Jumat, 18 November 2022

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer #3 & 4/44

 


Arus Balik. 
Karya : Pramoedya Ananta Toer.

Bagian 3 . 
Majapahit semasa Mahapatih Gajah Mada telah mengembangkan senjata api ini jadi cetbang. Lawan-lawan Majapahit pada mulanya menamai senjata ini sihir api petir , karena dari bawah ia memancarkan api dan di udara atau pada sasaran dia meledak. Dengan cetbang, dalam hanya dua puluh tahun Majapahit Gajah Mada berhasil dapat mempersatukan Nusantara menjadi kekaisaran Malasya, kekaisaran Asia Tenggara. Setelah itu cetbang tidak berkembang lagi.
Pada tahun 1292 itu juga prinsip.senjata-api bertolak dari Tiongkok, dibawa oleh Marco Polo dan diperkenalkan di Eropa. Orang mengetawakan dan mengejeknya, juga setelah matinya. Makin banyaknya orang Eropa berkunjung ke Tiongkok menyebabkan orang lebih mengerti dan mulai mencoba-coba membikin sendiri. Perkembangan selanjutnya melahirkan musket. Dengannya Portugis dan Spanyol mengusir penjajahan Arab di negeri mereka, semenanjung Iberia. Musket dibikin dalam bentuk raksasa menjadi meriam. Dengannya mereka mempersenjatai kapal-kapal, mengarungi samudra tanpa gangguan. Seperti halnya dengan Majapahit, dengan kapal dan senjatanya mereka mulai menguasai jalan laut dan musuh-musuhnya, menaklukkan dan menjajah negeri.
Cetbang dan kapal unggul Majapahit pada suatu kali telah menghancurkan dirinya sendiri dalam Perang Paregreg. Juga Spanyol dan Portugis akan musnah karenanya sekiranya Tahta Sua tidak segera turun tangan meleraikan dua negeri ini dengan Jus Patronatus atau Padroado, yang membelah dunia non-Kristen jadi dua bagian, sebagian untuk Portugis dan yang lain untuk Spanyol. Dan mulailah kapal-kapal mereka tanpa ragu-ragu menjelajahi dunia dengan salib sebagai panji-panjinya, menaklukkan dan menguasai bangsa dan negeri-negeri yang dianggapnya dalam belah dunia bagiannya .
Dalam perjalanan Sang Adipati memerlukan menengok ke belakang. Diberinya Sang Patih isyarat agar mendekat Suaranya sayup-sayup di antara gemerincing giring-giring dan derap kuda, terdengar ragu-ragu: Kakang Patih, bukankah telah Kakang ketahui sendiri bagaimana telah kami petaruhkan hari depan pada kejayaan Islam" Bukankah banyak di antara putra-putra kami telah menggunakan nama Islam yang diberikan oleh gurugurunya" Kami biarkan putra kami Raden Said mendalami agama Atas Angin ini, dan sekarang jadi pemuka Islam yang dihormati, hidup sebagai pandita dan pertapa, berpakaian seperti orang tidak ber bangsa. Berapa sudah di antara putra-putra kami, kami sengajakan mengabdi pada raja Islam Demak, karena percaya Islamlah yang jaya kelak. Apa sekarang" Kapal-kapal Islam takut pada kafir-kafir Peranggi dan Ispanya .
Patik, Gusti, Sang Patih menunduk dan mengangkat sembah.
Bagaimana kira-kira jadinya semua ini nanti" Allah Dewa Batara! sebut Sang Patih tak bisa menjawab.
Kakang Patih, bagaimana warta putra mahkota Demak setelah merampas Jepara, wilayah kami"
Belum banyak yang dapat dipersembahkan. Gusti. Kerajaan pedalaman. Tanahnya lebih tandus dari Tuban.
Tak punya laut. Selmrang membutuhkan bandar sendiri. Adakah kota Semarang sudah menolak memunggah barang-barangnya maka ia memberandali wilayah kami" Apakah Demak sudah bercekeok dengan Semarang" Rupa-rupanya perlu dikirimkan telik, Gusti. Sang Adipati tidak menanggapi, meneruskan dengan suara lebih keras: Apakah ada dugaanmu putra mahkota Demak merampas wilayah kami, Jepara, untuk membangun sebuah Angkatan Laut"
Demikian konon wartanya, ya Gusti. Sudah sejak lama, sejak kecil Adipati Unus, putra mahkota Demak, ditimangtimang oleh Ibundanya jadi Laksamana, merajai kepulauan dan lautan. Gusti.
