran kebahagiaan dan impiannya. Itukah arti kekuasaan Sang Adipati yang diejek dan ditertawakan oleh Rama Cluring" Dengan kekuatan batin luar biasa ia tindas semua perasaannya. Dan setelah semua tertindas, dengan malu-malu muncul ketakutan: ketakutan pada hukuman yang diancamkan oleh kepala desa. Apakah yang harus ditakuti oleh seorang yang akan kehilangan harapan" Ia tertawakan dirinya sendiri. Segala macam hukuman takkan berarti. Kalau soalnya hanya mati, berapa kali saja ia telah hadapi maut panggung gulat! Ketakutannya hilang. Yang muncul sekarang kekuatiran: jangan-jangan Idayu sendiri setuju dan dengan sukarela menerima tangan Sang Adipati.

Keringat dingin mulai bermanik-manik pada tengkuknya.

Sorak-sorai telah padam. Sang Adipati meneruskan: Pertama, dengarkan baik-baik, Idayu dan semua kawula Tuban. Pertama, hak menerima dan mengenakan cindai penari yang tak pernah dikenakan penari siapa pun selama dua puluh tahun ini .

Sorak-sorai. Galeng mengangkat pandang menetak wajah Sang Adipati.

 Dan perhiasan serta pakaian pribadi, perhiasan serta pakaian penari, seluruhnya dari emas dan kain pilihan permata . Sorak-sorai!

Terimalah sendiri karunia Adipati Tuban ini, kau, pujaan Tuban! Maju, jangan ragu-ragu, jangan gentar Ayoh!

Galeng bukan hanya mengangkat pandang ia mengangkat kepala untuk melihat kekasihnya di depan sana menerima karunia langsung dari penantangnya, penguasa Tuban. Ah, Tuban dan hati pujaan itu! Kembali. Cemburu menyambar hati dan membutakan pandang. Ia angkat kedua belah tangan dan ditutupkan pada matanya. Ia tak mau melihat itu. Idayu! Jangan sentuh tangan berkarunia itu. Jangan biarkan kulitmu terkena olehnya, Idayu. Nafasnya pengap. Cepat tangan kanannya menggerayang pada pinggangnya. Tak ada keris di situ. Dan ia lihat Idayu merangkak maju dan beringsut sambil sebentar-sebentar mengangkat sembah.

Di alun-alun para hadirin tak lagi dapat tenang pada tempatnya. Mereka tak puas hanya mendengar. Sekiranya tak ada aturan tak boleh lebih tinggi dari kepala Sang Adipati, mereka sudah berlarian mencari pohon dan naik ke atasnya.

Dengan kejuaraanmu, dengan kecantikan, dengan segala keluwesan dan daya tarik yang ada padamu, kami ada rencana untukmu.

Sunyi-senyap. Tiba-tiba para peseru meneruskan ke alun-alun: Yang terhormat tamu Gusti Adipati Tuban, bernama Sayid Habibullah Almasawa dari negeri Andalusia berkenan bersembah.

Ya, Gusti jadikanlah bunga itu hiasan kadipaten! Sunyi-senyap. Tak ada sorak. Tiba-tiba menyusul dengung yang tak dapat difahami dari seluruh alun-alun.

Biar dia tinggal jadi penari untuk seluruh Tuban! seseorang memekik.

Dan suara pekikan itu dapat makian dari para peseru. Titah Gusti Adipati selanjumya, peseru meneruskan, hak kedua bagi juara tiga kali berturut, dengarkan, Idayu, hak bagi penari terbaik di seluruh negeri, sunyi-senyap, hak kehormatan yang tak dipcroleh oleh siapa pun: hak mengajukan permohonan apa saja yang sesuai dengan kepatuhan yang berlaku.

Sorak-sorai bergulung-gulung.

Rangga Iskak tak mampu mengikuti seluruh jalannya perishya. Mungkin inilah untuk pertama kali dalam jabatannya selama sekian belas tahun ia tidak dapat menyimak dengan baik. Melihat orang Moro itu masih juga duduk dengan senangnya, bahkan berani-berani mempersembahkan saran yang sangat memalukan sebagai orang yang mengaku keturunan Nabi, saran terhadap seorang penguasa kafir, kukuh dan semakin kukuh pendapamya: dengan menyingkirkannya dari bumi yang sedang diislamkan ini aku akan mendapat pahala besar. Untukmu, Moro, hanya kematian saja yang terbaik. Segala yang telah terhina di sini tak boleh susut, tak boleh berkurang, apa lagi rusak. Awas, kau, Moro!