Sang Adipati tak meneruskan pertanyaannya. Sang Patih melambatkan kudanya sehingga kembali tercecer di belakang.
Sesampainya di alun-alun tiba-tiba Sang Adipati menengok lagi ke belakang, bertanya waktu menghentikan kudanya: Apakah putra mahkota Demak, Adipati Unus, sudah memerintahkan pembikinan kapal perang"
Baru pendirian galangan-galangan, Gusti, sembah Sang Patih.
Boleh jadi sudah terjadi perpecahan antara Semarang dan Demak, sekiranya tak ada lagi tenaga Cina membantu di Jepara. Kakang Patih, keterangan itu harus didapatkan. Patik, Gusti.
Dan lebih berhati-hati terhadap Lao Sam. Setiap ada sesuatu yang mencurigakan, hancurkan saja bandar itu.
Patik Gusti. Lao Sam nampaknya tetap tenang, tidak membentuk kekuatan seperti Semarang. Jaraknya pun sangat dekat dengan Tuban. Dalam tiga hari pasukan Gusti Adipati sudah dapat mencapainya melewati pesisir. Hancurlah dia! Yang agak mencurigakan justru Jepara, Gusti. Konon putra mahkota Demak, Adipati Unus, mulai mendatangkan pandai cor dari Pasuruan.
Pandai-pandai itu tentunya Hindu. Tidak bisa lain, Gusti.
Jadi Islam bisa kerjasama dengan Hindu"
Nampaknya demikian. Nampaknya pula sedang ada persiapan membikin cetbang di sana.
Kalau itu benar, raja Islam itu sedang punya persiapan membikin yang berbahaya. Segera kirimkan telik. Patik, Gusti sesembahan.
Apakah menurut dugaanmu Unus berani mengeluari Peranggi dan Ispanya"
Kuda-kuda itu berhenti. Juga para pengawal di depan dan belakang.
Konon kabarnya, Gusti, putra mahkota itu telah bersumpah akan membentengi Islam di belah bumi sini, bumi selatan.
Sang Adipati mengangguk-angguk. Kudanya digerakkan lagi dan berjalan melewati gapura.
Brandal-brandal itu hendak beramin jadi satria. Para pengawal gerbang pada bersimpuh dan mengangkat sembah. Tombak dan perisai mereka bergeletakan damai di atas bumi. Sang Adipati tak memperhatikan, langsung berkendara menuju ke pendopo.
Seorang pengawal menerima kuda dan seorang lain menyediakan punggung untuk jadi anak tangga. Ia turun tapi tak langsung masuk ke dalam.
Sang Patih mengerti masih diperlukan. Setelah turun dari kuda ia datang menghadap dan langsung mendapat teguran: Banyak nian yang tak Kakang persembahkan selama ini.
Ampun, Gusti. Patik telah persembahkan semua, ya Gusti. Nampaknya Gusti kurang mengkaruniakan perhatian. Ampun, Gusti, tentulah karena banyak hal lain sedang jadi pikiran Gusti.
Tentu Kakang Patih benar. Apakah menurut dugaan Kakang, Unus dapat mengalahkan mereka" Tanpa meriam dan hanya dengan cetbang bikinan pandai cor Blambangan"
Ya, Gusti, bagaimana patik harus persembahkan" Waktu patik masih kecil, nenek patik pernah bercerita tentang kapal-kapal Majapahit, dan menurut katanya pula Mahapatih Gajah Mada pernah bersembah pada Sri Baginda Kaisar Hayam Wuruk: hanya kapal-kapal yang bisa melalui Ujung Selatan Wulungga tertitahkan untuk menguasai buana, Peranggi dan Ispanya bukan hanya melalui, mereka telah datang dari balik Ujung Selatan. Nyata Majapahit tak pernah berhasil melaluinya. Tidak pernah, Gusti. Ujung Selatan selama ini selalu dianggap jadi batas dunia. Tak ada daratan dan lautan lagi di sebaliknya, jatuh curam langsung ke neraka.
Dan kapal-kapal mereka telah melewatinya. Datang langsung dari neraka itu! Kapal-kapal Unus barangkali masih dalam angan-angan, jauh dari ujian Ujung Selatan Wulungga.
Sang Adipati berbalik meninggalkan Sang Patih dan masuk ke dalam kadipaten.