Di tempat duduknya, di belakang Idayu. Galeng merasa seperti menduduki bara. Beberapa peserta dari Awis Krambil beringsut mendekatinya.

Aku ikut memohon untuk kebahagiaanmu, Kang Galeng teman di sampingnya berbisik dan dipegangnya lengan juara gulat itu.

Galeng membalas hiburan dengan meletakkan tangan pada lengan orang itu. Berbisik membalas: Hidup atau mati, takkan dapat aku lupakan kebaikanmu.

Dan Idayu masih juga belum kembali ke tempatnya. Ia masih duduk menunduk di bawah kaki Sang Adipati. Semua mata, kecuali Rangga Iskak, tertuju padanya.

Dari atas kursinya Tholib Sungkar Az-Zubaid memandangi gadis itu dengan mata menyala-nyala menelan seluruh kehadirannya. Mata itu besar bulat, hitam-lekam diwibawai oleh alis dan bulu mata tebal serta rongga mata yang dalam dan gelap. Dan mata yang menyala-nyala itu memancarkan kepongahan, gila hormat tanpa batas, rakus, bernafsu, tanpa kesabaran dan tidak menenggang, dan lebih daripada itu licik: yang ada hanya aku, semua untuk aku.

Hening, tenang. Hanya nafas manusia terdengar. Kemudian: Mengapa kau menangis, Idayu" para peseru meneruskan. Betapa besar kebahagiaan yang sedang berbunga dalam hatimu. Adipati Tuban bersabar menunggu permohonanmu. Kami bersabar. Keringkan airmatamu, puaskan tangismu, juara, karena kebahagiaan yang lebih besar lagi sedang menunggumu. Juga semua kawula Tuban ikut bersabar. Juga mereka yang sedang diganggang terik matari di alun-alun sana, Idayu!

Galeng memusatkan pandang pada Sang Adipati, penantang tiada terlawan itu, dan melihat pada punggung Idayu yang tersengal-sengal. Kalau Idayu menyerahkan dirinya, ia akan lompat, mematahkan lehernya, dan merangsang Sang Adipati untuk menerima ujung-ujung tombak yang menunggu. Idayu takkan menyerahkan dirinya, ia yakinkan dirinya, dia juga tahu harga diri dan kehormatan. Kau berdua akan jadi sepasang merpati, Rama Cluring merestui sebelum meninggalnya. Semoga keturunan kalian akan bercipta dan mencipta, mampu mengembalikan kebesaran dan kejayaan yang telah hilang. Rama Cluring lebih berharga dari pada kekuasaan mutlak yang kini dihadapinya.

Para punggawa tersenyum-senyum dalam hati, juga para pembesar, mengetahui betapa ramah dan manis Sang Adipati sekarang dan sekali I ini. Betapa pemurah dengan kata dan senyum orangtua yang sudah serba putih itu.

Sudah siapkah kau, Idayu" Sang Adipati bertanya lemah-lembut. Mendekat sini, orang cantik mengapa menjauh lagi" Apakah perlu Adipati Tuban menyekakan airmatamu"!

Peseru-peseru meneruskan. Dan keheningan kembali menyusul. Ayoh persembahkan permohonan.

Ampun! Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, akhirnya keluar juga kata-kata Idayu yang menggigil tersendat-sendat. Para peseru meneruskan dengan terbatabata. Apa yang patik akan persembahkan, sebagai permohonan .

Galeng mengepalkan tinjunya. Kembali tubuhnya menggigil. Otot-otot yang kukuh ternyata tak kuasa menahan gelombang perasaan yang memukul menggebugebu. Mengapa lama betul Idayu menyelesaikan katakatanya"

Harapan patik semoga permohonan patik yang tiada sepertinya takkan menggusarkan Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Kata-kata Idayu tersekat macat.

Rangga lskak sekali lagi melirik pada musuhnya. Ia telah serahkan cepuk tembikar itu pada Yakub. Terserah pada dia bagaimana akan menggunakannya, apakah melalui kulit, mulut atau usussi durhaka itu. Terserah. Racun campuran bisa ular, yang biasa dibawa ke mana-mana oleh petualangpetualang Benggala dan selalu jadi kegentaran perantauperantau lain, sekarang datang waktunya untuk dicoba keampuhannya. Sayid Habibullah Almasawa akan hanya sebentar terkejut, kemudian seluruh jaringan syarafnya akan lumpuh, tanpa sakit, dan tiada lagi masalah Syahbandar lama atau baru, karena ia tetap dan akan tetap jadi Syahbandar Tuban. Tetapi di mana Yakub" Mengapa ia tak juga nampak dan melapor" Bagaimana ia akan menjalankan tugasnya"

Hampir pada banjar terakhir di alun-alun seseorang peseru meneruskan: Ayoh, Idayu !

Sekarang Idayu berdatang sembah: Ampunilah patik, ya Gusti sesembahan patik. Bukan maksud patik hendak menggusarkan Gusti. Permohonan patik yang tidak sepertinya adalah

Betapa susah berhadapan dengan Gusti Adipati seseorang menyeletuk.

Diam! bentak seorang peseru.

Nah, aku teruskan persembahan Idayu. Dengarkan adalah adalah Gusti Adipati Tuban sendiri.. adalah Kakang Galeng Juara gulat!

Sekarang Gusti Adipati Tuban bertanya: Kami tidak mengerti, Idayu. Apa maksudmu!"

Tetapi para hadirin di seluruh alun-alun mengerti belaka. Sorak-sorai meledak sejadi-jadinya. Hadirin di alun-alun lupa daratan, lupa pada semua aturan. Mereka berlompatan, berjingkrak, kegirangan. Para peseru tak mampu memadamkan keriuhan. Juga yang sakit di atas tandu-tandu memerlukan tersenyum dan bersyukur pada Hyang Widhi. Mereka dapat menangkap maksud Idayu. Ah, perawan mulia itu! Dan rakyat Tuban sejak dahulu juga memuja cinta yang berpribadi, disemerbaki kesetiaan dan ketabahan menghadapi hidup dan mati. Mereka bersorak untuk kemenangan cinta. Udara menggeletar seakan tiada kan habis-habisnya. Canang peringatan bertalu tanpa hasil.

Di dalam pendopo sendiri orang melihat wajah Sang Adipati tiba-tiba merah padam. Suaranya agak sengit: Apa maksudmu" Katakan yang jelas!

Galeng tak mampu lagi mendengarkan. Tanpa disadarainya airmata haruan telah meleleh jatuh setelah menyeberangi pipinya, membasahi lengan tern an yang menghiburnya.

Teman itu melihat pada airmata itu dan dengan diamdiam mengecupnya dengan bibir sebagai berkah dari Hyang Kamajaya, untuk mendapatkan kekuatan cinta semacam itu juga. Kemudian ia belai-belai punggung Galeng.

Patik memohon, ya Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, mendadak suara Idayu menjadi keras, kuat dan tabah setelah diberanikan oleh sorak-sorai, semoga Gusti Adipati Tuban berkenan, Gusti Adipati Tuban sendiri, merestui patik dan Kakang Galeng sebagai istri dan suami.

Idayu telah mempersembahkan keinginannya sebagai hak yang telah dikaruniakan padanya. Dan Sang Adipati semakin memahami persembahan itu. Kedua belah kakinya yang tidak bergerak selama ini dilempangkan kejang. Matanya membeliak. Tangan kanannya berayun, kemudian mencengkam hulu keris. Dadanya terengah-engah. Suasana pendopo tegang. Para peseru bungkam.

Mati kau, Idayu! Mati kau di ujung keris, pikir orang. Dan para punggawa dan pembesar mengangkat kepala untuk mengagumi perawan desa yang gagah berani itu. Tholib Sungkar Az-Zibaid menjatuhkan tinju pada telapak tangan kiri, meringis.

Di alun-alun suasana kembali membuncah riuh-rendah. Tangan Sang Adipati terhenti pada hulu keris itu. Nampak ia sedang bergulat menguasai diri. Cengkaman pada hulu senjata itu terurai dan tangannya jatuh lesu di samping badan. Ia mencoba tersenyum sambil mempeibaiki letak kaki.

Gelombang sorak-sorai: masih membeludag memandangi gunung melerus. Canang peringatan yang makin bertalu tenggelam dalam lautan sorak-sorai: I-da-yu, I-da-yu, I-da-yu-I-da-yu! Beberapa orang nampak seperti kesetanan, mengangkat naik pacamya tinggi-tinggi, lupa, tak ada orang lebih tinggi dari kepala Sang Adipati.

Banyak di antara wanita menghapus airmata, tersedansedan terharu, menemukan seseorang yang mewakilinya sebagai makhluk pilihan para dewa.

Di tengah-tengah keriuhan itu seorang nenek menutup mata, menunduk sampai-sampai ke tanah. Memohon: Berbahagialah kau, wanita pilihan. Kahyangan terbukalah bagi cinta setia. Kau pilih petani desa daripada adipati berkuasa. Ya dewa batara: Betapa berbahagia ada jaman seindah ini.