Sang Patih, juga semua yang tertinggal, mengangkat sembah. Ia mengambil kudanya dari tangan seorang prajurit pengawal dan keluar meninggalkan kadipaten. Belum lagi sampai ke kepatihan, seorang penunggang kuda telah menyusulnya. Sang Adipati sedang menunggunya di dalam kadipaten. Ia berbalik menuju ke kadipaten.
Ia dapati Sang Adipati sedang duduk berfikir dengan wajah menekuri lantai. Dan duduklah ia di bawah mengangkat sembah.
Mereka sudah lewati Ujung Selatan Wulungga, Kakang Patih. Tentu mereka telah kalahkan kapal-kapal Parsi, Mesir, Turki, Arabia, Benggali dan Langka. Mereka akan kalahkan juga kapal-kapal Aceh, dan Melayu, Jawa dan Tuban sendiri.
Gusti. Mengapa musti mengalahkan, Kakang Patih" Bukankah kapal-kapal asing datang kemari bukan untuk mengalahkan kita" Tak pernah yang demikian terjadi sejak nenekmoyang, kecuali orang-orang Tartar yang dibinasakan itu.
Nampaknya Peranggi dan Ispanya lain daripada yang lain, Gusti. Mereka bukan sekedar mencari dagangan dan rempah-rempah. Mereka datang ke mana-mana untuk mencari negeri asal rempah-rempah. Mereka hendak merampas semua untuk dirinya sendiri.
Kerakusan tiada tara. Mengapa tidak mau berbagi" Konon wartanya, Gusti, mereka tadinya bangsa miskin. Sekarang baru keluar dari kemiskinan, baru melihat dunia, mulai merabai dan merampasi semua barang apa yang baru dilihatnya, apa saja yang indah, yang mahal, seperti si lapar melihat sajian, ya Gusti.
Sang Adipati tersenyum. Si lapar melihat sajian. Perbandingan yang indah. Ya barangkali benar begitu. Dan mereka akan datang ke sini juga akhir-akhir kelaknya. Semoga mereka telah kenyang dalam perjalanan.
Kerakusan tidak mengenal kenyang, Gusti. Kakang Patih benar. Kadang-kadang memang memusingkan untuk memahami hal-hal baru. Kapal unggul, kelaparan unggul. Sebaliknya, Kakang Patih, mereka yang justru memiliki negeri yang menghasilkan rempah-rempah, sepanjang sejarahnya selalu hidup dalam kemiskinan dan perbudakan. Mereka yang datang mencari rempah-rempah yang jaya dan kaya. Bagaimana harus memahami ini, Kakang"
Itulah suratan tangan bangsa-bangsa. Gusti, hanya para pendita bijaksana dapat menerangkan.
Sekarang rempah-rempah juga yang memanggil kerakusan yang tak mau berbagi. Kerakusan yang mau berkuasa dan memiliki untuk diri sendiri semata, membunuh dan menenggelamkan. Mereka makin mendekati Tuban. Rasa-rasanya telah dapat kami dengar bunyi meriamnya, memekakkan dan melumpuhkan burungburung di cakrawala. Suaranya menjadi pelahan mendekati bisikan: Tapi Adipati Tuban tidak gentar, Kakang. Hanya awas-awas pada yang di barat sana: Semarang, Demak, Jepara, Lao Sam.
Sebentar ia berhenti bicara, tersenyum menimbangnimbang, matanya berkilau, wajahnya berseri: Ya, padasuatu kali mereka, manusia berkulit putih lucu itu, seperti bawang, anak bangsa unggul itu, akan datang kemari. Kapal-kapal mereka akan terikat pada patok dermaga Tuban. Sekarang ia tertawa, semakin riang, untuk Tuban, Kakang Patih, mereka tidak akan mendatangkan kebinasaan atau kehancuran .
Allah Dewa Batara membimbing Gusti Adipati Sesembahan.  mereka akan datang membawa kekayaan, kemakmuran melimpah, mas, perak, tembaga, sutra, intan, permata, akan berjatuhan, berhamburan di Tuban, dari kapal-kapal mereka. Sudah kudengar mereka bersorak-sorai. Bukan sorak kemenangan, bukan sorak-sorai minta beli lebih banyak! Rempah-rempah! Rempah-rempah! Kerahkan semua armada niaga, Kakang Patih. Semua. Ke Mamuluk. Angkut semua yang ada. Ke Tuban. Itu perintah kami. 1
Sang Adipati masuk ke peraduan dan memusatkan seluruh pikirannya untuk mendapatkan keuntungan dari perubahan baru tanpa harus mengurangi keuntungan yang bisa didapatkan dari kapal-kapal Islam, Nusantara dan Tiongkok.