Mendadak keriuhan reda. Suasana baru menguasai keadaan. Orang duduk kembali di tempat masing-masing dengan tertib. Pada suatu jarak seseorang berdiri, tak peduli pada larangan, suaranya lantang menyanyikan nyanyi pujaan untuk kebesaran Dewa Kamajaya dan Dewa Kamaratih. Setiap orang ikut menyanyi, tak peduli apa agama mereka: Syiwa. Buddha. Wisynu. Islam. Kesyahduan menguasai bumi, langit dan manusia Tuban.

Di pendopo Sang Adipati bermandi keringat. Mendengar mazmur menggelora di alun-alun, dan mengikuti tradisi lama, ia pun berdiri, turun dari tahta dan berlutut di hadapan Idayu. Dan waktu mazmur selesai ia angkat kedua belah tangan ke atas sambil berdiri. Semua mata bertemu pada tangan berkuasa itu.

Orang telah bayangkan Idayu mati di ujung keris, menjelempah bermandi darah, karena demikian memang adat raja-raja Jawa. Dalam bayangan orang, Galeng akan maju beringsut bersujud pada kaki Sang Adipati untuk juga menerima tikaman keris. Pada pinggangnya. Jantung orang berdebaran kencang.

Temyata lain lagi yang terjadi: Restu untukmu, Idayu, wanita utama Awis Krambil dan Tuban. Seluruh Tuban bangga padamu. Dengarlah orang melagukan nyanyian puja untukku , Dengarkan orang bersorak-sorai untukmu . kata-kata Sang Adipati tersekat pada tenggorokan.

Orang melihat penguasa itu menelan ludah, sekali, dua kali suatu pantangan bagi orang yang sedang dihadap.

Kembali nyanyi puja untuk cinta menggema menyarati langit Tuban. Dalam keadaan seperti itu Sang Adipati meneruskan, tanpa duduk di atas tahta: Idayu, kekasih Tuban, hari ini akan kami kawinkan kau dengan Galeng. Sorak-sorai gila di alun-alun.

Galeng! Maju kau, juara gulat yang berbahagia! Galeng maju dengan waspada, berjalan merangkak seperti katak, menyembah beberapa kail Kemudian duduk di samping kekasihnya.

Benarkah ini yang bernama Galeng, Idayu" Pria yang engkau cintai"

Benar, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Lihat dulu baik-baik, jangan keliru.

Benar, Gusti, tidak keliru.

Tidakkah kau akan menyesal, Idayu"

Demi Hyang Widhi, tidak, Gusti Adipati sesembahan patik

Katakan demi Allah , Tholib Sungkar Az-Zubaid berseru dari tempatnya.

Demi Allah, ya Gusti. Kau yang bemama Galeng dari Awis Krambil" Inilah patik, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Jadi kaukah kekasih Idayu"

Demikian adanya, Gusti. Kembali Sang Adipati mengangkat lengan: Dengarkan dan sakakan semua kawula Tuban. Pada hari ini, dengan kekuasaan kami, di kawinkan juara tari Idayu dengan juara gulat Galeng, dua-duanya dari desa Awis Krambil. Sorak-sorai bersyukur membubung ke angkasa. Kami restui perkawinan kalian. Anak-anak berbahagia akan menjadi keturunan kalian .

Auzubillah! terlompat kata dari mulut Rangga Iskak. Kaget pada seruannya sendiri ia meneruskan dalam hati: Dasar kafir turunan kafir. Masa semacam itu mengawinkan orang" Tidak syah! Mengaku Islam pula. Munafik. Kufur.

Tidak syah! gumam Tholib Sungkar Az-Zubaid dalam bahasa Arab. Sang Adipati hendak bermain-main dengan hak dan hukum. Ya, ya, memang cerdik dia, Idayu dengan begitu takkan jadi hak bagi si pegulat itu. Dia akan tetap milik semua penduduk Tuban. Mungkin kau sendiri yang akan merampasnya kelak, Adipati. Dan kau juara gulat yang sebodoh banteng. Hanya badanmu saja yang besar. Otakmu cuma sebesar biji korma kering.

Kakang Patih, persembahkan sesuatu pada kami. Dari bawah kursi, Sang Patih Tuban mengangkat sembah. Kemudian dengan suara pelahan: Ampun, Gusti Adipati sesembahan patik, ada pun segala yang telah Gusti ganjarkan benar belaka adanya. Kawula Tuban sangat memuja cinta yang murni, ya Gusti. Dan bukan tanpa bahaya Idayu memilih suaminya.