Pada waktu ia tenggelam dalam pikirannya, jauh, jauh dari Tuban, kejadian-kejadian besar telah datang silihberganti, baik di negeri Portugis maupun Ispanya. Pada 1492 Kristoforus Colombo telah menyeberangi samudra Atlantik, menemukan benua baru Amerika. Tak lama kemudian Ispanya dan Portugis merajai benua baru itu.
Enam tahun kemudian, pada 1498 pelaut Portugis vasco da Gama mulai menjelajah dunia Timur, dengan panjipanji Jus Patronatus yang dikeluarkan oleh Tahta Suci pada 4 Mei 1493. Kapalnya memasuki Malabar dan Goa dan ikut serta pula kekuasaannya.
Jalan laut kapal-kapal Islam mulai terdekat. Pangkalanpangkalan diambil-alih dengan meriam .
Turunan kuda Korea di Jawa kemudian disebut kuda Kore.
Senjata ini didasarkan atas prinsip roket, yang dilemparkan dan diarahkan dengan laras dengan tolakan ledakan.

Arus Balik. 
Karya : Pramoedya Ananta Toer.
Bagian 4. 
Menjelang Pesta Lomba Seni dan Olahraga Dulu di Wilwatikta, ibukota Majapahit, terdapat dua istana. Sebuah istana Kaisar, yang lain istana Sang Dharmadhyaksa, penghulu agung ummat Buddha. Sekarang di Tuban Kota terdapat dua gedung utama. Sebuah adalah kadipaten, yang lain gedung penghulu negeri ummat Islam Tuban.
Sekarang gedung kayu besar megah itu tidak lagi ditinggali oleh Sang Penghulu, kosong. Tetapi beberapa hari belakangan seluruh pelatarannya dikelilingi pagar papan kayu tinggi. Dari jalanan hanya nampak atapnya yang dari sirap jati, kelabu kehitaman. Melalui pagar setinggi tiga depa itu orang tak dapat meninjau ke dalam.
Penghuninya, Penghulu Negeri berasal dari seberang, telah dipecat oleh Sang Patih atas perintah Sang Adipati. Dahulu ia diangkat untuk mengurusi soal-soal agama penduduk dan mengajarkan Islam pada anak-anak pembesar. Ia juga diangkat untuk jadi guru putra-putra Sang Adipati. Tetapi ia menyia-nyiakan agama-agama lain yang masih dipeluk oleh penduduk negeri Tuban. Sekarang gedung utama kedua itu tertinggal kosong.
Setelah pelataran dipagari tinggi orang justru pada datang dalam bondongan dan menggerombol, mencoba dapat mengintip ke balik dinding pagar. Berita telah pecah ke seluruh kota: Bidadari Awis Krambil, I dayu, juara tari dua kali berturut, telah datang ke Tuban Kota untuk menggondol kejuaraan ketiga kalinya.
Desas-desus meniup sejadi-jadinya: dia datang untuk takkan balik ke desanya lagi sebagai bunga perbatasan pasti dia akan diselir oleh Sang Adipati. Sebelum bidadari itu jadi milik pribadi Sang Adipati orang memerlukan datang untuk membelainya dengan pandangnya. Beberapa pemuda telah bermimpi akan melarikannya. Sebagai selir dia takkan dapat dipuja atau dikagumi lagi.
Tapi rombongan seni dan olahraga dari Awis Krambil belum lagi tiba.
Desas-desus telah datang mendahului, memercik ke seluruh kota seperti kebakaran pada padang ilalang. Dan tak lain dari kepala desa Awis Krambil sendiri yang merencanakan dan menitipkannya. Rombongan yang belum datang itu tak tahu-menahu. Hanya mereka yang melaksanakan perintahnya tahu benar duduk-perkaranya: Wejangan terakhir Rama Cluring telah membawa desa Awis Krambil ke tepi kebinasaan. Dengan keputusan sendiri ia telah meracuni guru-pembicara itu. Dan pada upacara pembakaran jenasahnya, dibiayai oleh seluruh desa, terang-terangan ia menyesali wejangan ipendiang. Seorang pengawal perbatasan berkuda ikut menyaksikan. Ia mengakui di depan umum, ia sendiri yang telah meracunnya untuk menghindari murka Sang Adipati. Setelah itu ia datang pada Idayu dan Galeng, membatalkan rencana perkawinan mereka, menangguhkan sampai sehabis Lomba Seni dan Olahraga. Mereka berdua telah merawat Rama Cluring sampai matinya. Mereka harus digiring ke Tuban Kota, biar Sang Adipati segera dapat menjatuhkan hukumannya.
Ia tahu pasti segala sesuatu tentang Awis Krambil telah sampai pada Sang Patih dan Sang Adipati. Dan desas-desus itu perlu untuk mengingatkan mereka pada Awis Krambil, pada Rama Cluring, Galeng dan Idayu, dan: tindakannya yang bijaksana.
Rombongan Awis Krambil telah nampak dari kejauhan. Gendangnya bertalu-talu menyampaikan berita. Umbulumbulnya jelas turun-naikdi udara mengundang semua untuk senang menerima kedatangannya.
Serulingnya melengking. Penyambut sepanjang jalan bersorak-sorai gegap-gempita.
Dirgahayu, Awis Krambil! Dirgahayu Idayu! Bocah-bocah pada berlarian menyongsong dengan tangan melambai-lambai. Tubuh mereka, telanjang atau setengah telanjang, mengkilat coklat kehitaman seperti kayu sawo muda. Debuan jalanan mengepul tak kenal ampun. Dan umbul-umbul di kejauhan semakin cepat naik-turun.
Orang-orang kota yang menyambut pada gerbang pinggiran Kota ikut bersorak. Laki, perempuan, kakek, nenek, kanak-kanak. Bocah-bocah terbang berlarian untuk menyatakan kegembiraan atas kedatangan juara negeri, kekasih semua dewa. Pria-pria tak berbaju dengan keris terselit pada pinggang, destar terikat longgar, pertanda menempuh perjalanan jauh. Wanita-wanita dalam rombongan juga tidak berbaju, tidak berkemben, bertopi caping. Pemuda-pemuda penyambut segera mengepung rombongan, untuk lebih dahulu membelaikan pandang pada Idayu, mengagumi kecantikan, keindahan tubuh dan buahdadanya.
Begitu sampai ke gerbang perbatasan Kota, semua bunyibunyian meriuh gila. Seorang punggawa kadipaten, dadanya terhiasi selempang selendang sutra, sedang destarnya disuntingi bunga kenanga, maju ke tengah jalan menghentikan rombongan. Semua melambaikan tangan bersorak-sorai, kecuali pemuda-pemuda yang sedang menelan tubuh bidadari Awis Krambil, merabai tubuhnya dengan pandang rakus.
Penyambut resmi itu mengangkat tangan tanpa melambaikannya. Semua bunyi-bunyian padam. Soraksorai beku. Dengan suara berwibawa ia angkat bicara: Dirgahayu Awis Krambil!
Dirgahayuuuuuuu, semua, pendatang dan penonton, meledak serentak.
Tahukah kalian aturan masuk ke Kota" tanya penyambut resmi itu, sekarang bertolak pinggang.
Belum! Belum! jawab rombongan seperti pada tahun yang lalu, juga seperti tahun-tahun yang sebelumnya.
Penyambut resmi melambaikan tangan kanan, menurun semua diam mendengarkan: Buka kuping, dengarkan tajam-tajam. Atas titah Sang Patih, barangsiapa dari pedalaman memasuki Kota harus memperhatikan aturan ini: semua wanita, kecuali anak-anak di bawah umur, harus menutup dadanya. Paling sedikit dengan kemban.
Dan seperti pada tahun-tahun sebelumnya juga sekarang pemuda-pemuda bersorak mengejek: Ho-ho-ho, Gusti Bendoro Penghulu yang membuat aturan sudah dipecat!
Begitu sorak ejekan padam, penyambut resmi menirukan: Tetap berlaku! Ho-ho-ho! ejekan semakin gemuruh.
Nah, wanita-wanita Awis Krambil. Kalian sudah dengar peraturan ini. Ambil kemban dan pakailah! Upacara selesai. Pemuda-pemuda menghalangi mereka pemakaian kemban, seakan-akan itu pun sudah jadi bagian dari upacara, setelah keluarnya larangan. Semua wanita pendatang melakukan gerakan-gerakan membantah kehendak para pemuda. Maka terjadilah tarian untuk merebut dan mempertahankan kemban. Kanak-kanak bersorak dan berjingkrak dan gamelan mulai ditabuh riuh. Dan orang-orang tua pada menekur mengenangkan masa mudanya.