Dari alun-alun sorak-sorai menyerbu ke dalam pendopo, membenarkan Sang Patih. Kemudian hening.

Juga bukan tanpa bahaya bagi Galeng. Ia pun telah menunjukkan kejantanan, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Ia telah maju atas panggilan kekasihnya. Kalau bukan karena pemurah Gusti, bukan kekasih ia dapatkan, tapi ujung keris.

Kau benar, Kakang Patih. Ampun, Gusti, adapun akan gadis ini, tidak lain dari penjelmaan Sang Hyang Dewi Kamaratih, dan perjaka ini penjelmaan Sang Hyang Kamajaya. Berbahagialah pengantin baru yang agung, direstui oleh semua kebajikan. Terkutuklah siapa saja yang mengganggu percintaan mereka.

Sebagian terbesar pengantar sumbangan, pria dan wanita, tua dan muda, menolak disuruh pulang. Mereka bermaksud menyumbangkan tenaga juga. Maka jadilah da pur raksasa pada malam itu juga. Menyusul kemudian datang bondongan grobak mengantarkan kayu bakar dan minyak-minyakan. Dan api pun menyala dalam berpuluh tungku.

Di dalam rumah-rumah Tuban Kota orang tua-tua memerlukan menyanyikan kembali mamur Kamaratih- Kamajaya, mengajak anak-anak gadis mereka ikut serta menyanyikan, seakan-akan syair itu adalah pe rasa an mereka sendiri.

Nah, Nak. begitu seyogyanya jadi wanita. Jadilah wanita utama seperti Idayu. Untuk cintanya dia berani hadapi segala, termasuk orang yang paling berkuasa di bumi Tuban. Ketahuilah, tanpa cinta hidup adalah sunyi, karena raga telah mati dan dunia tinggal jadi padang pasir. Bukankah itu kata-kata dalam mamur sendiri.

Malam itu Idayu dan Galeng mendapat tempat sendirisendiri, dua-duanya adalah tempat yang jauh lebih patut bagi dua orang anak desa perbatasan.

Idayu dilingkari oleh wanita-wanita tua, mewejanginya dengan seribu satu nasihat, memandikannya, dalam jambang air bunga, memotongi bagian-bagian runcing dari giginya, kemudian memaraminya untuk mendapatkan kulit yang lunak dan berseri pada keesokan harinya.

Ia ikuti segala harapan yang ditumpahkan pada dirinya. Ia berbahagia karena dapat membahagian kekasihnya.

Selesai berparam, seorang nenek menyanyikan untuknya lagu-lagu tua, yang ia sudah banyak tak tahu artinya, kemudian nenek itu menerangkan artinya dan memberikan tafsiran. Ia mendengarkan lebih khidmat dari pada upacaraupacara yang pernah disaksikannya. Ia tahu segala macam upacara ini akan segera selesai, dan sebagai istri dari suaminya ia akan kembali ke desa membawa keharuman dan kebesaran.

Lain halnya dengan Galeng. Sekalipun ia dilingkari priapria tua, mewejanginya dengan seribu satu nasihat, memijiti seluruh tubuhnya agar otot-otomya kendor kembali, ingatannya tak juga mau lepas dari Rama Cluring dan segala akibat yang mungkin timbul. Ancaman kepala desa itu membuatnya terus-menerus tegang dalam kewaspadaan. Dan ia menduga, apa yang diperbuat oleh Sang Adipati sekarang ini hanya satu muslihat untuk memusnahkannya dari muka bumi.

Ia tak dengarkan wejangan-wejangan ; tu. Ia tak rasakan tangan yang mengendorkan otot-ototnya. Tiga orang melulurnya berbareng. Seorang pada bagian bahu, yang lain pada bagian pinggang. Yang ketiga pada bagian kaki. Dan nasihat mereka tak putus-putusnya bersahut-sahutan seperti burung berkicau.

Galeng berusaha keras mengingat-ingat kembali . Orang tua bertubuh kecil, pedok, karus semua sudah serba putih karena tuanya dengan cepat mengutip Negara Kertagama dan Pumntmi. Menyebutkan kerajaan-kerajaan, negeri-negeri dan kota-kota seberang yang berlindung di bawah kekuasaan Majapahit. Bahwa di mana tentara laut Majapahit mendarat, di sana pula orang berkerumun hendak mendengarkan berita dari Bumi Selatan, juga hendak mendengarkan centa-berangkai Panji dan Candrakirana.

Selama kalian tak mampu melihat dunia, selama itu kalian telah diperlakukan oleh Tuban bukan sebagai kawula, tetapi sebagai musuh yang telah dikalahkan dalam perang. Upeti! Upeti! Upeti saja yang diketahui Tuban dari kalian. Barang bakal dan barang jadi !

Jangan ditahan kaki ini, Galeng biar aku tekuk, salah seorang pemijit menegur.

Dan Galeng mengendorkan otot-otot kakinya. Bagian ini sangat tegang, Galeng, terlalu lelah. Kembali ia mengenangkan mendiang Rama Cluring: Orang setua itu, tak punya sesuatu pun keeuali diri, kebenaran dan kepercayaan, mengajarkan kebenaran di mana-mana, dan juga di mana-mana menimbulkan kekaguman orang, pengikut, juga ketakutan bagi mereka yang tak membutuhkan kebenaran .

Telentang, kau, Galeng! Juara gulat itu telentang. Otot-otot dan dada dan leher sekarang mendapat giliran.

Tahu-tahu kau jadi pengantin kerajaan, Leng. Dasar nasib sabut dilempar ke kali tetap mengapung.

Karunia Hyang Widhi muncul di mana-mana, ia menjawabi.

Semua ototnya telah jadi kendor. Param itu menusuk. Ia merasa nyaman dan segar. Ia terlena, terlelap, berlayar di alam mimpi

Azan subuh dari menara mesjid Kota dan pelabuhan belum lagi lama padam. Dari mana-mana terdengar gamelan mulai bertalu, mendesak deburan laut, membangunkan mereka yang masih tidur. Orang bergegas mandi dan mengenakan kembali pakaian terbaik. Bereepateepat orang selesaikan sarapan, membersihkan rumah dan membuka semua pintu lebar-leban kemurahan Kamaratih dan Kamajaya yang sedang turun dari Tuban hendaknya juga memasuki rumah dan hati mereka. Kemudian mereka membersihkan halaman dan menaburkan bunga-bungaan dan beras kuning pada pintu rumah dan gerbang.

Matari dengan cepat meninggalkan permukaan laut. Kapal-kapal dan perahu muncul dalam hiasan berbagai wama umbai-umbai. Suasana petaruhan digantikan oleh pesta. Sela Baginda tahu-tahu telah dipagari dengan janur kuning dan rangkaian bunga-bungaan, Umpak tugu Airlangga itu hampir semua tertutup olehnya.

Pada pagi itu juga dari mulut ke mulut orang di pelabuhan bercerita: subuh tadi Sang Adipati memerlukan datang ke kamar pengantin yang sudah penuh-sesak dengan orang tua-tua. Pada mereka ia berkata: Hari ini Soma. Untuk mengenangkan hari pesta besar ini, Soma kami ubah jadi Senin. Kata berita itu pula: Sang Adipati kelihatan pucat, mungkin malam-malam tidak beradu. Dengan tangan sendiri ia telah taburkan daun bunga pada kepala dua orang pengantin desa itu.

Bunyi gamelan semakin riuh dari mana-mana. Dalam rombongan orang bergerak menuju ke kadipaten. Paling depan adalah gamelan mereka, dengan atau tanpa penari, untuk menyambut keluarnya pengantin dan juga untuk mengiringkannya. Dengan kadipaten telah penuh-sesak dengan manusia dan kegiatannya. Sebuah bonang telah riang sekali karena terlalu tua dan terlalu bersemangat orang memukulnya.

Hidangan melimpah-ruah datang. Mendadak game\an dan sorak-sorai yang mengharap agar pengantin segera turun, berhenti. Suara suling terakhir melengkung kemudian padam. Hidangan pagi yanghangat menguap-uap itu membikin orang lupa bahwa besok masih ada hari lain. Semua yang terhidang tersantap. Dan minum air gulasantan pagi itu tercampur dengan pandan-wangi menyatakan, bahwa mereka sungguh-sungguh sedang berpesta. Untuk daerah Tuban, pandan-wangi selalu didatangkan dari kabupaten lain, maka merupakan barang mewah. Kolak dengan ha rum kayu-manis. Gulai ayam, kambing dan satai, lemper dan pisang goreng. Dan begitu perut kenyang orang hampir-hampir lupa mereka datang untuk mengiringkan pengantin. Orang tak memperhatikan: tak ada ikan laut dihidangkan. Matari mulai bersinar gemilang.

Tandu pengantin nampak meninggalkan kadipaten, memasuki pelataran depan. Sebentar semua tangan melambai-lambai menyambut. Seorang pendeta Buddha membunyikan giring-giring mas. Dan seorang bocah memercik-mercikkan air dari jambang kuningan yang dipikul oleh empat orang dewasa. Air itu menitikan jalanan itu. Akan ditempuh pengantin.