Jangan biarkan Sang Surya malu melihat kalian. Cepat, karena seluruh Kota sudah menunggu.
Maka gerak-gerik perawan yang hendak berkemban dan pemuda-pemuda yang menghalangi berubah jadi tarian yang sesungguhnya. Gamelan semakin riuh dan tarian semakin indah.
Rombongan Awis Krambil semakin tebal dan panjang. Jalanan penuh-sesak. Bahkan kereta pembesar mengalah tanpa menuntut simpuh dan sembah. Gerobak pada melarikan diri sebelum terseret dalam kepadatan manusia.
Sepanjang jalan seruan dirgahayu berderai bersambutsambutan. Sampai di depan bekas gedung Penghulu Negeri yang terpagari papan kayu tinggi, iring-iringan berhenti. Pintu pagar terbuka lebar. Seorang penyambut berdiri di tengah-tengah pintu. Ia berkain. Karena tubuhnya tinggi, kain itu tak mencapai matakaki. Dadanya telanjang. Ia tak mengenakan selendang sutra yang menyelimpangi dada. Di tangannya ia membawa pedang terhunus. Di kiri dan kanannya berdiri pengawal bertombak dan berperisai. Dari mana semua ini, maka membikin onar di Kota" Kami, jawab kepala desa yang melompat ke depan, dari desa perbatasan Awis Krambil.
Apa keperluanmu, pelancang" gertak penyambut sambil mengamangkan pedangnya.
Dua orang pengawalnya maju, memasang kuda-kuda dengan tombaknya.
Datang ke kota untuk merebut kejuaraan. Berikanlah pintu pada rombongan terbaik seluruh negeri ini, jawab kepala desa.
Ahai! Datang untuk merebut kejuaraan. Tidak semudah itu orang desa!
Berilah kami kesempatan! Baik, masukkan semua rombonganmu, dan pergi nyah kau dari sini.
Dan dengan demikian rombongan Awis Krambil masuk, kecuali bukan peserta. Penonton bersorak-sorai, bergalau memanggil-manggil Idayu.
Dan pintu pagar tertutup rapat.
Dua hari rombongan peserta Awis Krambil telah diasramakan. Pria menempati bangunan sebelah kanan, wanita sebelah kiri. Semua wakil desa-desa telah datang. Latihan pun sudah dimulai
Di bandar saudagar-saudagar, asing dan Pribumi mengadakan taruhan satu sepuluh: datang-tidaknya Sang Adipati ke asrama untuk mengunjungi Idayu. Datang berarti bidadari Awis Krambil akan terambil jadi selir. Taruhan itu sampai mencapai seluruh muatan kapal, malahan kapalnya sendiri. Suasana hangat membubung di atas bumi dan kepala manusia Tuban Kota.
Punggawa-punggawa desa Awis Krambil semakin giat meniup-niupkan desas-desus. Dan hanya tiga orang saja sekarang tak tahu tentang itu: Idayu sendiri, Galeng dan Sang Adipati
Penguasa Tuban itu masih juga sibuk menata pikiran menghadapi kemungkinan datangnya Portugis dan Spanyol. Juga Idayu tak kurang sibuknya: berlatih dan melakukan pekerjaan untuk kepentingan bersama: memasak dan membersihkan asrama. Galeng pun sibuk melatih otot-ototnya.
Mereka turun ke kota dan memasuki asrama dengan hati berat. Persiapan perkawinan mereka kembali harus disimpan di dalam lumbung. Seorang demi seorang dari punggawa desa itu mendatangi mereka, memaksa dengan segala macam alasan. Mereka tetap menolak, mereka hendak melangsungkan perkawinan. Kemudian tak lain dari kepala desa sendiri yang datang. Desa kita telah dicemarkan oleh mendiang Rama Cluring , katanya. Kehormatannya harus dipulihkan, dan , kepala desa itu menuding Galeng, kau bertanggungjawab juga dalam pencemaran itu! Galeng membantah dan punggawa itu tetap menudingnya, mengancam akan menyerahkannya pada pengawal perbatasan.

Berlanjut ke bagian 5



Tidak ada komentar:

Posting Komentar