Tiba-tiba hening sunyi. Terdengar gumam mantramantra dari pendeta itu. Begitu giring-giring berhenti berbunyi, seorang-orang tua, memekik memecah keheningan: Sambutl Giring-giring. Berbunyi lagi. Berhenti. Sambut! pekik orang tua itu. Giring-giring. Pekikan. Giring-giring. Pekikan Gumam Pendeta Buddha. Pekikan. Susul-menyusul kemudian bergulung jadi nyanyi bersama dalam mazmur cinta, semua membubung sy ahdu di langjt pagi. Juga kanak-kanak pada menekur ikut menyanyi. Ah, sudah lama nyanyian puja itu tak pernah terdengar. Mendadak semua orang kini teringat lagi. Kemudian semua tangan terangkat ke langit seakan hendak menerima jabatan dari Kamajaya dan Kamaratih yang akan turun ke bumi. Juga pengantin di atas tandunya, Juga para penandu. Dan begitu nyanyi puja berhenti, tandu mulai berjalan pelan menuju ke gapura.

Sang Adipati kelihatan berdiri di pendopo. Para pembesar dibelakangnya. Ia memang kelihatan pucat. Dan tandu berjalan pelahan turun ke jalanan alun-alun. Tandu itu sendiri terbuat daripada kayu berukir. Atap dan dindmgnya terbuat daripada sutra kuning tipis terpilih dan berlipat-lipat. Di sana-sini diselang-seling dengan sutra biru laut dan merah dan coklat. Tali-tali dari rangkaian melati berjumlah kenanga merupakan garis-garis busur tergantung dari tiang ke tiang. Dan tandu itu bergerak di antara kepala semua manusia.

Begitu nyanyi puja terakhir selesai, gamelan mulai riuh berbunyi. Orang bersorak bersambut-sambutan. Dua orang penari berpakaian dewa Kamajaya dan dewi Kamaratih menjadi pembuka barisan. Bersama dengan penari-penari lain mereka memainkan riwayat Galeng dan Idayu di sepanjang jalan arak-arakan.

Sejoli pengantin itu duduk dalam sikap resmi. Mereka tak tertawa tak tersenyum, seperti sepasang area batu. Sebentar jalan.

Idayu mengenakan kembang keemasan berkilat-kilat. Perhiasan dari mas dan permata memancar gemerlapan pada kepala, kuping, leher, tangan, dada dan perut. Galeng bertelanjang dada. Destar-wulungnya dijelujuri rantai mas dan perak. Pada dadanya tergantung kalung mas. Pula dengan mainan bunga teratai perak dengan benang sari dari mas. Kerisnya bersarung dan berbulu kayu sawo bertatahkan intan baiduri.

Memang mereka tak ubahnya dengan pengantin kerajaan.

Begitu tandu telah meninggalkan alun-alun dan mulai menghindari kota tata-tertib barisan tak dapat lagi dipertahankan. Gadis-gadis dan pemuda-pemuda bersesakan untuk dapat menghampiri pengantin. Tandu nampak antara sebentar terdorong ke kiri dan ke kanan, oleng seperti perahu tanpa kemudi. Dan sepasang pengantin itu tetap agung duduk di tempatnya.

Kota telah dikelilingi. Kirit arak-arakan menuju ke Sela Baginda di pelabuhan. Gadis-gadis mulai semakin mendesak untuk menghampiri Idayu. Mereka tak dapat menahan godaan untuk menjengah Sang Kamaratih untuk mendapatkan berkahnya. Dari samping lain para perjaka berebut dahulu untuk menyentuh Galeng.

Para pengawal, serombongan kakek-kakek, tak mampu lagi menjaga. Mereka hanya dapat berteriak-teriak melarang. Suaranya lenyap dalam gelombang gamelan dan deru angin darat. Yang dilarang pun tidak peduli.

Turunnya Kamajaya dan Kamaratih di atas bumi Tuban mungkin tak bakal terjadi lagi dalam dua ratus tahun mendatang. Kesempatan sekali ini takkan mereka biarkan berlalu tanpa mendapatkan berkah dan kenangan. Kulit pengantin yang sedang diliputi kasih para dewa harus disintuh.

Mengerti akan keinginan mereka, Idayu dan Galeng mengalah. Diulurkan tangan mereka keluar tandu. Serbuan para perawan dan perjaka semakin menjadi-jadi. Yang tak berhasil mendapat sentuhan mulai menyerang bungabungaan penghias. Dalam waktu sekejap bunga-bungaan lenyap dari penglihatan mata.

Perawan dan perjaka terus mendesak. Makin padat dan makin padat. Para pengawal semakin jauh tersisih. Orang mulai menyerang dinding dan atap tandu.

Dalam waktu pendek tandu sudah menjadi gundul dan pengantin pun terbuka seluruhnya terhadap surya dan angin.

Sorak-sorai makin gegap-gempita. Dan gamelan terus juga bertalu. Dan para penari terus juga berlengganglenggok sepasang jalan.

Arak-arakan hampir mendekati Sela Bagtnda. Para perawan dan perjaka mulai menyerbu berusaha mengambilalih tugas memikul tandu. Mereka adalah yang tak dapat menyentuh dan tak mendapat bunga, tak mendapat serpihan sutra. Pergulatan terjadi. Tandu betayun-ayun di udara seperti biduk terkena terjang angin beliung.

Dari mana-mana terdengar orang memekik melarang. Gemuruh suara manusia dan taluan gamelan, kegalauan antara getak dan bunyi dan debu yang mengepul ke udara, menenggelam semua makna kata-kata. Dan tandu semakin terguncang-guncang.

Idayu lupa pada sikap resminya. Tangannya berpegangan erat-erat pada tiang tandu. Galeng berusaha mempertahankan keselmbangannya dengan kedua belah tangan mencekam tempat duduk. Matanya beipendaran heran bertanya-tanya.

Sebuah pekikan tinggi melengking keluar dari mulut seorang nenek pengawal Idayu: Dewa Batara! Jangan biarkan jatuh tandu itu .

Dan justru pada waktu itu tandu mulai miring, kemudian hilang dari pemandangan bersama dengan dua sejoli pengantin di atasnya. Arak-arakan berhenti seketika. Gamelan bungkam. Tari-tarian mati. Deburan laut pun membeku. Surya seakan hilang dari peredaran, kehilangan teriknya.

Nenek pemekik terdengar menangis tersedu-sedu, kemudian meraung: Ampun, Dewa Batara, ampun! Pada wajah orang-orang nampak ketakutan dan kekuatiran. Mereka berpandang-pandangan bingung. Suara sedu-sedan dan memohon ampun pada Hyang Widhi mulai menggelombang.

Satu lingkaran orang kaget telah berdiri mengelilingi pengantin yang terjatuh dari atas tandu.

Ketegangan dan kekejangan.

Di hadapan mata batin orang mengawang kutukan para dewa, karena membiarkan pengantin kekasih Kamajaya dan Kamaratih terguling dari kedudukannya.

Suasana pesta berubah jadi menakutkan. Dari manamana membubung dengung mantra-mantra.

Dalam kerumunan orang Idayu berdiri dari tanah, Galeng melompat bangun. Kedua-duanya diam tidak bicara. Bersama-sama mereka memandang langit dan menyembah. Selingkaran orang ketakutan itu tak menyambut tangan yang diulurkan dari kejauhan itu. Baru setelah ketahuan dua orang pengantin itu tak mengalami tidera, dan syukur ganti bergema. Seorang mulai tahu apa harus dikerjakan: membetulkan tandu agar pengantin naik lagi. Galeng dan Idayu menolak.

Pengantin itu bergandengan. Tanpa bicara mereka meneruskan perjalanan. Keramaian membuncah lagi. Tapi para pengiring tepat di belakang pengantin diam membisu. Pengantin menolak ditunjang.

Di Sela Baginda pengantin disambut dengan percikan air bunga pada kaki mereka. Serombongan orang tua-tua membawa mereka mengitari batu itu sampai tiga kali, kemudian menyilakan mengambil bunga-bungaan penutup bekas prasasti Airlangga. Bunga-bungaan itu mereka bawa ke tepi laut dan mereka berdua taburkan sedikit demi sedikit ke permukaan air.

Keadaan sunyi-senyap. Barisan yang telah memanjang pada tepian mengawasi setiap bunga yang jatuh ke laut, seperti sedang meneropong hari depan sendiri.

Bunga-bungaan itu mulai berapungan, naik-turun bersama ombak, bergerak pelahan, makin lama makin menjauhi pantai.

Masih tetap diam-diam semua mata mengikuti jalannya bunga-bungaan. Dan yang mereka awasi tak ada yang bakal kembali ke darat. Makin lama makin menjauh jauh, melalui tubuh-tubuh perahu dan kapal menjauh, jauh, jauh .


Berlanjut ke bagian 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar